Rekam Biometrik Susahkan Jamaah Umrah, Presiden Diminta Turun Tangan
A
A
A
JAKARTA - Pelaksanaan pengambilan data biometrik calon jamaah umrah oleh VFS Tasheel telah menyengsarakan calon jamaah umrah di Tanah Air. Karena itu, Permusyawaran Antar Syarikat Travel Umrah dan Haji Indonesia (PATUHI) meminta Presiden Joko Widodo untuk turun tangan langsung menangani masalah yang ada.
“Layanan yang diberikan VFS Tasheel bisa menimbulkan kegaduhan. Karena banyak jamaah umrah yang tertunda akibat batalnya tiket pesawat dan hotel. Pihak VFS Tasheel sudah diajak bicara, tapi tak ada solusinya. Saat bertemu kami, mereka mengatakan, kami hanya kontraktor, hanya pelaksana yang tergantung kebijakan dari Kerajaan Arab Saudi. Kalau mau umrah ya harus lewat biometrik, kalau tidak mau ikut biometrik ga usah umrah,” kata Artha Hanif, Ketua Harian PATUHI saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Kamis (3/1/2019).
Dia menilai, kerja yang dilakukan VFS Tasheel menimbulkan kegelisahan baru bagi para calon jamaah umrah maupun penyelenggara umrah Indonesia. Sebab perusahaan asing ini bekerja tanpa dibekali perangkat yang memadai, bahkan lokasi kantornya sulit dijangkau para calon jamaah umrah yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. “Ditambah kemampuan SDM yang minim, baik dalam penguasaan alat maupun pelayanan,” keluh Artha Hanif.
Lebih lanjut dijelaskan, kebijakan pengambilan data biometrik calon jamaah umrah oleh VFS Tasheel sudah dimulai sejak 17 Desember 2018. Padahal saat itu adalah masa puncak umrah, tapi jamaah dipaksa untuk melakukan pendataan biometrik. “Ternyata mereka tidak siap. Banyak calon jamaah umrah yang tidak terlayani, meskipun sudah datang dari lokasi yang jauh,” sesalnya.
Joko Asmoro, Ketua Umum Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), mengutarakan, aturan biometrik umrah dan haji menyulitkan calon jamaah di Indonesia karena letak geografis yang tidak memungkinkan. “Takutnya kekisruhan ini memuncak dan menimbulkan kemarahan masyarakat. Ambil contoh, calon jamaah umrah di Papua harus ke Makassar untuk pengambilan data biometrik. Tapi sampai sana tidak terlayani karena fasilitas dari VFS Tasheel yang tidak mendukung. Di Padang calon jamaah umrah harus antre selama dua hari,” ungkap Joko Asmoro.
Melihat fakta di atas, beber dia, maka calon jamaah umrah harus mengeluarkan biaya lebih besar. Padahal di Indonesia, peminat umrah bukan hanya kalangan menengah ke atas, tapi juga menengah ke bawah.
Pada kesempatan yang sama, Asrul Aziz, Ketua Umum Kesatuan Tour Travel Haji Umrah Republik Indonesia (Kesthuri), mengusulkan agar pengambilan data biometrik dilakukan di airport keberangkatan. Hal ini menjadi jalan tengah agar tidak menyengsarakan jamaah umrah.
“Kami tidak menolak aturan rekam biometrik, tapi VFS Tasheel tidak siap. Tiap tahun Indonesia mengirim satu jutaan jamaah umrah, berarti kalau dihitung per hari ada 5.000 orang yang harus rekam biometrik. Mereka tidak siap,” kritiknya.
Dia menambahkan, jika Indonesia tidak mengirimkan jamaah umrah ke Tanah Suci, maka rakyat Arab Saudi bisa merugi. “Kenapa? Kita memang bukan pengirim jamaah terbesar, yang terbesar adalah Pakistan. Tapi jamaah Pakistan membawa makanan sendiri dan tinggal di hotel-hotel yang jauh. Sedangkan jamaah Indonesia tidak membawa makanan sendiri dan tinggal di hotel-hotel yang dekat. Ini menguntungkan pengusaha di sana,” klaim Asrul Aziz.
Mempermasalahkan Status VFS Tasheel
Kebijakan rekam biometrik awalnya dimaksudkan Kerajaan Arab Saudi untuk mengurangi antrean saat kedatangan di bandara Jeddah maupun Madinah. Tapi praktiknya telah berubah menjadi prosedur tambahan yang sangat menyulitkan jamaah umrah.
Menurut PATUHI, saat kedatangan di bandara di Jeddah dan Madinah jamaah hanya mengantre dalam durasi 30 menit saat peak season. Kini setelah pengambilan data biometriknya di 34 kantor VFS Tasheel di beberapa ibu kota provinsi di Indonesia, jamaah harus menempuh perjalanan yang bisa mencapai 3 hari 2 malam karena faktor geografis dan terbatasnya pelayanan.
