RUU Pesantren, Pasal Ini Diminta Direvisi
A
A
A
JAKARTA - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meminta pasal yang terkait pendidikan sekolah Minggu dalam Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, direvisi. Sebab karakteristik pesantren berbeda dengan sekolah Minggu. Jika keduanya diperlakukan sama bakal menimbulkan masalah.
Juru bicara PSI Dara A Kesuma Nasution mengatakan, sangat memahami keberatan dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) terhadap RUU Pesantren itu.
Misalnya, terkait Pasal 69 ayat 3 di RUU tersebut yang menyatakan pendidikan sekolah Minggu dan katekisasi diselenggarakan dengan peserta paling sedikit 15 orang. Selanjutnya juga ada keberatan pada Pasal 69 ayat 4 yang memuat ketentuan bahwa setiap pengajaran non-formal harus dilaporkan dulu kepada Kementerian Agama kabupaten/kota.
“Wajar jika kemudian ada kekhawatiran bahwa hal ini berujung pada birokratisasi pendidikan. Jadi sebaiknya dua pasal itu direvisi,” kata Dara dalam keterangan tertulisnya.
Namun, kata dia, PSI sangat mendukung hadirnya RUU Pesantren dengan beberapa catatan. “Semangatnya bagus, bermula dari keinginan memberikan political recogniction kepada lembaga pendidikan nonformal, terutama pesantren,” tuturnya.
Dia melanjutkan, ada dua rekomendasi dari PSI untuk RUU Pesantren itu. Pertama, regulasi itu tetap mengatur tentang pesantren dan pendidikan agama lain. "Tapi harus melalui diskusi panjang yang melibatkan tokoh-tokoh dari semua agama,” katanya.
RUU itu pun diyakini akan menjadi produk hukum yang inklusif untuk semua agama di Indonesia jika hal tersebut dilakukan. “Rekomendasi kedua, RUU bisa saja kembali ke semangat awal, yaitu hanya mengatur terkait pesantren saja,” imbuhnya.
Di samping itu, RUU itu dari kalangan Islam sendiri dikhawatirkan bisa menghilangkan keragaman pesantren karena pesantren adalah subkultur sosial kemasyarakatan yang sangat kaya, dengan kekhasan dan karakter masing-masing.
“Jika pesantren diatur secara detail hingga ke level teknis seperti kurikulum, ini akan mengancam keragaman di setiap pesantren di Indonesia,” pungkasnya.
Juru bicara PSI Dara A Kesuma Nasution mengatakan, sangat memahami keberatan dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) terhadap RUU Pesantren itu.
Misalnya, terkait Pasal 69 ayat 3 di RUU tersebut yang menyatakan pendidikan sekolah Minggu dan katekisasi diselenggarakan dengan peserta paling sedikit 15 orang. Selanjutnya juga ada keberatan pada Pasal 69 ayat 4 yang memuat ketentuan bahwa setiap pengajaran non-formal harus dilaporkan dulu kepada Kementerian Agama kabupaten/kota.
“Wajar jika kemudian ada kekhawatiran bahwa hal ini berujung pada birokratisasi pendidikan. Jadi sebaiknya dua pasal itu direvisi,” kata Dara dalam keterangan tertulisnya.
Namun, kata dia, PSI sangat mendukung hadirnya RUU Pesantren dengan beberapa catatan. “Semangatnya bagus, bermula dari keinginan memberikan political recogniction kepada lembaga pendidikan nonformal, terutama pesantren,” tuturnya.
Dia melanjutkan, ada dua rekomendasi dari PSI untuk RUU Pesantren itu. Pertama, regulasi itu tetap mengatur tentang pesantren dan pendidikan agama lain. "Tapi harus melalui diskusi panjang yang melibatkan tokoh-tokoh dari semua agama,” katanya.
RUU itu pun diyakini akan menjadi produk hukum yang inklusif untuk semua agama di Indonesia jika hal tersebut dilakukan. “Rekomendasi kedua, RUU bisa saja kembali ke semangat awal, yaitu hanya mengatur terkait pesantren saja,” imbuhnya.
Di samping itu, RUU itu dari kalangan Islam sendiri dikhawatirkan bisa menghilangkan keragaman pesantren karena pesantren adalah subkultur sosial kemasyarakatan yang sangat kaya, dengan kekhasan dan karakter masing-masing.
“Jika pesantren diatur secara detail hingga ke level teknis seperti kurikulum, ini akan mengancam keragaman di setiap pesantren di Indonesia,” pungkasnya.
(thm)