Pemilu 2019, Angka Golput Diprediksi Masih Tinggi
A
A
A
JAKARTA - Debat calon presiden (capres) kedua kemarin, diprediksi meningkatkan partisipasi publik untuk menggunakan hak pilihnya pada 17 April 2019 mendatang. Kendati begitu, angka pemilih yang tak menggunakan hak pilihnya juga diprediksi tinggi.
Pengamat Komunikasi Politik dari Pascasarjana Universitas Budi Luhur Jakarta, Umaimah Wahid mengatakan, dalam debat tersebut, sebenarnya kedua capres telah menujukkan kualitas masing-masing walaupun masih ada plus dan minusnya.
Misalnya, capres nomor urut 01, Joko Wododo (Jokowi) yang sudah menyampaikan dengan cukup agresif mengenai visi misi maupun capaian kerjanya selama ini yang dinilai berbeda dengan debat sebelumnya, namun juga disayangkan dengan kevalidan beberapa data yang disajikan.
Hal itu dikatakan Umaimah dalam diskusi Empat Pilar MPR bertajuk "Potensi Golput di Pemilu 2019" di Kompleks DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Senin (18/2/2019).
"Begitu juga dengan Bapak Prabowo, dia menyampaikan konsep visi-misi dan kemudian juga ada solusinya, tetapi juga mungkin kurang tegas, ada sedikit kekecewaan dari pihak khalayak atau calon pemilih, Bapak Prabowo tak seperti biasanya," ujar Umaimah.
Karena itu menurutnya, peluang golput tetap ada sebagaimana berdasarkan hasil survei yang masih berkisar 20% sampai 25%. "Bahkan ada yang mengatakan sampai 30% akan ada golput. Bahkan ada yang menyampaikan golput sekarang ini bisa jadi akan naik daripada golput tahun 2014 lalu," katanya.
(Baca juga: Mengantisipasi Lonjakan Golput)
Menurutnya, masih ada waktu dua bulan lagi sampai tanggal 17 April agar partisipasi publik dalam pemiku bisa digenjot, terutama misalnya dari masa mengambang (swing voters) atau pihak-pihak yang belum memutuskan untuk memilih (undecided voters).
Sejumlah pihak terkait seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta untuk memanfaatkan sisa waktu yang ada untuk melakukan sosialisasi lebih bagus dan lebih gencar. "Bagaimanapun juga kalau tidak cukup sosialisasi akan jadi masalah juga," urainya.
Dia mencontohkan, sosialisasi yang dilakukan lewat media sosial sudah cukup bagus untuk menyasar kalangan tertentu. Namun, ada juga kelompok masyarakat yang hingga saat ini belum menggunakan media sosial.
"Partai politik juga punya tanggung jawab, menurut saya, untuk melakukan sosialisasi lebih gencar dan meyakinkan masyarakat agar mau memilih. Misalnya para kandidat, baik capres, cawapres ataupun caleg karena pada pemilu ini waktunya terjadi secara bersamaan di seluruh Indonesia," paparnya.
Sementara itu, Anggota Fraksi PPP MPR, Ahmad Baidowi mengatakan, golput merupakan fenomena demokrasi yang biasa terjadi dimanapun dengan era pemilihan langsung seperti ini.
Menurutnya, setidaknya ada empat hal yang membuat orang memilih golput. Pertama karena tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT). "Ini mau dipaksa seperti apapun enggak bakal mau meskipun menggunakan KTP. Faktanya mereka kan malas dengan sendirinya," ujarnya.
Faktor kedua karena kesibukan. Memang ketika pemilu berlangsung dijadikan hari libur nasional. Namun, bukan otomatis kesibukan orang berhenti.
Berikutnya adalah karena misalkan melihat calon-calon yang ada tidak sesuai espektasi atau tidak mewakili representasi yang dia inginkan, sehingga meskipun namanya juga ada dalam DPT, mereka tetap tidak mau datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
"Kemudian yang terakhir misalkan karena pemilu bagi mereka nggak penting, tidak sejalan, tidak linier dengan tingkat kesejahteraan, 'mau pemilu berulang-ulang saya tetep aja cari duit sendiri'," katanya.
Anggota Fraksi Gerindra MPR, Ahmad Riza Patria mengatakan, dengan pemilu serentak, angka golput pada Pemilu 2019 tidak akan meningkat dibanding pada Pemilu 2014.
"Jika dibandingkan Pilkada, Pileg dan Pilpres maka golput lebih tinggi pada Pilpres. Sekarang Pileg dan Pilpres serentak, saya meyakini masyarakat punya kepedulian dengan adanya Pileg dan Pilpres secara serentak," katanya.
Menurut Riza Patria, semua tim sukses, caleg, akan menggiring konstituen dan kelompok masyarakatnya untuk berpartisipasi dalam pemilu. Media sosial juga banyak berpengaruh.
