Perkuat Pancasila, Generasi Muda Harus Pahami Sejarah Bangsa
A
A
A
JAKARTA - Generasi muda harus mengenal jati diri bangsanya dengan mengetahui dan memahami sejarah Indonesia. Karena dengan bekal tersebut, mereka bisa menangkal bahaya ideologi selain Pancasila.
"Mahasiswa harus mengenal sejarah bangsanya. Dengan memahami sejarah, mereka bisa menolak ideologi lain yang tak sepaham dengan jati diri Indonesia sesungguhnya," kata Ambar Wulan, pakar sejarah nasional seusai menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Pancasila bertema Menegakkan Pancasila sebagai Dasar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Universitas Mercu Buana (UMB) Jakarta, akhir pekan kemarin.
Ideologi dimaksud bukan hanya paham komunis, tapi juga hal lain di luar Pancasila sebagai dasar negara. "Bukan hanya mahasiswa, saya berharap agar pelajaran sejarah (PSPB) kembali dihidupkan di sekolah. Tujuannya supaya sejak dini generasi muda mengenal bagaimana sejarah bangsa ini terbentuk, termasuk gerakan pemberontakan PKI yang dikenal sadis," harapnya.
Mengenai ideologi komunis, Ambar menegaskan, pemahaman terlarang tersebut tidak boleh hidup kembali di Tanah Air. Karena itu dia tak setuju dengan adanya upaya yang membelokan sejarah kelam terjadinya Gerakan G30SPKI.
"Bahaya yang paling besar adalah ketika generasi muda tidak tahu sejarahnya. Bangsa kita a historis jika mengatakan PKI bukan ancaman lagi. Kita akan kehilangan orientasi nilai sehingga mudah ditelikung bangsa lain," katanya mengingatkan.
Menurut Ambar, fakta keras kekejaman terhadap para jenderal tak bisa bisa disangkal siapapun. "Sumur atau Lubang Buaya adalah bukti kekejaman PKI yang luar biasa," katanya lagi.
Rektor Universitas Mercu Buana, Arissetyanto Nugroho mengatakan, kegiatan ini digekar supaya mahasiswa waspada dan sadar akan potensi komunis di era globalisasi seperti sekarang. "Berikan pemahaman kepada mahasiswa tentang sejarah bangsa. Begitu juga adanya peran strategis TNI dalam kehidupan berbangsa," kata Rektor UMB saat membuka seminar.
Penuturan Saksi Mata G30SPKI Dalam seminar tersebut, Pembantu Letnan 2 KKO (Purnawirawan) Sugimin yang merupakan saksi sejarah G30SPKI mengatakan, mereka ditugakan untuk mengangkat jasad para jenderal korban keganasan PKI di Lubang Buaya, Jakarta Timur. "Sebenarnya kami ditugaskan dari Surabaya ke Jakarta untuk survei pantai pendaratan alat-alat berat peringatan Hari TNI. Pada 30 September pagi ada informasi jenderal diculik. Ini peristiwa besar bagi bangsa, tidak ada dalam perang enam jenderal mati sekaligus," tuturnya.
Karena peristiwa itu, semua perwakilan angkatan kembali ke markasnya masing-masing. Tanggal 3 Oktober, tepatnya pukul 21.00 WIB, Markas KKO didatangi oleh Kapten Sukendar dari Kostrad. "Dia mencari kami untuk menolong jasad di lubang buaya. Lalu kami siapkan alat-alat yang dibutuhkan, alat selam, tali balok sampai tengah malam. Jam 1 malam kami menuju Halim (Lubang Buaya)," ucap Sugimin.
Dikatakannya, mereka baru diizinkan masuk pada pukul 11.00 WIB setelah rombongan Jenderal Suharto mendatangi Lubang Buaya. "Tim KKO yang melakukan tugas agak ragu turun ke lubang karena jika ini benar tempatnya, maka musuh tentu sudah menyiapkan peledak di dalam. Yang jelas setelah turun ke dalam posisi korban 90% kakinya posisi di atas. Kalau diangkat wajar tidak bisa bisa, harus diakali dengan tali dan dokter berpesan tidak boleh mengikat leher," papar Sugimin.
Perlu diketahui diameter dari sumur tersebut hanya 75 cm dengan kedalaman sekitar 12 meter. "Yang pertama diangkat adalah Tendean dan terakhir Brigjen Panjaitan. Mereka penuh dengan kotoran darah mereka sendiri. Kok ada orang yang kejam seperti itu," katanya sedih.
