Politikus Perindo Dyah Arum Sari Soroti Kasus Kekerasan Perempuan

Kamis, 08 November 2018 - 13:05 WIB
Politikus Perindo Dyah Arum Sari Soroti Kasus Kekerasan Perempuan
Politikus Perindo Dyah Arum Sari Soroti Kasus Kekerasan Perempuan
A A A
JAKARTA - Ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2017 yang tercatat dalam catatan tahunan Komisi Nasional Perempuan tahun 2018.

Data ini membuktikan kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat semakin marak dan meresahkan.

"Urusan perempuan dan anak tidak bisa dipisahkan. Perempuan dan anak merupakan kongregasi yang paling rentan terhadap tindak kekerasan. Masing-masing peristiwa kekerasan yang terjadi pada anak-anak dan perempuan membutuhkan afeksi khusus agar penanganan yang diberikan tepat sasaran," tutur Ketua Departemen Perempuan dan Anak Dewan Pimpinan Pusat Partai Perindo, Dyah Arum Sari.

Dyah yang juga Ketua Dewan Pimpinan Pusat Garda Rajawali Perindo Bidang Pendidikan dan Teknologi mengatakan itu seusai Konferensi Nasional bertema Penguatan Kelembagaan Pembangunan Perempuan dan Anak Menuju Planet 50:50 Tahun 2030 di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat pada Selasa 6 Oktober 2018.

Acara ini digelar atas prakarsa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerja sama dengan STIAMI

Dyah juga menyoroti rendahnya atensi dan keberpihakan pemerintah terhadap perempuan dan anak. "Di lapangan, kita temui berbagai kasus yang menunjukkan negara belum memberikan ruang yang leluasa kepada perempuan untuk mendapatkan kemudahan dalam memperjuangkan keberlanjutan hidupnya," tuturnya.

Dia mencontohkan, masih adanya perempuan menjadi korban diskriminasi dalam berbagai kebijakan yang dibuat institusi pemerintahan, antara lain perda-perda bias gender yang belum tuntas direvisi.

"Belum lagi lambannya perkembangan pembahasan dan pengesahan RUU penghapusan kekerasan seksual dan masih banyak lagi," katanya.

Kasus faktual lainnya yang banyak terjadi di masyarakat adalah perempuan yang melahirkan anak di luar nikah.

Sebagian besar perempuan yang hamil di luar nikah memilih untuk mengaborsi janinnya daripada memilih untuk mempertahankannya, sebagian lainnya masih mempunyai nurani untuk mempertahankan darah dagingnya sendiri bahkan sebagian kecil dengan sengaja menghilangkan status ayah biologis anaknya.

"Ini fakta. Kenapa bisa terjadi? Karena minimnya wawasan masyarakat terkait tahapan administratif pengurusan akte kelahiran anak, pun tidak bisa dipungkiri bahwa pengetahuan keagamaan seseorang menjadi faktor dan landasan paling kuat sebagai upaya preventif terjadinya kehamilan atau melahirkan diluar nikah, diikuti peran orang tua yang vital, dan pengaruh pergaulan yang bebas," tuturnya.

Apapun variabelnya, kata dia, anak yang lahir di luar nikah menjadi beban psikis tersendiri baik bagi perempuan atau ibu, maupun bagi anaknya ketika dewasa. Di antaranya saat mengurus surat menyurat terkait kartu keluarga, akte kelahiran, status hukum waris dan status hukum yang lainnya kelak.

Calon anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Timur V Malang Raya nomor urut 7 ini menegaskan persoalan tersebut menjadi pekerjaan bersama yang harus diselesaikan.

"Saya yakin kebijakan-kebijakan yang kurang berpihak terhadap perempuan dan anak ini adalah akibat dari tertutupnya ruang-ruang keterlibatan perempuan dalam simpul-simpul interlokusi atau dialog dan konsultasi," tuturnya.Pada akhir pernyataannya, Dyah mengutip ucapan tokoh perempuan Gusti Kanjeng Ratu Hemas. "Bergeraklah perempuan, laki-laki tidak akan memberi jika kita tidak merebut!" tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7053 seconds (0.1#10.140)