Selalu Waspada di Negeri Bencana

Sabtu, 29 Desember 2018 - 08:43 WIB
Selalu Waspada di Negeri...
Selalu Waspada di Negeri Bencana
A A A
JAKARTA - Tahun 2018 ditutup dengan duka akibat bencana tsunami Selat Sunda yang mengorbankan ratusan jiwa. Memasuki 2019, bukan berarti ancaman berkurang. Bahkan jumlahnya diprediksi meningkat dengan skala tak kalah berbahaya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memprediksi akan ada sekitar 2.500 bencana yang bakal terjadi di berbagai penjuru Tanah Air pada tahun depan.

Bencana dimaksud berupa tsunami, gempa bumi, gunung meletus, tanah longsor, banjir, gelombang pasang atau abrasi, kebakaran hutan dan lahan, puting beliung, kekeringan, dan lain nya. Dari jumlah ancaman bencana tersebut, bencana hidrometeorologi yang di picu faktor hujan mendominasi. Pemerintah merespons serius ancaman tersebut.

Respons dilakukan dengan membuat aturan yang bertujuan agar pencegahan dan penanganan bencana antara Badan Meteorologi , Klimatologi dan Geofisika (BMKG), BNPB, Badan SAR Nasional (Basarnas) serta institusi terkait lainnya bisa dilakukan lebih terpadu. Aturan tersebut kini sedang diproses.

Menghadapi setumpuk ancaman bencana itu, Kepala BNPB Willem Rampangilei mengajak bangsa ini agar tidak hanya berpangku tangan dan menjadi penonton serta cuma berharap mendapatkan bantuan saat menjadi korban. Dia meminta bangsa ini menyesuaikan mindset hidup di negeri bencana dan melakukan perubahan paradigma.

“Dulu budaya kita budaya respons. Artinya begitu terjadi bencana baru kita respons. Ke depan tidak bisa begitu lagi, tapi budaya sadar bencana dan kesiapsiagaan yang perlu di tingkatkan,” ujar Willem saat Evaluasi Penanggulangan Ben cana 2018 dan Tantangan 2019 di Graha BNPB Jakarta kemarin.

Berdasarkan data BNPB, ancaman bencana merata terjadi di seluruh wilayah Tanah Air. Banjir, misalnya, membahayakan 489 kabupaten dan kota, sedangkan tanah longsor mengancam 441 kabupaten dan kota. Wilayah paling rentan mengalami banjir dan longsor adalah sebagian besar wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara.

Kerentanan ini terjadi karena masih luasnya kerusakan daerah aliran sungai, lahan kritis, kerusakan hutan dan lingkungan, serta perubahan peruntukan lahan. Menurut Willem, banjir dan tanah longsor bakal terjadi sejak awal 2019 karena memasuki puncak curah hujan.

Kondisi ini akan berlangsung hingga April nanti dan kemudian terjadi lagi di pengujung tahun saat Indonesia kembali memasuki musim hujan. Karena itu masyarakat diminta untuk selalu waspada. Walau sulit diprediksi–baik waktu, tempat maupun kekuatannya–, masyarakat juga harus mewaspadai gempa bumi.

Kewaspadaan diperlukan karena negara ini dikelilingi lempeng dunia seperti Lempeng Hindia-Australia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Eurasian. Bahaya bertambah jika daerah berada di jalur sesar dan subduksi alias pertemuan dua lempeng.

“Diprediksi gempa terjadi di jalur subduksi di laut dan jalur sesar darat. Dengan ditemukannya 214 sumber gempa baru, teridentifikasi 295 sesar aktif. Pembagiannya se bagai berikut; 37 sesar aktif terdapat di Jawa, 48 di Sulawesi, 79 di Papua, serta 49 di Nusa Tenggara dan Laut Banda,” jelas Willem.

Menurut dia, gempa terjadi di jalur subduksi di laut dan jalur sesar di darat maka perlu di waspadai terutama karena gempagempa di Indonesia bagian timur yang kondisi seismisitas dan geologinya lebih rumit dan kerentanannya lebih tinggi.

“Sedangkan potensi tsunami tergantung dari kekuatan gempa bumi dan lokasinya yaitu jika gempa lebih dari 7 SR dengan kedalaman kurang dari 20 km dan berada di jalur subduksi maka dapat berpotensi tsunami, kaanya. Begitu juga dengan erupsi gunung api yang tidak dapat diprediksi kapan akan berakhir.

Dari 127 gunung api di Indonesia yang aktif, saat ini terdapat satu gunung berstatus awas, yaitu Gunung Sinabung. Selanjutnya dua gunung, yaitu Soputan dan Gunung Agung, berstatus Siaga, serta 18 gunung berstatus Waspada, antara lain Merapi dan Gunung Anak Krakatau.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BN PB Sutopo Purwo Nugroho mengamini bahwa semakin tahun jumlah bencana di Indonesia selalu meningkat, terutama untuk bencana hidro meteorologi, seperti banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan, hingga cuaca ekstrem.

“Karena terkait ulah manusia. Hutan semakin berkurang, lingkungan semakin rusak, lahan kritis masih meningkat. Otomatis kerusakan lingkun an tadi menyebabkan terjadinya bencana hidro meteorologi,” papar Sutopo. Untuk meminimalkan dampak bencana tersebut, menurut Sutopo.

Negara ini harus melakukan kesiapsiagaan bencana dari hulu maupun hilir.

“Pemasangan sistem peringatan dini atau sensor itu hanya satu bagian, satu komponen dari sistem peringatan dini bencana. Masih harus dibangun shelter untuk tempat evakuasi, pendidikan kebencanaan yang harus ditingkatkan, rambu-rambu evakuasi harus segera di bangun, jalur evakuasi menyangkut tata ruang harus benar-benar ditegakkan,”ujar dia. Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut B.

