Saling Nyinyir, Pemilu 2019 Dinilai Tidak Mendidik
A
A
A
BANDUNG - Pola kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dinilai tidak mendidik masyarakat. Satu di antara indikasinya yakni banyak ungkapan nyinyir maupun diksi provokatif dari para calon presiden, calon wakil presiden, mau pun para pendukung di ruang-ruang publik.
Kondisi tersebut diyakini tidak akan mencerdaskan masyarakat dalam berdemokrasi. Hal itu pun menunjukkan bahwa peserta pemilu lebih mengutamakan obsesinya dalam meraih kekuasaan ketimbang memperjuangkan nasib rakyat.
“Kampanye-kampanye nyinyir seperti ëtempeí ,’genderuwo’, ‘cebong’, ‘kampret’, ‘sontoloyo’, kemudian ‘buta-tuli’. Ini kampanye model apa? Sama sekali tidak mencerdaskan masyarakat,” ungkap pemerhati pemilu Partnership Yuspitriadi dalam Sosialisasi Pengawasan Tahapan Pemilu dengan Stakeholder dan Pemantau Pemilu di Travello Hotel, Jalan Setiabudi, Kota Bandung, tadi malam.
Dia berharap kondisi ini tidak terus berlangsung dalam sisa masa kampanye Pemilu 2019. Peserta pemilu presiden maupun legislatif serta para pendukung mereka bisa lebih mengeluarkan gagasan maupun program yang lebih substantif terkait upaya mereka dalam menyejahterakan rakyat.
Dengan demikian, calon pemilih memahami apa yang dilakukan pasangan calon presiden-calon wakil presiden maupun para wakil rakyat jika mereka terpilih dalam Pemilu 2019. “Di sisa waktu yang tinggal sekitar tiga bulan, seluruh peserta Pemilu 2019 harus lebih mengedepankan edukasi, bukan obsesi politik, dengan menyampaikan gagasan-gagasan kampanye yang edukatif untuk membangun Indonesia yang lebih baik,” tegasnya.
Direktur Democracy Electoral Empowerman ini pun menilai, Pemilu 2019 masih akan diwarnai berbagai kecurangan. Meski proses demokrasi di Indonesia tak pernah berakhir kacau, sejarah mencatat berbagai kejahatan pemilu seperti manipulasi data pemilih, politik uang (money politics), hingga kampanye hitam (black campaign) selalu saja terjadi.
“Saya bukan dalam kerangka pesimistis terhadap penyelenggara pemilu, tapi saya pesimistis terhadap hilangnya permasalahan-permasalahan dan kejahatan-kejahatan pemilu yang sedang berlangsung,” ucapnya.
Menurut dia, sinyalemen akan terjadi berbagai kejahatan pemilu di Pemilu 2019 kini sudah mulai terasa seperti persoalan daftar pemilih tetap (DPT) yang masih bermasalah, penyebaran berita bohong (hoaks) yang masif, hingga penggiringan opini untuk mencapai politik elektoral dengan bungkus agama.
Karena itu, penyelenggara pe milu dituntut bekerja ekstra untuk menyelesaikan berbagai per soalan teknis sebelum Pemilu 2019 digelar. Penyelenggara pemilu pun wajib menjaga integritasnya guna menjaga kepercayaan publik.
“Bila penyelenggara pemilu sudah berani bermain mata dengan kontestan, dengan parpol (partai politik), dengan caleg (calon anggota legislatif), saya pikir ini sebagai sebuah muara dari ketidakpercayaan publik kepada pelaksanaan pemilu,” tegasnya.
Masih di tempat yang sama, mantan Komisioner Bawaslu RI Periode 2008-2012 Wahidah Suaib menilai, dalam Pemilu 2019 yang digelar serentak untuk pertama kalinya itu masyarakat kini cenderung lebih mem perhatikan Pemilihan Presiden (Pilpres) ketimbang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019.
