DN-PIM Ungkap Delapan Indikasi Retaknya Kebangsaan Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM) mengungkapkan saat ini bangsa Indonesia terjebak dalam egosentrisme atau primordialisme, baik keagamaan, kesukuan maupun kepentingan politik sempit dan kepentingan bisnis yang memicu retaknya kebangsaan Indonesia.
Wakil Ketua Umum DN-PIM, Siti Zuhro menyebut delapan indikasi yang membuat retaknya rasa kebangsaan Indonesia, salah satunya terkoyaknya kohesi sosial.
Hal tersebut ditandai berkembangnya rasa saling tidak percaya, saling tidak menghormati, saling curiga dan saling mencermati di antara kelompok dalam masyarakat.
"Kedua, menguatnya egosentrisme atau bangkitnya primodialisme. Hal ini dipicu oleh kesenjangan sosial-ekonomi dan budaya politik, di mana pemenang mengambil semua (the winner takes all) sehingga pelayanan politik bersifat eksklusif dan kepemimpinan politik tidak berada di atas dan untuk semua kelompok," ujar Siti dalam jumpa pers Refleksi Akhir Tahun 2018 DN-PIM, di kantor DN-PIM, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (27/12/2018).
Ketiga, kata Siti, "gaibnya" keadilan. Ketidakadilan ekonomi dinilai sangat terasa pada dunia bisnis. 90% lebih pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM, namun akses UMKM terhadap lembaga keuangan formal hanya 30%. UMKM harus menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, bukan sebagai penonton.
"Pemerintah hendaknya tidak sekadar manis di bibir, namun pahit dirasakan. Pemerintah harus menjadikan UMKM sebagai anak emas, baik dalam jargon maupun kenyataannya," kata Siti.
Keempat, lanjut Siti, raibnya keadaban publik. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai bangsa yang sopan santun, namun saat ini sebagian masyarakat terjebak dalam perilaku kekerasan dan bentuk-bentuk ketidakadaban lainnya. Seperti persekusi oleh sekelompok orang terhadap lainnya, hingga kriminalisasi lawan politik.
"Kelima, ketidakpastian dan ketidakadilan hukum. Selama tahun 2018 ini penegakan hukum masih menjadi masalah serius yang sering disebut tajam ke bawah tumpul ke atas, hal itu ditandai oleh kasus-kasus hukum yang berskala besar dan melibatkan elite politik nyaris tak tersentuh, bahkan dilupakan," ungkapnya.
Keenam, lanjut peneliti senior LIPI ini mengatakan terdapat "buta aksara moral" pada bangsa Indonesia. Hal ini merupakan masalah mendasar di tubuh bangsa, yaitu adanya pelanggaran moral oleh kaum terdidik sekalipun. Banyak kaum terdidik terjerat masalah hukum, terutama korupsi.
Ketujuh, Siti menyebut terdapat rendahnya daya saing bangsa Indonesia. Hal ini disebabkanrendahnya kualitas SDM. Tingkat pendidikan Indonesia masih 7 tahun dan pendidikab masyarakat Indonesia masih 60% berpendidikan rendah, 25% pendidikan menengah, 15% pendidikan tinggi.
"Perlu dilakukan keseimbangan antara pembangunan infrastruktur secara fisik dan pembangunan infratruktur non fisik. Bahkan harus lebih diutamakan sebagai pendorong utama pembangunan bangsa," tutur Siti.
Terakhir, distorsi wacana kebangsaaan. Selama 2018 sangat terasa Indonesia menjadi bangsa terbelah menjelang Pilpres 2019. Makna pemilu disempitkan semata-mata untuk mempertahankan status quo saja.
"Atas dasar itu DN-PIM mengajak semua anak bangsa untuk kembali pada cita-cita luhur bangsa Indonesia. Negara kita adalah negara milik bersama dan untuk bersama. Semoga Tuhan meridhai perjuangan kita," tuturnya.
Wakil Ketua Umum DN-PIM, Siti Zuhro menyebut delapan indikasi yang membuat retaknya rasa kebangsaan Indonesia, salah satunya terkoyaknya kohesi sosial.
Hal tersebut ditandai berkembangnya rasa saling tidak percaya, saling tidak menghormati, saling curiga dan saling mencermati di antara kelompok dalam masyarakat.
"Kedua, menguatnya egosentrisme atau bangkitnya primodialisme. Hal ini dipicu oleh kesenjangan sosial-ekonomi dan budaya politik, di mana pemenang mengambil semua (the winner takes all) sehingga pelayanan politik bersifat eksklusif dan kepemimpinan politik tidak berada di atas dan untuk semua kelompok," ujar Siti dalam jumpa pers Refleksi Akhir Tahun 2018 DN-PIM, di kantor DN-PIM, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (27/12/2018).
Ketiga, kata Siti, "gaibnya" keadilan. Ketidakadilan ekonomi dinilai sangat terasa pada dunia bisnis. 90% lebih pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM, namun akses UMKM terhadap lembaga keuangan formal hanya 30%. UMKM harus menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, bukan sebagai penonton.
"Pemerintah hendaknya tidak sekadar manis di bibir, namun pahit dirasakan. Pemerintah harus menjadikan UMKM sebagai anak emas, baik dalam jargon maupun kenyataannya," kata Siti.
Keempat, lanjut Siti, raibnya keadaban publik. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai bangsa yang sopan santun, namun saat ini sebagian masyarakat terjebak dalam perilaku kekerasan dan bentuk-bentuk ketidakadaban lainnya. Seperti persekusi oleh sekelompok orang terhadap lainnya, hingga kriminalisasi lawan politik.
"Kelima, ketidakpastian dan ketidakadilan hukum. Selama tahun 2018 ini penegakan hukum masih menjadi masalah serius yang sering disebut tajam ke bawah tumpul ke atas, hal itu ditandai oleh kasus-kasus hukum yang berskala besar dan melibatkan elite politik nyaris tak tersentuh, bahkan dilupakan," ungkapnya.
Keenam, lanjut peneliti senior LIPI ini mengatakan terdapat "buta aksara moral" pada bangsa Indonesia. Hal ini merupakan masalah mendasar di tubuh bangsa, yaitu adanya pelanggaran moral oleh kaum terdidik sekalipun. Banyak kaum terdidik terjerat masalah hukum, terutama korupsi.
Ketujuh, Siti menyebut terdapat rendahnya daya saing bangsa Indonesia. Hal ini disebabkanrendahnya kualitas SDM. Tingkat pendidikan Indonesia masih 7 tahun dan pendidikab masyarakat Indonesia masih 60% berpendidikan rendah, 25% pendidikan menengah, 15% pendidikan tinggi.
"Perlu dilakukan keseimbangan antara pembangunan infrastruktur secara fisik dan pembangunan infratruktur non fisik. Bahkan harus lebih diutamakan sebagai pendorong utama pembangunan bangsa," tutur Siti.
Terakhir, distorsi wacana kebangsaaan. Selama 2018 sangat terasa Indonesia menjadi bangsa terbelah menjelang Pilpres 2019. Makna pemilu disempitkan semata-mata untuk mempertahankan status quo saja.
"Atas dasar itu DN-PIM mengajak semua anak bangsa untuk kembali pada cita-cita luhur bangsa Indonesia. Negara kita adalah negara milik bersama dan untuk bersama. Semoga Tuhan meridhai perjuangan kita," tuturnya.
(dam)