Pemerintah Didorong Segera Amandemen Pasal 65 UU JPH
A
A
A
JAKARTA - Memasuki tahun kelima Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) diundangkan akan tetapi masih belum dirasakan kehadirannya bagi masyarakat. UU JPH belum berfungsi menjadi lokomotif penggerak bagi dunia usaha, UKM dan industri halal.
"Sejak diundangkan UU JPH pada 17 Oktober 2014 diharapkan dapat menjadi pemicu bagi tumbuhnya industri halal di Tanah Air. Tetapi realitanya masih jauh dari harapan," ujar Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Ikhsan Abdullah dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Jumat (2/11/2018).
Menurutnya, pemerintah harus mendorong pertumbuhan industri halal baik di bidang makanan, minuman, obat, produk rekayasa teknologi dan barang gunaan dengan mengintegrasikan produk halal ke dalam sistem keuangan syariah. Perbankan syariah wajib membiayai sektor UKM dan industri yang berbasis halal.
"Sehingga UKM tumbuh bersama perbankan syariah. Di sinilah perlunya diciptakan skema pembiayaan yang memperkuat relasi antara kedua gerbong tersebut. Pemerintah harus memberikan dukungan penuh. Saatnya bangsa Indonesia memimpin, tidak terus menjadi pasar besar bagi perdagangan internasional," jelasnya.
Kata Ikhsan, harus diakui industri halal kita masih tertinggal dari Malaysia, Thailand, Singapura, Korea dan Taiwan. Pelaku usaha di Tanah Air belum menjadikan produk halal sebagai peluang baru dan lini bisnis penting.
Padahal, lanjut dia, di era global saat ini sejalan dengan gaya hidup modern dan milenial halal sedang menjadi tren global, baik halal food, halal fashion, halal Finance, halal tourism sampai ke halal media. "Negara tetangga kita sudah mengambil benefit, sementara kita masih meributkan peralihan penyelenggara Jaminan Produk Halal," ucapnya.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) telah diresmikan pada 10 Oktober 2017 setahun yang lalu, namun BPJPH dinilainya belum dapat menjalankan fungsinya sesuai yang diamanatkan UU JPH. Sampai saat ini BPJPH belum dapat menerima dan melayani permohonan sertifikasi halal dari dunia usaha, dikarenakan masih membangun sistem dan instrumen.
"Menyambut mandatori sertifikasi halal yang jatuh tempo Oktober 2019 sampai hari ini belum ada satupun LPH yang lahir dan terakreditasi oleh BPJPH dan MUI, karena syarat terbentuknya LPH harus terlebih dahulu memiliki minimal dua orang auditor halal yang telah memperoleh sertifikasi dari MUI," tandas dia.
Masih kata Ikhsan, BPJPH dan MUI belum dapat merumuskan standar akreditasi bagi LPH kecuali standarisasi untuk sertifikasi auditor halal yang sudah memiliki standar MUI. Belum juga dilakukan perjanjian kerja sama (PKS BPJPH-MUI) sampai saat ini menjadi salah satu kendala.
"Persiapan memasuki masa wajib sertifikasi (mandatori) yang akan dimulai pada bulan Oktober 2019, maka sosialisasi dan edukasi UU JPH harus benar-benar masif dilakukan kepada dunia usaha dan masyarakat, guna menghindarkan akibat hukum bagi dunia usaha terkena sanksi undang-undang," pungkasnya.
Karena apabila sampai batas waktu mandatori sertifikasi dan produk mereka belum bersertifikasi halal, maka akan terkena sanksi berupa denda maupun sanksi pidana sekaligus sebagaimana Pasal 56 dan 57 UU JPH. Demikian pula ketentuan sanksi ini berlaku juga bagi penyelenggara Sistem Jamin Halal, baik BPJPH maupun LPH.