Sementara itu, budayawan, Taufik Ismail mengatakan, kekejaman komunis sudah diluar batas. Sejarah mencatat, periode 1917-1981 sebanyak 120 juta manusia mati di bawah rezim komunis. "Ada 4.504 sehari yang mati selama 74 tahun di 76 negara. Partai Nazi pada 1930-1945 menelan korban 40 juta orang. Yang perlu diingat, tujuan komunis adalah merebut kekuasaan," sebutnya
"Mahasiswa harus mengenal sejarah bangsanya. Dengan memahami sejarah, mereka bisa menolak ideologi lain yang tak sepaham dengan jati diri Indonesia sesungguhnya," kata Ambar Wulan, pakar sejarah nasional seusai menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Pancasila bertema Menegakkan Pancasila sebagai Dasar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Universitas Mercu Buana (UMB) Jakarta, akhir pekan kemarin.
Ideologi dimaksud bukan hanya paham komunis, tapi juga hal lain di luar Pancasila sebagai dasar negara. "Bukan hanya mahasiswa, saya berharap agar pelajaran sejarah (PSPB) kembali dihidupkan di sekolah. Tujuannya supaya sejak dini generasi muda mengenal bagaimana sejarah bangsa ini terbentuk, termasuk gerakan pemberontakan PKI yang dikenal sadis," harapnya.
Mengenai ideologi komunis, Ambar menegaskan, pemahaman terlarang tersebut tidak boleh hidup kembali di Tanah Air. Karena itu dia tak setuju dengan adanya upaya yang membelokan sejarah kelam terjadinya Gerakan G30SPKI.
"Bahaya yang paling besar adalah ketika generasi muda tidak tahu sejarahnya. Bangsa kita a historis jika mengatakan PKI bukan ancaman lagi. Kita akan kehilangan orientasi nilai sehingga mudah ditelikung bangsa lain," katanya mengingatkan.
Menurut Ambar, fakta keras kekejaman terhadap para jenderal tak bisa bisa disangkal siapapun. "Sumur atau Lubang Buaya adalah bukti kekejaman PKI yang luar biasa," katanya lagi.
Rektor Universitas Mercu Buana, Arissetyanto Nugroho mengatakan, kegiatan ini digekar supaya mahasiswa waspada dan sadar akan potensi komunis di era globalisasi seperti sekarang. "Berikan pemahaman kepada mahasiswa tentang sejarah bangsa. Begitu juga adanya peran strategis TNI dalam kehidupan berbangsa," kata Rektor UMB saat membuka seminar.
Penuturan Saksi Mata G30SPKI Dalam seminar tersebut, Pembantu Letnan 2 KKO (Purnawirawan) Sugimin yang merupakan saksi sejarah G30SPKI mengatakan, mereka ditugakan untuk mengangkat jasad para jenderal korban keganasan PKI di Lubang Buaya, Jakarta Timur. "Sebenarnya kami ditugaskan dari Surabaya ke Jakarta untuk survei pantai pendaratan alat-alat berat peringatan Hari TNI. Pada 30 September pagi ada informasi jenderal diculik. Ini peristiwa besar bagi bangsa, tidak ada dalam perang enam jenderal mati sekaligus," tuturnya.
Karena peristiwa itu, semua perwakilan angkatan kembali ke markasnya masing-masing. Tanggal 3 Oktober, tepatnya pukul 21.00 WIB, Markas KKO didatangi oleh Kapten Sukendar dari Kostrad. "Dia mencari kami untuk menolong jasad di lubang buaya. Lalu kami siapkan alat-alat yang dibutuhkan, alat selam, tali balok sampai tengah malam. Jam 1 malam kami menuju Halim (Lubang Buaya)," ucap Sugimin.
Dikatakannya, mereka baru diizinkan masuk pada pukul 11.00 WIB setelah rombongan Jenderal Suharto mendatangi Lubang Buaya. "Tim KKO yang melakukan tugas agak ragu turun ke lubang karena jika ini benar tempatnya, maka musuh tentu sudah menyiapkan peledak di dalam. Yang jelas setelah turun ke dalam posisi korban 90% kakinya posisi di atas. Kalau diangkat wajar tidak bisa bisa, harus diakali dengan tali dan dokter berpesan tidak boleh mengikat leher," papar Sugimin.
Perlu diketahui diameter dari sumur tersebut hanya 75 cm dengan kedalaman sekitar 12 meter. "Yang pertama diangkat adalah Tendean dan terakhir Brigjen Panjaitan. Mereka penuh dengan kotoran darah mereka sendiri. Kok ada orang yang kejam seperti itu," katanya sedih.
Sementara itu, budayawan, Taufik Ismail mengatakan, kekejaman komunis sudah diluar batas. Sejarah mencatat, periode 1917-1981 sebanyak 120 juta manusia mati di bawah rezim komunis. "Ada 4.504 sehari yang mati selama 74 tahun di 76 negara. Partai Nazi pada 1930-1945 menelan korban 40 juta orang. Yang perlu diingat, tujuan komunis adalah merebut kekuasaan," sebutnya
(mhd)