Hoaks Ancaman Serius Pemilu

Kamis, 20 Desember 2018 - 15:06 WIB
Hoaks Ancaman Serius Pemilu
Hoaks Ancaman Serius Pemilu
A A A
JAKARTA - Penyebaran hoaks dan ujaran kebencian menjelang pesta demokrasi 2019 semakin masif. Celakanya, konten tersebut digunakan sebagai alat politik untuk menjatuhkan lawan demi meraih kekuasaan.

Hoaks dan ujaran kebencian terbukti telah menyebabkan konflik antarkelompok dan krisis kepercayaan yang mengancam demokrasi Indonesia. Krisis kepercayaan yang meluas menciptakan keresahan publik sehingga masyarakat kian susah membedakan informasi benar dan salah.

Direktur Eksekutif Indonesia Internet Communication dan Technology Institute (IICTI) Heru Sutadi memprediksikan bahwa hoaks di Pemilu 2019 akan menjadi yang terparah. Hal ini bisa dilihat dalam dua bulan terakhir memasuki masa kampanye, sudah banyak hoaks yang tersebar dan kecenderungannya meningkat. “Ini akan jadi kampanye hoaks terparah dalam sejarah dan tensinya akan terus naik,” kata Heru.

Menurut dia, hoaks disebarkan oleh semua kubu secara terbuka. Seperti misalnya soal Presiden ke-2 Suharto sebagai guru korupsi, dia mengakui jika mengacu pada Tap MPR No XI/1998. Isu tersebut seolah benar namun, kalau dibaca isinya ada perintah untuk memeriksa siapa pun jika ada indikasi KKN termasuk pada mantan presiden Soeharto dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah dan menghormati HAM.

“Jadi tak ada disebut guru korupsi. Contoh lainnya soal Pak Jokowi keturunan PKI yang merupakan isu yang selalu diulang-ulang. Kemudian hoaks Prabowo didukung kelompok radikal,” papar pengamat IT, Medsos dan Komunikasi Politik ini.

Heru mengungkapkan, jika diberi nilai antara 1-10, fenomena hoaks saat ini mendapat angka 8. Padahal, baru memasuki dua bulan masa kampanye. Karena itu, dia meminta aparat penegak hukum dan juga penyelenggara pemilu untuk melakukan upaya tegas terhadap siapa pun yang melanggar aturan dan menyebarkan hoaks.

Mereka yang melanggar harus diganjar sanksi sesuai aturan. “Sanksinya harus tegas dan adil. Jangan hanya satu kubu yang kena sanksi, tapi kubu lain dibiarkan,” harapnya.

Heru menjelaskan, penggunaan hoaks bertujuan mendegradasi pasangan calon (paslon) lain dan untuk mempropaganda agar pemilih beralih dukungan karena paslon yang didukung tidak bagus.

“Kampanye positif oke, kampanye negatif juga masih oke. Tapi jangan kampanye hitam. Nah, kampanye hitam inilah yang menjadi biang hoaks,” imbaunya.

Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro berpandangan, hoaks tidak seharusnya menjadi bagian dari kampanye Pemilu 2019. Tapi faktanya, dengan ketatnya kontestasi antara dua paslon di pilpres ini kecenderungan beredarnya hoaks justru cukup signifikan. “Secara umum, dampaknya merugikan publik karena mereka tidak mendapatkan info yang benar dan akurat,” kata perempuan yang akrab disapa Wiwiek itu.

Dia menjelaskan, dampak hoaks bagi masyarakat yang tidak berpikir panjang akan menerima begitu saja sehingga tidak menutup ke mungkinan akan memunculkan konflik atau permusuhan. “Dampak luasnya juga merugikan karena energi publik terkuras untuk hal-hal yang sifatnya fitnah dan adu domba,” paparnya.

Karena itu, lanjut dia, penyelenggara pemilu, baik itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) ataupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus melaku kan antisipatif dan tangkas dalam merespons dan memberi solusi terhadap kasus hoaks agar tidak meluas. Dan institusi penegak hukum sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) harus menindak pelaku pembuat dan penyebar hoaks secara adil, profesional dan tidak boleh partisan. “Dengan cara itu, kepastian dalam penegakan hukum bisa dirasakan kehadirannya,” ujarnya.

Menurut Wiwiek, taruhan terberat bangsa Indonesia dalam mewujudkan Pemilu yang berintegritas adalah penegakan hukum dalam setiap tahapan. Masalahnya, bagaimana hukum bisa men jadi landasan penting dalam penyelenggaraan Pemilu. “Dengan demikian, Pemilu tidak marak pelanggaran hukum atau perilaku menghalalkan semua cara,” tambah profesor riset politik ini.

Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Anita Wahid menyebut kemunculan hoaks terus meningkat sejak 2015. Konten hoaks yang muncul didominasi isu politik. Rata-rata kata dia, ada 10 hoaks muncul setiap bulan pada 2015.

