OTT Anggota DPRD, MPR Minta Sistem Pemilihan Langsung Dievaluasi

Sabtu, 27 Oktober 2018 - 12:50 WIB
OTT Anggota DPRD, MPR Minta Sistem Pemilihan Langsung Dievaluasi
OTT Anggota DPRD, MPR Minta Sistem Pemilihan Langsung Dievaluasi
A A A
BERAU - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap 14 orang, delapan di antaranya adalah anggota DPRD Kalimantan Tengah (Kalteng) di Jakarta pada Jumat (26/10/2018). Mereka diduga terlibat suap proyek perkebunan kelapa sawit di Kalteng.

Sebelumnya, Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi Sastra ditetapkan tersangka suap jual beli jabatan serta terkait proyek dan perizinan. Selain Bupati Cirebon, Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Cirebon Gatot Rachmanto juga jadi tersangka.

Wakil Ketua MPR RI Mahyudin mengaku prihatin terhadap kondisi bangsa yang disebutnya mengalami darurat korupsi. "Hampir setiap saat ada pejabat baik legislatif, eksekutif, yudikatif yang ditangkap oleh KPK. Ini pasti ada kaitannya dengan sistem demokrasi kita, dimana bupati, wali kota, DPRD, DPR yang dipilih secara langsung melalui suara terbanyak.

Ini menyebabkan politik berbiaya tinggi, tentu setiap kontestan yang terpilih ada kepentingan untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan," ujar Mahyudin di sela Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Kantor Kecamatan Sambaliung, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, Sabtu (27/10/2018).

Mahyudin mengatakan, ketika rakyat memilih orang karena money politics, itu artinya kita telah memilih orang-orang yang tidak berintegritas sejak awal. "Karena dari awal prosesnya pun mereka misalnya jadi dengan money politics, mereka sudah memiliki jiwa yang tidak berintegritas. Calon pemimpin yang memiliki jiwa korup.

Jadi kita sebenarnya ketika melakukan pemilihan secara langsung seperti itu, kita memilih calon-calon koruptor memang seperti itu sistem pemilu kita," tutur politikus Partai Golkar ini.

Karena itu, Mahyudin berharap ada evaluasi secara menyeluruh dari berbagai pihak, termasuk sistem demokrasi dengan pemilihan langsung berbiaya tinggi. "Sebagai tahap awal, pemilihan kepala daerah cukup dilakulan DPRD kabupaten/kota dan provinsi. Begitu juga pemilihan DPRD dan DPR dilakukan secara proporsional tertutup. Sehingga, anggota DPR/DPRD cukup dipilih partai sehingga potensi kita salah pilih orang bisa terhindarkan dan politik berbiaya tinggi itu bisa dihindari," tuturnya.

Menurut Mahyudin yang mencalonkan diri sebagai untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Daerah Pemilihan (Dapil) Kaltim ini, kondisi di era Orde Baru dimana kepala daerah dipilih oleh DPRD yang dinilai banyak menimbulkan praktik korupsi, tidak bisa disamakan dengan kondisi saat ini.

"Kadang-kadang kita terlalu sempit berfikirnya karena saat itu banyak praktik korupsi pemilihan kepala daerah karena dipilih oleh DPRD. Tapi, harus diingat bahwa dulu belum ada instrumen seperti KPK. Sekarang yang perlu diawasi adalah prosesnya dari awal agar tidak ada korupsi. Pimpinan yang korup lahir dari rakyat yang korup juga. Kalau kita pemilihan langsung, kita mengawasi money politics di lapangan, itu lebih sulit daripada kita mengawasi di lingkup yangg lebih kecil yakni DPRD," tuturnya.

Penangkapan delapan anggota DPRD Kalteng, membuktikan ada perubahan situasi dulu dengan sekarang. "Dulu tidak ada DPRD yang ditangkap karena suap kepala daerah. Kalau sekarang bisa satu DPRD ditangkap semua. Saya kira dengan sistem pengawasan yang kuat, terutama KPK, pemilihan kepala daerah melalui DPRD itu lebih efektif untuk menghindari praktik-praktik korupsi karena lebih mudah diawasi," tutur mantan bupati Kutai Timur, Kaltim ini.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1290 seconds (0.1#10.140)