“Ada beberapa yang patut kita waspadai dengan desain pemilu serentak ini, di mana pikiran dan konsentrasi orang terserap di pilpres, emosi publik lebih mudah tersulut urusan pilpres dibanding pileg,” katanya. (Agung Bakti Sarasa)
Kondisi tersebut diyakini tidak akan mencerdaskan masyarakat dalam berdemokrasi. Hal itu pun menunjukkan bahwa peserta pemilu lebih mengutamakan obsesinya dalam meraih kekuasaan ketimbang memperjuangkan nasib rakyat.
“Kampanye-kampanye nyinyir seperti ëtempeí ,’genderuwo’, ‘cebong’, ‘kampret’, ‘sontoloyo’, kemudian ‘buta-tuli’. Ini kampanye model apa? Sama sekali tidak mencerdaskan masyarakat,” ungkap pemerhati pemilu Partnership Yuspitriadi dalam Sosialisasi Pengawasan Tahapan Pemilu dengan Stakeholder dan Pemantau Pemilu di Travello Hotel, Jalan Setiabudi, Kota Bandung, tadi malam.
Dia berharap kondisi ini tidak terus berlangsung dalam sisa masa kampanye Pemilu 2019. Peserta pemilu presiden maupun legislatif serta para pendukung mereka bisa lebih mengeluarkan gagasan maupun program yang lebih substantif terkait upaya mereka dalam menyejahterakan rakyat.
Dengan demikian, calon pemilih memahami apa yang dilakukan pasangan calon presiden-calon wakil presiden maupun para wakil rakyat jika mereka terpilih dalam Pemilu 2019. “Di sisa waktu yang tinggal sekitar tiga bulan, seluruh peserta Pemilu 2019 harus lebih mengedepankan edukasi, bukan obsesi politik, dengan menyampaikan gagasan-gagasan kampanye yang edukatif untuk membangun Indonesia yang lebih baik,” tegasnya.
Direktur Democracy Electoral Empowerman ini pun menilai, Pemilu 2019 masih akan diwarnai berbagai kecurangan. Meski proses demokrasi di Indonesia tak pernah berakhir kacau, sejarah mencatat berbagai kejahatan pemilu seperti manipulasi data pemilih, politik uang (money politics), hingga kampanye hitam (black campaign) selalu saja terjadi.
“Saya bukan dalam kerangka pesimistis terhadap penyelenggara pemilu, tapi saya pesimistis terhadap hilangnya permasalahan-permasalahan dan kejahatan-kejahatan pemilu yang sedang berlangsung,” ucapnya.
Menurut dia, sinyalemen akan terjadi berbagai kejahatan pemilu di Pemilu 2019 kini sudah mulai terasa seperti persoalan daftar pemilih tetap (DPT) yang masih bermasalah, penyebaran berita bohong (hoaks) yang masif, hingga penggiringan opini untuk mencapai politik elektoral dengan bungkus agama.
Karena itu, penyelenggara pe milu dituntut bekerja ekstra untuk menyelesaikan berbagai per soalan teknis sebelum Pemilu 2019 digelar. Penyelenggara pemilu pun wajib menjaga integritasnya guna menjaga kepercayaan publik.
“Bila penyelenggara pemilu sudah berani bermain mata dengan kontestan, dengan parpol (partai politik), dengan caleg (calon anggota legislatif), saya pikir ini sebagai sebuah muara dari ketidakpercayaan publik kepada pelaksanaan pemilu,” tegasnya.
Masih di tempat yang sama, mantan Komisioner Bawaslu RI Periode 2008-2012 Wahidah Suaib menilai, dalam Pemilu 2019 yang digelar serentak untuk pertama kalinya itu masyarakat kini cenderung lebih mem perhatikan Pemilihan Presiden (Pilpres) ketimbang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019.
“Ada beberapa yang patut kita waspadai dengan desain pemilu serentak ini, di mana pikiran dan konsentrasi orang terserap di pilpres, emosi publik lebih mudah tersulut urusan pilpres dibanding pileg,” katanya. (Agung Bakti Sarasa)
(nfl)