Keluhan para jamaah umrah ini sudah dilayangkan PATUHI kepada Kementerian Agama, Kemenlu, DPR, Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta serta langsung menemui Wakil Menteri Haji bidang Umrah, Wazan di Jeddah. Tapi keluhan yang disertai foto, video atas kesulitan dan kesengsaraan jamaah umrah ini terus berlangsung sejak diwajibkannya kelengkapan data biometrik ini oleh Kedutaan Saudi per 17 Desember 2018.
“PATUHI meminta kepada Presiden sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan yang berkewajiban melindungi kedaulatan negara Indonesia agar segera menstop kegiatan penzaliman oleh swasta asing yang mengambil data diri warga negara RI tanpa hak di wilayah hukum kedaulatan Indonesia,” kata Artha Hanif.
Mengapa dikatakan tanpa hak? Dijelaskannya, PATUHI menemukan banyak kejanggalan dalam pelaksanaan biometrik ini. Selain secara teknis sangat menyulitkan jamaah, VFS Tasheel juga mengabaikan UU No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Yakni, Perseroan Terbatas yang terlibat dalam penyelenggaraan umrah wajib mendapat izin Menteri Agama.
Sementara VFS Tasheel tidak memiliki izin dari Menteri Agama. Sedangkan dalam hal pengambilan data biometrik sesungguhnya kewenangan Dukcapil dan Dirjen Imigrasi. “VFS Tasheel juga tidak mendapat izin maupun rekomensasi dari Kemendagri. Dengan demikian VFS Tasheel berupaya mengawal aturan keimigrasian Saudi tetapi melanggar aturan dan perundangan di Indonesia,” cetusnya.
Untuk itu, tegas dia, kalau Kemenag, Kemendagri, dan Kemenlu tidak dapat menghentikan kegiatan usaha swasta asing yang melanggar hukum ini, maka pihaknya segera menyampaikan hal ini kepada Presiden. Sebab ini menyangkut marwah bangsa.
“Kami meminta Presiden beserta jajaran kabinet terkait agar meminta Duta Besar Saudi Arabia di Indonesia untuk menghentikan pelaksanaan pengambilan data biometrik bagi jamaah umrah sampai aspek hukumnya terpenuhi sesuai undang-undang dan peraturan di Indonesia. Begitu juga sampai aspek teknis pengambilan data biometrik tidak lagi menyulitkan jamaah umrah, baik secara ekonomis maupun geografis,” harapnya.
PATUHI sendiri beranggotakan 1.006 perusahaan travel umrah dan haji yang berada di bawah empat asosiasi. Masing-masing, AMPHURI, Kesthuri, ASPHURINO, dan HIMPUH.
“Layanan yang diberikan VFS Tasheel bisa menimbulkan kegaduhan. Karena banyak jamaah umrah yang tertunda akibat batalnya tiket pesawat dan hotel. Pihak VFS Tasheel sudah diajak bicara, tapi tak ada solusinya. Saat bertemu kami, mereka mengatakan, kami hanya kontraktor, hanya pelaksana yang tergantung kebijakan dari Kerajaan Arab Saudi. Kalau mau umrah ya harus lewat biometrik, kalau tidak mau ikut biometrik ga usah umrah,” kata Artha Hanif, Ketua Harian PATUHI saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Kamis (3/1/2019).
Dia menilai, kerja yang dilakukan VFS Tasheel menimbulkan kegelisahan baru bagi para calon jamaah umrah maupun penyelenggara umrah Indonesia. Sebab perusahaan asing ini bekerja tanpa dibekali perangkat yang memadai, bahkan lokasi kantornya sulit dijangkau para calon jamaah umrah yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. “Ditambah kemampuan SDM yang minim, baik dalam penguasaan alat maupun pelayanan,” keluh Artha Hanif.
Lebih lanjut dijelaskan, kebijakan pengambilan data biometrik calon jamaah umrah oleh VFS Tasheel sudah dimulai sejak 17 Desember 2018. Padahal saat itu adalah masa puncak umrah, tapi jamaah dipaksa untuk melakukan pendataan biometrik. “Ternyata mereka tidak siap. Banyak calon jamaah umrah yang tidak terlayani, meskipun sudah datang dari lokasi yang jauh,” sesalnya.
Joko Asmoro, Ketua Umum Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), mengutarakan, aturan biometrik umrah dan haji menyulitkan calon jamaah di Indonesia karena letak geografis yang tidak memungkinkan. “Takutnya kekisruhan ini memuncak dan menimbulkan kemarahan masyarakat. Ambil contoh, calon jamaah umrah di Papua harus ke Makassar untuk pengambilan data biometrik. Tapi sampai sana tidak terlayani karena fasilitas dari VFS Tasheel yang tidak mendukung. Di Padang calon jamaah umrah harus antre selama dua hari,” ungkap Joko Asmoro.
