Tuduhan Rekayasa Kasus Bendera di Rumah HRS Dinilai Tak Berdasar
A
A
A
JAKARTA - Tuduhan Habib Rizieq Shihab (HRS) atas dugaan rekayasa kasus pengibaran bendera di Arab Saudi oleh pemerintah Indonesia dianggap tidak berdasar oleh Setara Institute.
Tuduhan HRS itu dianggap hanya menunjukkan upaya dirinya menjadi tokoh yang ingin diperhitungkan dalam konstalasi politik Indonesia.
"Tuduhan Rizieq Shihab atas rekayasa kasus pengibaran bendera di Arab Saudi oleh pemerintah Indonesia, tidaklah berdasar," kata Ketua Setara Institute, Hendardi dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Jumat (9/11/2018).
Dia berpendapat, cara yang dilakukan HRS itu juga merupakan upaya melanggengkan pengaruh pada para pengikutnya, sehingga tetap berada dalam satu barisan dan imamah terhadap HRS. "Yang ujungnya adalah untuk kepentingan politik praktis dalam Pilpres 2019," katanya.
Dia mengingatkan bahwa semua otoritas negara Arab Saudi sebagai negara yang berdaulat tentu tidak mungkin ada campur tangan dari negara lain. "Jadi masalah adanya bendera hitam di kediaman HRS di Arab Saudi tidak perlu ditanggapi berlebihan oleh pemerintah dan unsur aparat keamanan," ujarnya.
Dia melanjutkan, dugaan, kecurigaan serta tudingan pengikut HRS sebagai perbuatan dari unsur aparat Negara RI seperti Badan Intelijen Negara (BIN) di samping tidak logis, juga hanya fantasi, ilusi dan dugaan kuat merupakan bentuk politisasi sebagai seolah-olah korban.
Dia mengakui bahwa setiap warga negara Indonesia di luar negeri harus dilindungi Pemerintah RI, tidak terkecuali HRS. Namun, kata dia, harus terus diingat bahwa status HRS adalah pelarian atau buron dari beberapa kasus yang melilitnya di Indonesia, termasuk chatting porno yang diduga melibatkan dirinya.
"HRS memilih menghindar menghadapi hukum di tanah air, namun tetap mencoba bermain politik di negara orang yang konsekwensinya juga kerap mesti berhadapan dengan hukum di negara tersebut," imbuhnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, upaya dan bantuan yang telah dilakukan oleh Perwakilan Pemerintah RI di Arab Saudi sudah jauh lebih dari cukup kepada HRS sebagai WNI yang ada di luar negeri. "Yang justru menghindar dari proses hukum di Indonesia," pungkasnya.
Tuduhan HRS itu dianggap hanya menunjukkan upaya dirinya menjadi tokoh yang ingin diperhitungkan dalam konstalasi politik Indonesia.
"Tuduhan Rizieq Shihab atas rekayasa kasus pengibaran bendera di Arab Saudi oleh pemerintah Indonesia, tidaklah berdasar," kata Ketua Setara Institute, Hendardi dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Jumat (9/11/2018).
Dia berpendapat, cara yang dilakukan HRS itu juga merupakan upaya melanggengkan pengaruh pada para pengikutnya, sehingga tetap berada dalam satu barisan dan imamah terhadap HRS. "Yang ujungnya adalah untuk kepentingan politik praktis dalam Pilpres 2019," katanya.
Dia mengingatkan bahwa semua otoritas negara Arab Saudi sebagai negara yang berdaulat tentu tidak mungkin ada campur tangan dari negara lain. "Jadi masalah adanya bendera hitam di kediaman HRS di Arab Saudi tidak perlu ditanggapi berlebihan oleh pemerintah dan unsur aparat keamanan," ujarnya.
Dia melanjutkan, dugaan, kecurigaan serta tudingan pengikut HRS sebagai perbuatan dari unsur aparat Negara RI seperti Badan Intelijen Negara (BIN) di samping tidak logis, juga hanya fantasi, ilusi dan dugaan kuat merupakan bentuk politisasi sebagai seolah-olah korban.
Dia mengakui bahwa setiap warga negara Indonesia di luar negeri harus dilindungi Pemerintah RI, tidak terkecuali HRS. Namun, kata dia, harus terus diingat bahwa status HRS adalah pelarian atau buron dari beberapa kasus yang melilitnya di Indonesia, termasuk chatting porno yang diduga melibatkan dirinya.
"HRS memilih menghindar menghadapi hukum di tanah air, namun tetap mencoba bermain politik di negara orang yang konsekwensinya juga kerap mesti berhadapan dengan hukum di negara tersebut," imbuhnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, upaya dan bantuan yang telah dilakukan oleh Perwakilan Pemerintah RI di Arab Saudi sudah jauh lebih dari cukup kepada HRS sebagai WNI yang ada di luar negeri. "Yang justru menghindar dari proses hukum di Indonesia," pungkasnya.
(maf)