Karena itu, Ikhsan memandang UU JPH sangat mendesak untuk diterapkan bagi produk asing/produk impor. UU JPH dapat dipergunakan sebagai ketentuan non tarif barrier atau proteksi bagi produk impor sehingga dapat membendung secara selektif masuknya produk impor ke dalam negeri, sekaligus menjadikan UU JPH sebagai instrumen bagi penguatan rupiah terhadap dolar.
"Agar dunia usaha tidak dirugikan dan tetap tersedianya produk halal di masyarakat dalam rangka melindungi kepentingan umat dengan belum berfungsinya BPJPH, maka ketentuan Pasal 59 dan Pasal 60 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang JPH harus menjadi landasan bagi sertifikasi halal, yakni MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk. Sehingga tidak lagi menimbulkan keraguan bagi dunia usaha yang akan mengajukan permohonan sertifikasi halal," tuturnya.
Pihaknya juga meminta pemerintah segera mengamandemen Pasal 65 UU JPH karena pasal tersebut mengatur ketentuan waktu yang telah kedaluwarsa. Pasal tersebut mengatur bahwa dua tahun sejak ditetapkannya UU JPH, pemerintah wajib mengeluarkan Peraturan Pemerintah.
"Maka secara tafsir hukum undang-undang maka sudah lewat waktu atau kedaluwarsa masa Penerbitan PP atas UU tersebut. Untuk dapat menerbitkan PP sebagai peraturan pelaksana, maka pemerintah wajib menyampaikan usulan amandemen terhadap Pasal 65 tersebut."
"Karena jika PP diterbitkan tanpa mengamandemen Pasal 65 maka pemerintah dapat dianggap melanggar ketentuan UU JPH karena menerbitkan PP yang sudah lewat waktu," sambungnya.
Ikhsan menambahkan Semestinya Peraturan Pemerintah diterbitkan terlebih dahulu sebagai peraturan pelaksana UU JPH hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 63, 64 dan 67 UU JPH. selama PP dan masa peralihan diharapkan BPJPH dapat menahan diri untuk tidak membuat statemen dan berbagai pernyataan yang dapat membuat dunia Usaha bingung dan panik.
"Sebaliknya harus membuat persiapan berupa road map agar dapat diikuti oleh masyarakat dan dunia usaha," tutupnya.
"Sejak diundangkan UU JPH pada 17 Oktober 2014 diharapkan dapat menjadi pemicu bagi tumbuhnya industri halal di Tanah Air. Tetapi realitanya masih jauh dari harapan," ujar Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Ikhsan Abdullah dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Jumat (2/11/2018).
Menurutnya, pemerintah harus mendorong pertumbuhan industri halal baik di bidang makanan, minuman, obat, produk rekayasa teknologi dan barang gunaan dengan mengintegrasikan produk halal ke dalam sistem keuangan syariah. Perbankan syariah wajib membiayai sektor UKM dan industri yang berbasis halal.
"Sehingga UKM tumbuh bersama perbankan syariah. Di sinilah perlunya diciptakan skema pembiayaan yang memperkuat relasi antara kedua gerbong tersebut. Pemerintah harus memberikan dukungan penuh. Saatnya bangsa Indonesia memimpin, tidak terus menjadi pasar besar bagi perdagangan internasional," jelasnya.
Kata Ikhsan, harus diakui industri halal kita masih tertinggal dari Malaysia, Thailand, Singapura, Korea dan Taiwan. Pelaku usaha di Tanah Air belum menjadikan produk halal sebagai peluang baru dan lini bisnis penting.
Padahal, lanjut dia, di era global saat ini sejalan dengan gaya hidup modern dan milenial halal sedang menjadi tren global, baik halal food, halal fashion, halal Finance, halal tourism sampai ke halal media. "Negara tetangga kita sudah mengambil benefit, sementara kita masih meributkan peralihan penyelenggara Jaminan Produk Halal," ucapnya.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) telah diresmikan pada 10 Oktober 2017 setahun yang lalu, namun BPJPH dinilainya belum dapat menjalankan fungsinya sesuai yang diamanatkan UU JPH. Sampai saat ini BPJPH belum dapat menerima dan melayani permohonan sertifikasi halal dari dunia usaha, dikarenakan masih membangun sistem dan instrumen.
