Cerita Ipda Made Ambo, Polisi Pi Ajar Merah Putihkan Hati Anak Papua

Selasa, 11 Desember 2018 - 18:47 WIB
Cerita Ipda Made Ambo,...
Cerita Ipda Made Ambo, Polisi Pi Ajar Merah Putihkan Hati Anak Papua
A A A
JAKARTA - Puluhan tahun bertugas di Papua, tepatnya 26 tahun, membuat Ipda Made Ambo jatuh hati pada pulau paling timur Indonesia itu. Pria asal Bali ini memiliki impian meningkatkan kualitas sumber daya manusia masyarakat Papua mulai dari usia anak-anak.

Karena itulah Ambo, sapaan akrabnya, dipercaya menjabat sebagai Kanit Pendidikan Binmas Noken yang memimpin program kerja polisi pi ajar. “Polisi pergi mengajar disingkat ‘polisi pi ajar’, karena di Papua itu bahasa disingkat-singkat. Pergi jadi pi,” kata Ambo dalam acara Forum Group Discussion (FGD) Binmas Noken yang diselenggarakan Mabes Polri bersama Universitas Bhayangkara Jakarta dan Concern Strategic Thinktank di Hotel Diradja, Jakarta Selatan, Selasa (11/12/2018).

Binmas Noken merupakan buah pemikiran Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk mendekati masyarakat Papua yang selama ini dinomorduakan. Kehadiran Binmas Noken diharapkan dapat menciptakan kedekatan antara warga dengan polisi yang memiliki tugas melayani, mengayomi dan melindungi.

“Kegiatan polisi pi ajar antara lain memberikan pendidikan dasar, wawasan nusantara, kebangsaan dan trauma healing. Saya bilang ke anggota saya, kita ini sedang berlomba dengan KKB (kelompok kriminal bersenjata),” ujarnya.

Perlombaan yang dimaksud Made dalam hal memberikan pengetahuan kepada masyarakat. Jika KKB mendoktrin polisi sebagai sosok jahat, maka polisi harus menunjukkan diri sebagai sosok yang baik.

“Kok berlomba? Karena kami ingin masyarakat pintar, sementara mereka (KKB) ingin masyarakat dibodoh-bodohi karena masyarakat bodoh itu gampang dimanfaatkan. Jadi masyarakat di pedalaman itu ditipu bahwa polisi itu jahat, suka menjarah, suka membunuh. Tapi begitu melihat metode strategi kita mendekati anak-anak, masyarakat justru mengapresiasi,” tuturnya.

Ambo menceritakan anak-anak di Papua haus pendidikan dan sangat antusias dengan kegiatan belajar-mengajar. Namun tak mudah bagi Ambo diterima oleh anak-anak yang sudah mendapat doktrin ‘polisi adalah sosok mengerikan’.

“Saya masuk ke ruangan kelas nih. Mereka (murid-murid) tegang karena sudah dikondisikan bahwa ada polisi nanti yang mengajar. Saya suruh tepuk tangan, masih tetap kaku. Akhirnya saya pakai jurus mendongeng,” ceritanya.

Ambo menerangkan situasi mencair setelah dia berdongeng. Murid-murid juga akhirnya menikmati kegiatan belajar oleh polisi pi ajar.

“Saya mulai satu cerita tentang hutan. Di hutan itu ada apa saja, lalu saya ambil tas. Saya gerak-gerakin tas saya, pura-pura kalau di tas ini ada binatang dengan gimik suara-suara yang saya bikin. Ada yang mendekat karena penasaran. Akhirnya suasana cair,” jelasnya.

Rawannya situasi keamanan di Papua, khususnya di daerah pegunungan, menjadi tantangan tersendiri bagi polisi pi ajar. Aksi penembakan membuat suasana mencekam.

Ambo memberi contoh peristiwa menegangkan saat polisi bersama warga hendak melakukam upacara Bakar Batu di Yambi, Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. Yambi dikategorikan zona merah. Di situ banyak KKB.

“Waktu itu kami akan melakukan bakti sosial. Apa yang menarik di situ? Ternyata Yambi pusat pelatihan TPNPB. Satu hari sebelum kami ke sana, dua anggota TNI dibunuh. Kita ragu ke sana dan ada saran batalkan saja kegiatan,” tuturnya.

Setelah berkoordinasi dengan TNI dan kepala distrik setempat, polisi melanjutkan kegiatan. Ternyata sambutan antusias karena gelaran upacara Bakar Batu. Ambo pun menjalankan tugasnya mengajar anak-anak kecil di sana.

“Waktu itu saya pakai bodypress (kostum antipeluru). Saya pikir saya nggak bisa pakai itu. Anak-anak akan takut dan akhirnya saya lepas itu meski komandan saya sempat tidak izinkan. Akhirnya anggota saya ikut lepas juga, benar saja anak-anak itu senang, antusias,” lanjut Ambo.

Polisi pi ajar tersebar di sembilan distrik di pedalaman seperti Kabupaten Mimika, Jayawijaya, Lanny Jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Nabire, Paniai, Puncak dan Puncak Jaya. Jumlah personel polisi yang terlibat di masing-masing kabupaten sebanyak 30 orang.

“Soft approach inilah yang paling efektif. Kenapa? Karena yang kami dekati adalah anak-anak SD. Karena anak-anak sana bisa mempengaruhi banyak hal. Contohnya, kalau kita sudah dekati anak-anak ini, orang tuanya bisa dilarang untuk melakukan hal-hal jelek,” terangnya.

Ambo mencontohkan anggotanya selamat kerusuhan di Kabupaten Pegunungan Bintang karena dikenal sebagai pengajar taekwondo. Bukan kemampuan bela diri yang menyelamatkan anggota tersebut, tetapi karena warga sekitar yang menghargai jasanya yang telah mengajarkan anak-anak mereka.

Ambo dengan bangga mengungkapkan kehadiran polisi pi ajar mampu meruntuhkan sekat antara aparat dengan warga Papua. Kehadiran aparat kini tak lagi menjadi suatu ketakutan bagi orang asli Papua. Ambo juga mengakui jantungnya berdesir tatkala melihat jiwa nasionalisme terpancar di mata mungil anak-anak Papua.

“Saya tanya ‘siapa nama Presiden kita?’, jawab anak-anak ‘Jokowi’. Saya tanya lagi tahu dari mana, mereka jawab dari polisi. Lalu saya keluarkan bendera kecil, bendera merah putih. Saya tanya ‘ini bendera apa?’, mereka jawab bendera Indonesia. Saya tanya lagi ‘kita orang apa?’, dijawab ‘orang Indonesia’,” ucap Ambo menirukan dialognya dengan murid-muridnya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1258 seconds (0.1#10.140)