Praktik Politik Uang Diprediksi Naik pada Pemilu 2019
A
A
A
JAKARTA - Praktik politik uang (money politics) dalam Pemilu Serentak 2019 diperkirakan akan naik. Kondisi ini dipicu sistem pemilihan proporsional terbuka, ditambah dengan bertambahnya aktor politik yang maju sebagai calon legislatif (caleg) sehingga dipastikan persaingan akan semakin ketat.
Di sisi lain, perhatian publik dan media massa dalam pemilu serentak ini lebih banyak tersedot pada perhelatan pemilihan presiden (pilpres) sehingga pertarungan di tingkat bawah dalam kontestasi pemilihan legislatif (pileg) diperkirakan semakin brutal.
“Karena 2019 kita masih memakai open list proprotional system, kemungkinan besar praktik politik uang akan menjadi new normal, normalitas baru karena mekanismenya masih sama,” ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam diskusi Kemendagri Media Forum bertajuk Potensi Politik Uang di Pemilu 2019 di Gedung Kemendagri, Jakarta, Jumat (8/2/2019).
Burhanuddin mengatakan, semakin banyaknya caleg yang bertarung pada Pemilu 2019 juga membuat persaingan semakin ketat. ”Total ada 300.000-an (caleg) karena dapilnya nambah, kursi juga nambah. Pada saat yang sama, media fokus di pilpres. Akhirnya pertarungan di bawah lebih brutal karena monitor kurang, dugaan saya (politik uang) naik,” paparnya.
Dalam penelitian yang dilakukannya, praktik politik uang di Indonesia sungguh memprihatinkan karena berada di posisi ketiga terbesar di dunia. “Dari temuan kami, rata-rata 28,6 persen. Angka tertinggi dengan berbagai macam metode bertanya saya kepada responden di 2014, itu 33 persen. Artinya satu dari tiga orang Indonesia menerima politik uang. Itu equal dengan 60 juta orang,” urainya.
Jika dibandingkan pada pemilu-pemilu sebelumnya juga ada tren terus meningkat. Menurut Burhanuddin, pada 2009, praktik politik uang hanya mencapai 10%, kemudian pada Pemilu 2014 naik menjadi 33%. Sementara sasaran dari poraktik politik uang ini adalah orang yang dekat dengan partai politik. “Secara relatif cenderung orang yang dekat dengan partai disasar politik uang, tapi secara absolut, politik uang itu terjadi di swing voters,” paparnya.
Apakah praktik politik uang ini efektif bisa mendulang suara? Burhanuddin mengatakan bahwa banyak yang salah target dalam praktik politik uang. Pertama, banyak penerima uang politik yang hanya mengambil uangnya, namun tidak memilih. Selain itu, juga ada kebocoran uang politik yang terjadi di tingkat agen, broker atau yang kerap disebut tim sukses.
”Banyak timses yang menduakan caleg. Gimana mau efektif? Sudah pasti ada ketidakefektifan dalam politik uang. Potensi terjadinya uang disunat koordinator itu besar terjadi. Itu agency loss. Ada yang ngaku by name by address. Tapi ada lembaga yang melakukan riset, itu ada satu RW itu isinya kompleks kuburan tapi diklaimkan kepada timses untuk dibayarkan. Itu dikantongin timsesnya sendiri,” katanya.
Kalau begitu, apakah berarti para politisi itu bodoh sehingga mau mengeluarkan uang jika tidak efektif? Menurut Burhanuddin, para politisi umumnya sudah memiliki perhitungan bahwa mereka umumnya mengetahui ada kebocoran uang, namun di sisi lain ada celah yang harus dimasuki untuk mendapatkan suara dengan menggunakan politik uang. “Ada 10,2 persen dari pemilih yang pilihannya tergantung uang. Itu terlihat kecil, tapi 10,2 persen ini lebih dari cukup mengantarkan caleg mengalahkan teman separtainya dan lolos ke Senayan,” katanya.
Hal ini terjadi karena dengan sistem proporsional terbuka, margin kemenangan antar caleg rata-rata pada 2014 lalu hanya 1,65%. Karena itu, angka 10,2% tersebut menjadi lebih dari cukup. Dia mencontohkan, di satu daerah pemilihan DPRD di Yogyakarta, antarcaleg dalam satu parpol ada yang terpilih hanya selisih satu suara saja dari caleg urutan kedua. “Ada juga caleg DPR RI yang terpilih hanya selisih 25 suara saja. Celah itu yang membuat politik uang menjadi ‘penting’,” katanya.