"Menyambut mandatori sertifikasi halal yang jatuh tempo Oktober 2019 sampai hari ini belum ada satupun LPH yang lahir dan terakreditasi oleh BPJPH dan MUI, karena syarat terbentuknya LPH harus terlebih dahulu memiliki minimal dua orang auditor halal yang telah memperoleh sertifikasi dari MUI," tandas dia.
Masih kata Ikhsan, BPJPH dan MUI belum dapat merumuskan standar akreditasi bagi LPH kecuali standarisasi untuk sertifikasi auditor halal yang sudah memiliki standar MUI. Belum juga dilakukan perjanjian kerja sama (PKS BPJPH-MUI) sampai saat ini menjadi salah satu kendala.
"Persiapan memasuki masa wajib sertifikasi (mandatori) yang akan dimulai pada bulan Oktober 2019, maka sosialisasi dan edukasi UU JPH harus benar-benar masif dilakukan kepada dunia usaha dan masyarakat, guna menghindarkan akibat hukum bagi dunia usaha terkena sanksi undang-undang," pungkasnya.
Karena apabila sampai batas waktu mandatori sertifikasi dan produk mereka belum bersertifikasi halal, maka akan terkena sanksi berupa denda maupun sanksi pidana sekaligus sebagaimana Pasal 56 dan 57 UU JPH. Demikian pula ketentuan sanksi ini berlaku juga bagi penyelenggara Sistem Jamin Halal, baik BPJPH maupun LPH.
Karena itu, Ikhsan memandang UU JPH sangat mendesak untuk diterapkan bagi produk asing/produk impor. UU JPH dapat dipergunakan sebagai ketentuan non tarif barrier atau proteksi bagi produk impor sehingga dapat membendung secara selektif masuknya produk impor ke dalam negeri, sekaligus menjadikan UU JPH sebagai instrumen bagi penguatan rupiah terhadap dolar.
"Agar dunia usaha tidak dirugikan dan tetap tersedianya produk halal di masyarakat dalam rangka melindungi kepentingan umat dengan belum berfungsinya BPJPH, maka ketentuan Pasal 59 dan Pasal 60 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang JPH harus menjadi landasan bagi sertifikasi halal, yakni MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk. Sehingga tidak lagi menimbulkan keraguan bagi dunia usaha yang akan mengajukan permohonan sertifikasi halal," tuturnya.
Pihaknya juga meminta pemerintah segera mengamandemen Pasal 65 UU JPH karena pasal tersebut mengatur ketentuan waktu yang telah kedaluwarsa. Pasal tersebut mengatur bahwa dua tahun sejak ditetapkannya UU JPH, pemerintah wajib mengeluarkan Peraturan Pemerintah.
"Maka secara tafsir hukum undang-undang maka sudah lewat waktu atau kedaluwarsa masa Penerbitan PP atas UU tersebut. Untuk dapat menerbitkan PP sebagai peraturan pelaksana, maka pemerintah wajib menyampaikan usulan amandemen terhadap Pasal 65 tersebut."
"Karena jika PP diterbitkan tanpa mengamandemen Pasal 65 maka pemerintah dapat dianggap melanggar ketentuan UU JPH karena menerbitkan PP yang sudah lewat waktu," sambungnya.
Ikhsan menambahkan Semestinya Peraturan Pemerintah diterbitkan terlebih dahulu sebagai peraturan pelaksana UU JPH hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 63, 64 dan 67 UU JPH. selama PP dan masa peralihan diharapkan BPJPH dapat menahan diri untuk tidak membuat statemen dan berbagai pernyataan yang dapat membuat dunia Usaha bingung dan panik.
"Sebaliknya harus membuat persiapan berupa road map agar dapat diikuti oleh masyarakat dan dunia usaha," tutupnya.
(kri)