PDIP Siap Sinergi Bersama NU dan Muhammadiyah Jaga Pancasila
A
A
A
JAKARTA - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendukung penuh kesepakatan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila. Partai berlambang kepala banteng bermoncong putih itu pun siap bekerja sama dengan NU dan Muhammadiyah dalam menjaga Pancasila.
"PDI Perjuangan siap bekerja sama dengan seluruh keluarga besar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di dalam menjaga Pancasila, NKRI, Konstitusi Negara dan Kebhinnekaan Indonesia," kata Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Ahmad Basarah dalam keterangan tertulisnya, Jumat (2/11/2018).
Wakil Ketua MPR ini pun mengaku sangat yakin bahwa bendera yang dibakar di Garut, Jawa Barat pada 22 Oktober 2018 atau pada peringatan Hari Santri Nasional adalah bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan bukan bendera Tauhid.
"Kami yakin kader Ansor, kader Banser tidak akan mungkin membakar kalimat tauhid yang menjadi rukun Islam pertama bagi umat Islam. Yang dibakar adalah bendera HTI sebagai ormas yang sudah resmi dibubarkan dan dilarang oleh Pengadilan," kata Basarah yang juga pimpinan Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) ini.
Dia menilai hadirnya bendera HTI di acara Hari Santri Nasional di Garut tersebut sebagai upaya provokasi untuk menciptakan konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat. Lagipula, kerjasama antara keluarga besar nasionalis dengan Ormas NU dan Muhammadiyah sudah terjalin sejak lama dan bisa dilihat dengan jelas dalam bentang sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Dikatakannya, NU dan Muhammadiyah memberikan kontribusi nyata dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Resolusi Jihad Fii Sabilillah yang dikumandangkan pada 22 Oktober tahun 1945 oleh Kiai Haji Hasyim Asy'ari pun dianggapnya sebagai bentuk nyata kontribusi ulama dan santri dalam menjaga keutuhan Indonesia.
Demikian pula dengan Muhammadiyah di era kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo mendirikan Markas Ulama Angkatan Perang Sabil (MU-APS) pada tahun 1948 untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi militer Belanda.
"Terbitnya Keppres Hari Santri Nasional Nomor 22 Tahun 2015 merupakan bukti nyata bahwa negara mengakui peran dan kontribusi ulama dan santri dalam mempertahankan Indonesia. Hari Santri Nasional bukan hanya milik NU dan Muhammadiyah semata, melainkan milik umat Islam Indonesia yang mencintai NKRI dan Pancasila," Kata Wakil Ketua Lazisnu PBNU ini.
Dia menambahkan, Bung Karno sebagai tokoh nasionalis dan Presiden Pertama republik Indonesia juga memiliki hubungan erat dengan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Contohnya dalam Munas alim ulama yang disponsori NU pada tahun 1954 memberikan gelar Waliyul Amri Bi dharuri Asy-Syaukah yang artinya pemimpin di masa darurat yang wajib ditaati perintahnya.
"Sejarah juga mencatat bahwa pendiri Muhammadiyah Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah guru dari Bung Karno," kata Basarah.
Di bagian lain, dalam hal Pancasila sebagai dasar negara telah final. Tidak ada lagi keraguan dalam NU dan Muhammadiyah.
Pada Muktamar NU tahun 1984 di Situbonda, NU dengan tegas mengakui Pancasila sebagai asas tunggal. Sedangkan Muhammadiyah dalam Muktamar 47 di Makassar tahun 2015 menegaskan bahwa negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah artinya negara perjanjian dan tempat bersaksi.
"Terkait pembakaran bendera HTI di Garut, Jawa Barat pada saat puncak peringatan hari santri 22 Oktober 2018 sikap kita sejalan dengan Pemerintah bahwa HTI dan simbol-simbolnya telah secara resmi dilarang oleh keputusan negara melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap," ujarnya.