Pandjaitan menyatakan bahwa saat ini pemerintah sedang memproses aturan yang bertujuan agar pencegahan dan penanganan bencana antara BMKG, BNPB, Basarnas, serta institusi terkait lainnya lebih terpadu. “Berkaca dari pengalaman peristiwa sebelumnya, kita sekarang sedang proses aturan tersebut.

Diakui memang ada kekosongan, dan masih ada masalah yang sudah bertahun-tahun. Nah sekarang saatnya kita ubah, pada bulan Januari nanti rencananya akan kita keluarkan setelah Rapat Terbatas dengan Presiden,” ujar Menko Luhut yang didampingi oleh Kepala Basarnas M. Syauqi dan Bupati Pandeglang Irma Narulita saat meninjau langsung penanganan pasca bencana tsunami di Kabupaten Pandeglang, Banten, kemarin.

Menko Luhut menjelaskan, nantinya dalam regulasi tersebut diantaranya akan ada skema early warning system (sistem peringatan dini) yang akan dibuat lebih terpadu sehingga dengan demikian antisipasi awal akan lebih baik dari saat ini.

“Misalnya dari BMKG yang bekerjasama dengan Kementerian ESDM telah membuat data digital dari awalnya yang analog. Artinya apa? Data itu sudah mulai terintegrasi. Kita targetkan setelah regulasi ini keluar, keterpaduan akan lebih baik lagi,” tambahnya.

Di kawasan Selat Sunda, misalnya, pemerintah berencana segera memasang peranti early warning system di 3 pulau yang berdekatan dengan Gunung Anak Krakatau, yaitu pulau Krakatau, pulau Sertung, dan pulau Panjang. Selain itu juga akan dipasang di wilayah Pulau Semeleu, Mentawai, lepas pantai Padang, Bengkulu dan daerah lain yang dipandang rawan.

Potensi Longsor Anak Krakatau
Aktivitas Gunung Anak Krakatau masih berlanjut. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan, dari pantauan BMKG tercatat tremor masih berlangsung terus, dan letusan-letusan strombolian masih berlangsung.

Menurut dia, letusan ham pir terjadi setiap saat disertai dengan lontaran batu pijar, longsoran awan panas sampai dengan 2 meter dan abu vulkanik. Dengan terus berlangsungnya erupsi, masyarakat harus tetap mewaspadai potensi tsu nami. Sebab dengan memuntahkan lava api pijar dan sebagainya, otomatis hal itu akan menambah aktivitas di sekitarnya.

Getaran yang di timbulkan selama erupsi, awan panas dan lava yang langsung bersentuhan dengan air laut akan menimbulkan ledakan. Getaran-getaran itu juga bisa memicu terjadinya longsor bawah laut.

“BMKG saat ini masih merekomendasikan masyarakat untuk tidak melakukan aktivitas di sekitar Gunung Anak Kra katau karena potensinya masih ada. Apalagi erupsi dari Gu nung Anak Krakatau masih terus berlangsung,” paparnya.

Dia lantas mengingatkan, radius bahaya yang ditetapkan masih sama di status siaga level 3 radius 5 km dari puncak kawah Gunung Anak Krakatau tidak boleh ada aktivitas. Sutopo memastikan pada radius tersebut tidak ada permukiman. Pemukiman terdekat berada di Pulau Sebesi yang jaraknya 19,1 km.

Pulau terdekat lainnya, Pulau Sebuku, tidak ada penduduknya. Kendati demikian jarak Pulau Sebesi dengan Anak Krakatau relatif jauh. BNPB melakukan antisipasi dengan mengevakuasi warga di pulau tersebut. Dari jumlah penduduk sebanyak 280.014 jiwa, saat ini yang sudah dievakuasi 1.600 jiwa.

Mereka ditempatkan di Kalianda dan Rajabasa “Sementara untuk daerah yang lain, dari rekomendasi BM KG masyarakat diimbau tidak melakukan aktivitas yang berjarak 500 meter hingga 1 km. Baik untuk daerah Serang, Pandeglang, Lampung Selatan, Pesawaran maupun Tanggamus.

Ini adalah rekomendasi BM KG. Jadi tetap merujuk pada peringatan institusi yang berwenang sehingga tidak terjadi ke simpang-siuran.” Tandasnya. Kepala Pusat Gempa bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Tri yono menyatakan bahwa aktivitas Gunung Anak Krakatau tidak berpotensi tsunami.

Hal ini merepons sensor gempa BMKG yang mencatat aktivitas seismik di zona Gunung Anak Krakatau, Selat Sunda, pada Jumat pukul 05.11 WIB.

“Aktivitas seismik ini memiliki magnitudo setara magnitu do 3,0 dengan episentrum terletak di Gunung Anak Krakatau, tepatnya pada koordinat 6,08 Lintang Selatan dan 105,41 Bujur Timur pada kedalaman 1 km.

Aktivitas seismik ini tidak berpotensi tsunami,” katanya. Rahmat menjelaskan, dengan memperhatikan lokasi episenter, kedalaman hiposenter, dan bentuk gelombang nya (waveform ), tampak bahwa ak ti vitas seismik ini merupakan gempa dangkal yang diperkirakan akibat aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau.

Untuk diketahui, aktivitas Gunung Anak Krakatau ini tercatat oleh tujuh stasiun seismik milik BMKG di sekitar Selat Sunda, yaitu Cigeulis (CGJI), Serang (SBJI), Sukabumi (SK JI), Muara Dua (MDSI), Ca ca ban (CNJI), Bungbulang (BB JI), dan Tanjung Pandan (TPI).
(Binti Mufarida)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0802 seconds (0.1#10.140)