Penanganan OTT hingga Supervisi KPK Dinilai Tidak Jelas

Selasa, 11 Desember 2018 - 06:28 WIB
Penanganan OTT hingga Supervisi KPK Dinilai Tidak Jelas
Penanganan OTT hingga Supervisi KPK Dinilai Tidak Jelas
A A A
YOGYAKARTA - Bertepatan dengan hari antikorupsi yang jatuh 9 Desember 2018, Indonesian Court Monitoring (ICM) mengkritisi sejumlah hal terkait pemberantasan korupsi mulai dari OTT di TPR Parangtritis hingga supervisi dana hibah oleh KPK.

Koordinator ICM, Tri Wahyu mempertanyakan sejuah mana penanganan kasus pembrantasan korupsi di antaranya operasi tangkap tangan (OTT) terhadap petugas TPR Parangtritis Bantul beberapa waktu lalu. Selain itu ada laporan dari warga terdampak bandara NYIA di Kulonprogo terkait pungli 'dana kompensasi' pembangunan bandara NYIA hingga ratusan juta.

"Namun sampai sekarang publik juga tidak tahu progres oleh aparat penegak hukum utamanya kepolisian dan kejaksaan," terang Koordinator ICM Tri Wahyu dalam press rilis yang dikirim ke SINDOnews.com, Senin (10/11/2018).

ICM juga mempertanyakan penangan kasus Novel Baswedan. Sudah lebih dari 600 hari kasus Novel Baswedan belum tuntas. Pemerintah sampai saat ini juga tidak punya kemauan tegas untuk membentuk TPF Novel.

"Serangan terhadap Novel adalah juga serangan terhadap seluruh pegiat antikorupsi di Indonesia. Tidak tuntasnya kasus Novel adalah teror juga terhadap pegiat antikorupsi se Indonesia," tegasnya.

ICM juga menyoal belum ada satu pun kasus yang ditindak langsung KPK di DIY. Padahal pimpinan KPK di Februari 2018 menyatakan ada 192 laporan kasus korupsi yang masuk ke KPK dari DIY.

"Data sebanyak itu dikemanakan? Data supervisi kasus korupsi dana hibah persiba trus dikemanakan ? Kecurigaan wajar publik sampaikan juga ke KPK karena ada Pimpinan KPK yang dulu bertugas di KPK saat ada kasus korupsi dana hibah persiba, sekarang menjadi caleg partai penguasa," ujarnya.

Sementara itu Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) juga mengkritik penanganan korupsi oleh pemerintah. PUKAT menilai penanganan korupsi masih jauh dari yang diharapkan.

Ketua Pukat Oce Madril menyebut ada empat indikasi kegagalan pemerintah dalam menangani korupsi. Pertama pemerintah yang sekarang gagal mengharmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang korupsi dengan madeknya pembahasan RUU Tipikor yang tidak pernah masuk dalam RUU Prolegnas tahunan.

"Kedua tidak adanya upaya penguatan KPK sebagai lembaga superbodi, malah Pukat melihat ada upaya kriminalisasi terhadap pimpinan tinggi lembaga ini," terang Oce Silol Kopi, Jalan Suroto Kotabaru, Yogyakarta, Senin (10/11/2018).

PUKAT juga menilai pemerintah pasif menanggapi wacana kewenangan penuntutan, mereduksi kewenangan menyandap, dan membatasi usia kerja KPK yang digulirkan DPR RI.

"Ketiga adalah masih lemahnya upaya pemerintah dalam mencegah, memonitoring dan mengevaluasi pencegahan korupsi. Ini dibuktikan dengan masih maraknya tindak pidana korupsi pada bidang pengadaan baran dan jasa yang melibatkan pegawai BUMN serta swasta," jelasnya.

Indikasi terakhir menurut PUKAT adalah pemerintah belum memiliki itikad baik dalam hal pencegahan korupsi melalui pendidikan terutama di perguruan tinggi. Padahal sejak 2012, sudah ada edaran Kemenristek Dikti nomor 1016/E/T/2012 tentang kewajiban menyelenggarakan pendidikan antikorupsi.

"Karena itu Pukat meminta Presiden untuk lebih tegas dalam penanganan korupsi. terutama dalam hal korupsi politik yang melibatkan banyak kepala daerah terlibat. Tercatat sepanjang 2018 ini ada 16 Bupati/Walikota dan 61 anggota DPRD yang ditangkap KPK." tegasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7248 seconds (0.1#10.140)