Dia melanjutkan, PDIP terus melakukan dialog dengan NU dan Muhammadiyah agar umat Islam tidak terprovokasi oleh berbagai upaya adu domba sesama umat Islam dan bangsa Indonesia.
"PDI Perjuangan siap bekerja sama dengan seluruh keluarga besar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di dalam menjaga Pancasila, NKRI, Konstitusi Negara dan Kebhinnekaan Indonesia," kata Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Ahmad Basarah dalam keterangan tertulisnya, Jumat (2/11/2018).
Wakil Ketua MPR ini pun mengaku sangat yakin bahwa bendera yang dibakar di Garut, Jawa Barat pada 22 Oktober 2018 atau pada peringatan Hari Santri Nasional adalah bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan bukan bendera Tauhid.
"Kami yakin kader Ansor, kader Banser tidak akan mungkin membakar kalimat tauhid yang menjadi rukun Islam pertama bagi umat Islam. Yang dibakar adalah bendera HTI sebagai ormas yang sudah resmi dibubarkan dan dilarang oleh Pengadilan," kata Basarah yang juga pimpinan Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) ini.
Dia menilai hadirnya bendera HTI di acara Hari Santri Nasional di Garut tersebut sebagai upaya provokasi untuk menciptakan konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat. Lagipula, kerjasama antara keluarga besar nasionalis dengan Ormas NU dan Muhammadiyah sudah terjalin sejak lama dan bisa dilihat dengan jelas dalam bentang sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Dikatakannya, NU dan Muhammadiyah memberikan kontribusi nyata dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Resolusi Jihad Fii Sabilillah yang dikumandangkan pada 22 Oktober tahun 1945 oleh Kiai Haji Hasyim Asy'ari pun dianggapnya sebagai bentuk nyata kontribusi ulama dan santri dalam menjaga keutuhan Indonesia.
Demikian pula dengan Muhammadiyah di era kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo mendirikan Markas Ulama Angkatan Perang Sabil (MU-APS) pada tahun 1948 untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi militer Belanda.
"Terbitnya Keppres Hari Santri Nasional Nomor 22 Tahun 2015 merupakan bukti nyata bahwa negara mengakui peran dan kontribusi ulama dan santri dalam mempertahankan Indonesia. Hari Santri Nasional bukan hanya milik NU dan Muhammadiyah semata, melainkan milik umat Islam Indonesia yang mencintai NKRI dan Pancasila," Kata Wakil Ketua Lazisnu PBNU ini.
Dia menambahkan, Bung Karno sebagai tokoh nasionalis dan Presiden Pertama republik Indonesia juga memiliki hubungan erat dengan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Contohnya dalam Munas alim ulama yang disponsori NU pada tahun 1954 memberikan gelar Waliyul Amri Bi dharuri Asy-Syaukah yang artinya pemimpin di masa darurat yang wajib ditaati perintahnya.
"Sejarah juga mencatat bahwa pendiri Muhammadiyah Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah guru dari Bung Karno," kata Basarah.
Di bagian lain, dalam hal Pancasila sebagai dasar negara telah final. Tidak ada lagi keraguan dalam NU dan Muhammadiyah.
Pada Muktamar NU tahun 1984 di Situbonda, NU dengan tegas mengakui Pancasila sebagai asas tunggal. Sedangkan Muhammadiyah dalam Muktamar 47 di Makassar tahun 2015 menegaskan bahwa negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah artinya negara perjanjian dan tempat bersaksi.
"Terkait pembakaran bendera HTI di Garut, Jawa Barat pada saat puncak peringatan hari santri 22 Oktober 2018 sikap kita sejalan dengan Pemerintah bahwa HTI dan simbol-simbolnya telah secara resmi dilarang oleh keputusan negara melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap," ujarnya.
Dia melanjutkan, PDIP terus melakukan dialog dengan NU dan Muhammadiyah agar umat Islam tidak terprovokasi oleh berbagai upaya adu domba sesama umat Islam dan bangsa Indonesia.
(maf)