Di sisi lain, perhatian publik dan media massa dalam pemilu serentak ini lebih banyak tersedot pada perhelatan pemilihan presiden (pilpres) sehingga pertarungan di tingkat bawah dalam kontestasi pemilihan legislatif (pileg) diperkirakan semakin brutal.
“Karena 2019 kita masih memakai open list proprotional system, kemungkinan besar praktik politik uang akan menjadi new normal, normalitas baru karena mekanismenya masih sama,” ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam diskusi Kemendagri Media Forum bertajuk Potensi Politik Uang di Pemilu 2019 di Gedung Kemendagri, Jakarta, Jumat (8/2/2019).
Burhanuddin mengatakan, semakin banyaknya caleg yang bertarung pada Pemilu 2019 juga membuat persaingan semakin ketat. ”Total ada 300.000-an (caleg) karena dapilnya nambah, kursi juga nambah. Pada saat yang sama, media fokus di pilpres. Akhirnya pertarungan di bawah lebih brutal karena monitor kurang, dugaan saya (politik uang) naik,” paparnya.
Dalam penelitian yang dilakukannya, praktik politik uang di Indonesia sungguh memprihatinkan karena berada di posisi ketiga terbesar di dunia. “Dari temuan kami, rata-rata 28,6 persen. Angka tertinggi dengan berbagai macam metode bertanya saya kepada responden di 2014, itu 33 persen. Artinya satu dari tiga orang Indonesia menerima politik uang. Itu equal dengan 60 juta orang,” urainya.
Jika dibandingkan pada pemilu-pemilu sebelumnya juga ada tren terus meningkat. Menurut Burhanuddin, pada 2009, praktik politik uang hanya mencapai 10%, kemudian pada Pemilu 2014 naik menjadi 33%. Sementara sasaran dari poraktik politik uang ini adalah orang yang dekat dengan partai politik. “Secara relatif cenderung orang yang dekat dengan partai disasar politik uang, tapi secara absolut, politik uang itu terjadi di swing voters,” paparnya.
Apakah praktik politik uang ini efektif bisa mendulang suara? Burhanuddin mengatakan bahwa banyak yang salah target dalam praktik politik uang. Pertama, banyak penerima uang politik yang hanya mengambil uangnya, namun tidak memilih. Selain itu, juga ada kebocoran uang politik yang terjadi di tingkat agen, broker atau yang kerap disebut tim sukses.
”Banyak timses yang menduakan caleg. Gimana mau efektif? Sudah pasti ada ketidakefektifan dalam politik uang. Potensi terjadinya uang disunat koordinator itu besar terjadi. Itu agency loss. Ada yang ngaku by name by address. Tapi ada lembaga yang melakukan riset, itu ada satu RW itu isinya kompleks kuburan tapi diklaimkan kepada timses untuk dibayarkan. Itu dikantongin timsesnya sendiri,” katanya.
Kalau begitu, apakah berarti para politisi itu bodoh sehingga mau mengeluarkan uang jika tidak efektif? Menurut Burhanuddin, para politisi umumnya sudah memiliki perhitungan bahwa mereka umumnya mengetahui ada kebocoran uang, namun di sisi lain ada celah yang harus dimasuki untuk mendapatkan suara dengan menggunakan politik uang. “Ada 10,2 persen dari pemilih yang pilihannya tergantung uang. Itu terlihat kecil, tapi 10,2 persen ini lebih dari cukup mengantarkan caleg mengalahkan teman separtainya dan lolos ke Senayan,” katanya.
Hal ini terjadi karena dengan sistem proporsional terbuka, margin kemenangan antar caleg rata-rata pada 2014 lalu hanya 1,65%. Karena itu, angka 10,2% tersebut menjadi lebih dari cukup. Dia mencontohkan, di satu daerah pemilihan DPRD di Yogyakarta, antarcaleg dalam satu parpol ada yang terpilih hanya selisih satu suara saja dari caleg urutan kedua. “Ada juga caleg DPR RI yang terpilih hanya selisih 25 suara saja. Celah itu yang membuat politik uang menjadi ‘penting’,” katanya.
(pur)