Said Aqil ke Dubes China: NU Tidak Diam Jika Masalah Uighur soal Agama
A
A
A
JAKARTA - Duta Besar (Dubes) China untuk Indonesia Xiao Qian mengunjungi kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jalan Kramat Raya, Jakarta, pada Senin (24/12/2018). Mereka diterima Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj. Dalam pertemuan itu, Said Aqil menyatakan NU siap menjadi mediator untuk menyelesaikan polemik antara Pemerintah China dengan Muslim Uighur di Xinjiang.
"NU memiliki rekam jejak menjadi juru damai antara dua kelompok yang berkonflik. Mulai dari konflik Pattani-Pemerintah Thailand, Sunni-Syiah di Irak, hingga Taliban-Pemerintah Afghanistan. Meski yang terakhir masih terus diupayakan hingga hari ini," kata Said Aqil.
PBNU berpandangan bahwa persoalan muslim Uighur di Xinjiang menjadi urusan domestik Pemerintah China apabila berkaitan dengan separatisme dan bersifat politis. "Siapa pun tidak bisa ikut campur," ucap Said Aqil.
Namun, lanjut Said Aqil, jika persoalannya berkaitan dengan agama Islam atau Muslim Uighur, maka itu menjadi persoalan semua umat Islam di seluruh dunia, termasuk NU.
"Kalau itu urusan agama, NU tidak akan diam. Kalau penindasan pemerintah China terhadap suku Uighur itu karena Islam, itu kita tidak boleh diam. Kalau urusan politik, ingin memisahkan diri, itu urusan dalam negeri. Itu pun kita harapkan penyelesaiannya dengan baik,” tukasnya.
Sementara Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian menuturkan, semua masyarakat China dari berbagai suku memiliki kebebasan dalam beragama, termasuk Uighur.
Menurut dia, persoalan di Xinjiang adalah masalah separatisme. Ada sekelompok orang yang ingin membuat Xinjiang berpisah dengan China, bahkan menggunakan kekerasan dan terorisme.
Menghadapi kelompok-kelompok seperti itu, kata Dubes Qian, China mengambil beberapa langkah kebijakan, di antaranya mengadakan program pendidikan vokasi. Dia mengklaim program tersebut sukses karena banyak orang yang masuk program pendidikan tersebut memiliki keterampilan dan memperoleh gaji.
China dihujani berbagai kritik dari masyarakat dunia atas perlakuan mereka yang dianggap menindas sejumlah besar warga etnis Uighur, kelompok minoritas Muslim negeri itu, antara lain dengan menahan mereka di kamp-kamp khusus.
Pada Agustus 2018, sebuah komite PBB mendapat laporan bahwa hingga satu juta warga Uighur dan kelompok Muslim lainnya ditahan di wilayah Xinjiang barat. Di sana mereka diduga menjalani apa yang disebut program 'reedukasi' atau 'pendidikan ulang'.
Pemerintah China membantah tudingan kelompok-kelompok HAM itu. Pada saat yang sama, ada semakin banyak bukti pengawasan opresif terhadap orang-orang yang tinggal di Xinjiang.
Pemerintah China berdalih, apa yang dilakukannya adalah serangkaian program untuk mencegah penyebaran ideologi radikal yang menginginkan Xinjiang pisah dari China.
"NU memiliki rekam jejak menjadi juru damai antara dua kelompok yang berkonflik. Mulai dari konflik Pattani-Pemerintah Thailand, Sunni-Syiah di Irak, hingga Taliban-Pemerintah Afghanistan. Meski yang terakhir masih terus diupayakan hingga hari ini," kata Said Aqil.
PBNU berpandangan bahwa persoalan muslim Uighur di Xinjiang menjadi urusan domestik Pemerintah China apabila berkaitan dengan separatisme dan bersifat politis. "Siapa pun tidak bisa ikut campur," ucap Said Aqil.
Namun, lanjut Said Aqil, jika persoalannya berkaitan dengan agama Islam atau Muslim Uighur, maka itu menjadi persoalan semua umat Islam di seluruh dunia, termasuk NU.
"Kalau itu urusan agama, NU tidak akan diam. Kalau penindasan pemerintah China terhadap suku Uighur itu karena Islam, itu kita tidak boleh diam. Kalau urusan politik, ingin memisahkan diri, itu urusan dalam negeri. Itu pun kita harapkan penyelesaiannya dengan baik,” tukasnya.
Sementara Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian menuturkan, semua masyarakat China dari berbagai suku memiliki kebebasan dalam beragama, termasuk Uighur.
Menurut dia, persoalan di Xinjiang adalah masalah separatisme. Ada sekelompok orang yang ingin membuat Xinjiang berpisah dengan China, bahkan menggunakan kekerasan dan terorisme.
Menghadapi kelompok-kelompok seperti itu, kata Dubes Qian, China mengambil beberapa langkah kebijakan, di antaranya mengadakan program pendidikan vokasi. Dia mengklaim program tersebut sukses karena banyak orang yang masuk program pendidikan tersebut memiliki keterampilan dan memperoleh gaji.
China dihujani berbagai kritik dari masyarakat dunia atas perlakuan mereka yang dianggap menindas sejumlah besar warga etnis Uighur, kelompok minoritas Muslim negeri itu, antara lain dengan menahan mereka di kamp-kamp khusus.
Pada Agustus 2018, sebuah komite PBB mendapat laporan bahwa hingga satu juta warga Uighur dan kelompok Muslim lainnya ditahan di wilayah Xinjiang barat. Di sana mereka diduga menjalani apa yang disebut program 'reedukasi' atau 'pendidikan ulang'.
Pemerintah China membantah tudingan kelompok-kelompok HAM itu. Pada saat yang sama, ada semakin banyak bukti pengawasan opresif terhadap orang-orang yang tinggal di Xinjiang.
Pemerintah China berdalih, apa yang dilakukannya adalah serangkaian program untuk mencegah penyebaran ideologi radikal yang menginginkan Xinjiang pisah dari China.
(thm)