"Saya kira masyarakat semakin peduli pada demokrasi. Karena itu saya menduga Golput tidak akan besar malah bisa turun karena Pileg dan Pilpres dilakukan serentak," katanya.
Pengamat Komunikasi Politik dari Pascasarjana Universitas Budi Luhur Jakarta, Umaimah Wahid mengatakan, dalam debat tersebut, sebenarnya kedua capres telah menujukkan kualitas masing-masing walaupun masih ada plus dan minusnya.
Misalnya, capres nomor urut 01, Joko Wododo (Jokowi) yang sudah menyampaikan dengan cukup agresif mengenai visi misi maupun capaian kerjanya selama ini yang dinilai berbeda dengan debat sebelumnya, namun juga disayangkan dengan kevalidan beberapa data yang disajikan.
Hal itu dikatakan Umaimah dalam diskusi Empat Pilar MPR bertajuk "Potensi Golput di Pemilu 2019" di Kompleks DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Senin (18/2/2019).
"Begitu juga dengan Bapak Prabowo, dia menyampaikan konsep visi-misi dan kemudian juga ada solusinya, tetapi juga mungkin kurang tegas, ada sedikit kekecewaan dari pihak khalayak atau calon pemilih, Bapak Prabowo tak seperti biasanya," ujar Umaimah.
Karena itu menurutnya, peluang golput tetap ada sebagaimana berdasarkan hasil survei yang masih berkisar 20% sampai 25%. "Bahkan ada yang mengatakan sampai 30% akan ada golput. Bahkan ada yang menyampaikan golput sekarang ini bisa jadi akan naik daripada golput tahun 2014 lalu," katanya.
(Baca juga: Mengantisipasi Lonjakan Golput)
Menurutnya, masih ada waktu dua bulan lagi sampai tanggal 17 April agar partisipasi publik dalam pemiku bisa digenjot, terutama misalnya dari masa mengambang (swing voters) atau pihak-pihak yang belum memutuskan untuk memilih (undecided voters).
Sejumlah pihak terkait seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta untuk memanfaatkan sisa waktu yang ada untuk melakukan sosialisasi lebih bagus dan lebih gencar. "Bagaimanapun juga kalau tidak cukup sosialisasi akan jadi masalah juga," urainya.
Dia mencontohkan, sosialisasi yang dilakukan lewat media sosial sudah cukup bagus untuk menyasar kalangan tertentu. Namun, ada juga kelompok masyarakat yang hingga saat ini belum menggunakan media sosial.
"Partai politik juga punya tanggung jawab, menurut saya, untuk melakukan sosialisasi lebih gencar dan meyakinkan masyarakat agar mau memilih. Misalnya para kandidat, baik capres, cawapres ataupun caleg karena pada pemilu ini waktunya terjadi secara bersamaan di seluruh Indonesia," paparnya.
Sementara itu, Anggota Fraksi PPP MPR, Ahmad Baidowi mengatakan, golput merupakan fenomena demokrasi yang biasa terjadi dimanapun dengan era pemilihan langsung seperti ini.
Menurutnya, setidaknya ada empat hal yang membuat orang memilih golput. Pertama karena tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT). "Ini mau dipaksa seperti apapun enggak bakal mau meskipun menggunakan KTP. Faktanya mereka kan malas dengan sendirinya," ujarnya.
Faktor kedua karena kesibukan. Memang ketika pemilu berlangsung dijadikan hari libur nasional. Namun, bukan otomatis kesibukan orang berhenti.
Berikutnya adalah karena misalkan melihat calon-calon yang ada tidak sesuai espektasi atau tidak mewakili representasi yang dia inginkan, sehingga meskipun namanya juga ada dalam DPT, mereka tetap tidak mau datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
"Kemudian yang terakhir misalkan karena pemilu bagi mereka nggak penting, tidak sejalan, tidak linier dengan tingkat kesejahteraan, 'mau pemilu berulang-ulang saya tetep aja cari duit sendiri'," katanya.
Anggota Fraksi Gerindra MPR, Ahmad Riza Patria mengatakan, dengan pemilu serentak, angka golput pada Pemilu 2019 tidak akan meningkat dibanding pada Pemilu 2014.
"Jika dibandingkan Pilkada, Pileg dan Pilpres maka golput lebih tinggi pada Pilpres. Sekarang Pileg dan Pilpres serentak, saya meyakini masyarakat punya kepedulian dengan adanya Pileg dan Pilpres secara serentak," katanya.
Menurut Riza Patria, semua tim sukses, caleg, akan menggiring konstituen dan kelompok masyarakatnya untuk berpartisipasi dalam pemilu. Media sosial juga banyak berpengaruh.
"Saya kira masyarakat semakin peduli pada demokrasi. Karena itu saya menduga Golput tidak akan besar malah bisa turun karena Pileg dan Pilpres dilakukan serentak," katanya.
(maf)