Namun, jumlah tersebut meningkat menjadi 29 hoaks per bulan pada 2016, 67 hoaks per bulan pada 2017 dan pada 2018 96 hoaks. “Bila dirata-rata, berarti ada tiga hoaks yang muncul setiap harinya sepanjang tahun ini,” katanya.

Anita mengungkapkan, fenomena hoaks pada Pemilu 2014 mampu membagi masyarakat dalam dua kubu politik bahkan penyebarannya berlanjut hingga selesai pilpres. Ini terjadi karena kedua kubu tetap menyebarkan hoaks untuk saling serang. Bahkan, dia sendiri mengakui sulit meng klarifikasi hoaks yang telanjur beredar di masyarakat.

Anita memperkirakan, pihaknya hanya mampu menjelaskan sekitar 10% dari jumlah keseluruhan orang yang terpapar hoaks. “Hoaks sulit diberantas lantaran tak hanya disebar melalui media online melainkan juga dari mulut ke mulut. Sehingga strategi pemberantasan hoaks dengan mengkampanyekan pada masyarakat agar ikut berpartisipasi,” tandasnya.

Meningkat Jelang Pemilu
Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat sepanjang Januari hingga Juni 2018 terdapat 143,4 juta serangan siber. Kepala BSSN Djoko Setiadi menyebutkan frekuensi serangan itu bakal terus meningkat jelang Pemilihan Legislatif dan Presiden 2019.

“Monitoring BSSN sepanjang bulan Januari sampai dengan Juni merekam 143,4 juta serangan siber, ditambah 1.335 laporan kasus insiden siber dari masyarakat dan perkiraan jumlah itu akan meningkat,” ujar Djoko.

Djoko menyebut serangan siber yang dimaksud bisa bermacam-macam mulai dari malware hingga hujatan dan fitnah. Seperti hujatan, fitnah yang membuat tidak nyaman kehidupan warga negara.

“Ketika bangsa ini mempunyai single identity saya yakin tidak ada seperti ini (serangan siber). Saya yakin single identity ini menjadi bukti tidak ada lagi orang aneh-aneh,” katanya.

Untuk mengantisipasi serangan siber, BSSN sudah bekerja sama dengan sejumlah penyedia internet maupun media sosial untuk menangkal serangan siber tersebut. Misalnya Telkom, Biznet serta provider medsos seperti Facebook dan Twitter yang berpotensi ada ancaman siber. “Penguatan pertahanan juga perlu dilakukan ber sa ma-sama dengan Kominfo, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu),” terangnya.

Selanjutnya, strategi pemerintah adalah mengamankan infrastruktur di bidang teknologi dan informasi yang digunakan dalam Pemilu. Bakal ada kegiatan sweeping dan pengawasan di seluruh server yang digunakan pemerintah.

“Kami juga melakukan kolaborasi dengan kementerian lembaga terkait dalam pembuatan kebijakan yang ber kaitan dengan upaya, strategi, langkah mewujudkan siber yang aman,” ungkapnya.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Pol Dedi Prasetyo mengungkapkan, ada beberapa langkah yang dilakukan Polri dalam memerangi hoaks. Upaya yang dilakukan meliputi pencegahan dengan gerakan literasi digital hingga penegakan hukum. “Pertama melakukan tindakan preventif dengan melakukan literasi digital dan edukasi agar masyarakat cerdas dan bijak menggunakan media,” jelasnya.

Selain itu, Polri terus melakukan koordinasi dengan Kominfo dan BSSN untuk menghentikan dan memblokir akun-akun yang memproduksi serta menyebarkan hoaks. Kemudian, Polri juga berkomitmen untuk melakukan penegakan hukum supaya mencegah masyarakat tidak ikutikut an menyebarkan berita hoaks.

“Perbuatan menyebarkan berita hoaks telah melanggar UU ITE dan peraturan hukum lainnya. Polri sangat serius memberantas berita hoaks yang meresahkan masyarakat,” kata Dedi.

Dedi mengimbau agar masyarakat cerdas dan bijak dalam menggunakan media sosial dengan tidak ikut menyebarkan hoaks. Artinya, jangan ikut menyebarkan berita yang tidak bisa dikonfir masi, diklarifikasi dan diverifikasi sumbernya serta tidak mudah percaya dengan berita-berita atau info-info di media sosial yang sumbernya tidak kredibel.

“Hoaks itu banyak sekali. Setiap hari ada ribuan hoaks. Saya yakin makin banyak nanti. Kita akan ajak bersama untuk melawan hoaks. Kita cegah jangan sampai jadi satu bagian dari kehidupan karena bisa menimbulkan kekacauan,” tegas Dedi. (Kiswondari/Binti Mufarida)
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6102 seconds (0.1#10.140)