Melihat fakta di atas, beber dia, maka calon jamaah umrah harus mengeluarkan biaya lebih besar. Padahal di Indonesia, peminat umrah bukan hanya kalangan menengah ke atas, tapi juga menengah ke bawah.
Pada kesempatan yang sama, Asrul Aziz, Ketua Umum Kesatuan Tour Travel Haji Umrah Republik Indonesia (Kesthuri), mengusulkan agar pengambilan data biometrik dilakukan di airport keberangkatan. Hal ini menjadi jalan tengah agar tidak menyengsarakan jamaah umrah.
“Kami tidak menolak aturan rekam biometrik, tapi VFS Tasheel tidak siap. Tiap tahun Indonesia mengirim satu jutaan jamaah umrah, berarti kalau dihitung per hari ada 5.000 orang yang harus rekam biometrik. Mereka tidak siap,” kritiknya.
Dia menambahkan, jika Indonesia tidak mengirimkan jamaah umrah ke Tanah Suci, maka rakyat Arab Saudi bisa merugi. “Kenapa? Kita memang bukan pengirim jamaah terbesar, yang terbesar adalah Pakistan. Tapi jamaah Pakistan membawa makanan sendiri dan tinggal di hotel-hotel yang jauh. Sedangkan jamaah Indonesia tidak membawa makanan sendiri dan tinggal di hotel-hotel yang dekat. Ini menguntungkan pengusaha di sana,” klaim Asrul Aziz.
Mempermasalahkan Status VFS Tasheel
Kebijakan rekam biometrik awalnya dimaksudkan Kerajaan Arab Saudi untuk mengurangi antrean saat kedatangan di bandara Jeddah maupun Madinah. Tapi praktiknya telah berubah menjadi prosedur tambahan yang sangat menyulitkan jamaah umrah.
Menurut PATUHI, saat kedatangan di bandara di Jeddah dan Madinah jamaah hanya mengantre dalam durasi 30 menit saat peak season. Kini setelah pengambilan data biometriknya di 34 kantor VFS Tasheel di beberapa ibu kota provinsi di Indonesia, jamaah harus menempuh perjalanan yang bisa mencapai 3 hari 2 malam karena faktor geografis dan terbatasnya pelayanan.
Keluhan para jamaah umrah ini sudah dilayangkan PATUHI kepada Kementerian Agama, Kemenlu, DPR, Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta serta langsung menemui Wakil Menteri Haji bidang Umrah, Wazan di Jeddah. Tapi keluhan yang disertai foto, video atas kesulitan dan kesengsaraan jamaah umrah ini terus berlangsung sejak diwajibkannya kelengkapan data biometrik ini oleh Kedutaan Saudi per 17 Desember 2018.
“PATUHI meminta kepada Presiden sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan yang berkewajiban melindungi kedaulatan negara Indonesia agar segera menstop kegiatan penzaliman oleh swasta asing yang mengambil data diri warga negara RI tanpa hak di wilayah hukum kedaulatan Indonesia,” kata Artha Hanif.
Mengapa dikatakan tanpa hak? Dijelaskannya, PATUHI menemukan banyak kejanggalan dalam pelaksanaan biometrik ini. Selain secara teknis sangat menyulitkan jamaah, VFS Tasheel juga mengabaikan UU No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Yakni, Perseroan Terbatas yang terlibat dalam penyelenggaraan umrah wajib mendapat izin Menteri Agama.
Sementara VFS Tasheel tidak memiliki izin dari Menteri Agama. Sedangkan dalam hal pengambilan data biometrik sesungguhnya kewenangan Dukcapil dan Dirjen Imigrasi. “VFS Tasheel juga tidak mendapat izin maupun rekomensasi dari Kemendagri. Dengan demikian VFS Tasheel berupaya mengawal aturan keimigrasian Saudi tetapi melanggar aturan dan perundangan di Indonesia,” cetusnya.
Untuk itu, tegas dia, kalau Kemenag, Kemendagri, dan Kemenlu tidak dapat menghentikan kegiatan usaha swasta asing yang melanggar hukum ini, maka pihaknya segera menyampaikan hal ini kepada Presiden. Sebab ini menyangkut marwah bangsa.
“Kami meminta Presiden beserta jajaran kabinet terkait agar meminta Duta Besar Saudi Arabia di Indonesia untuk menghentikan pelaksanaan pengambilan data biometrik bagi jamaah umrah sampai aspek hukumnya terpenuhi sesuai undang-undang dan peraturan di Indonesia. Begitu juga sampai aspek teknis pengambilan data biometrik tidak lagi menyulitkan jamaah umrah, baik secara ekonomis maupun geografis,” harapnya.
PATUHI sendiri beranggotakan 1.006 perusahaan travel umrah dan haji yang berada di bawah empat asosiasi. Masing-masing, AMPHURI, Kesthuri, ASPHURINO, dan HIMPUH.
(pur)