Minta SAT Dibebaskan, Penasehat Hukum Kutip Filosofi Sam Ratulangi
A
A
A
JAKARTA - Selain bertumpu pada fakta-fakta persidangan, pledoi yang dibacakan secara bergantian oleh penasehat hukum mantan Ketua BPPN Syafrudin A. Temenggung (SAT) juga mengutip filosofi pahlawan nasional Sam Ratulangi yang terkenal Mapalus dan Si Tou Timuo Tumou Tou yang artinya manusia baru dapat disebut manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.
Bukan tanpa alasan tim penasehat hukum SAT mengutip filosofi tokok pejuang itu. Pasalnya, mereka sangat yakin bahwa tidak ada satupun fakta persidangan dan pendapat para ahli yang menunjukan SAT telah melakukan perbuatan melawan hukum saat menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada pemegang saham BDNI Syamsul Nursalim (SN) pada April 2004 lalu.
Dalam proses persidangan yang berlangsung sejak Juni lalu tim penasehat hukum SAT melihat, banyak kejanggalan yang perlu diamati dan dicermati. Antara lain adalah terkait audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2017 yang diminta oleh KPK. Dalam audit ini, pemberian SKL BDNI oleh SAT dinyatakan telah merugikan negara Rp 4,5 triliun, dan ini bertolak bertolak belakang dengan hasil BPK 2002 pada dan 2006 yang menyatakan SN telah melunasi semua kewajibannya dan tidak ditemukan masalah.
"Dalam persidangan terungkap, audit BPK 2017 ternyata tidak memenuhi prinsip audit yang independen dan tidak menerapkan prinsip asersi sehingga tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan yang diatur BPK sendiri, yaitu Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017, khususnya butir 21 sampai dengan 26," kata salah seorang penasehat hukum SAT, Ahmad Yani.
Kejanggalan juga terlihat dalam soal misrepresentasi. Pada tuntutannya jaksa menyebutkan SN telah melakukan misrepresentasi dalam soal kondisi kredit tambak udang. Fakta persidangan menunjukkan sangkaan ini tidak terbukti.
Bahkan, menurut ahli hukum perdata, Prof Nindyo Pramono dalam kesaksiannya menyatakan perjanjian penyelesaian BLBI antara SN dan Pemerintah bersifat perdata sehingga penetapan terjadi misrepresentasi atau tidak, harus melalui keputusan pengadilan perdata. "Jalurnya digugat dahulu di perdata, dibuktikan dahulu misrepresentasi atau tidak," kata Nindyo.
Soal tanggung jawab kerugian negara, dalam persidangan terungkap ini terjadi setelah BPPN dibubarkan pada 2007 saat Menteri Keuangan saat itu melalui PT PPA menjual hak tagih atas aset BDNI senilai Rp 4,8 triliun. "Jadi kerugian karena penjualan aset tersebut bukan saat SAT menjadi Ketua BPPN, melainkan Menteri Keuangan saat itu. Saat itu, SAT bukan lagi siapa-siapa," kata Jamin Ginting, penasehat SAT lainnya.
Kesaksian dalam persidangan juga tidak berimbang, terutama dalam soal kesaksian petambak. Jaksa hanya memanggil saksi-saksi yang bisa memperkuat tuduhan, namun sidang pengadilan ini tidak mendengar saksi para petambak yang diajukan oleh pihak terdakwa.
Dakwaan jaksa juga mengabaikan prinsip penyelesaian kewajiban BLBI melalui MSAA dan disepakati di luar pengadilan (out of court settlement) dan perdata serta sudah di akta notariskan. Fakta persidangan membuktikan, pemberian SKL kepada SN karena sebagai obligor ia sudah mengikuti seluruh proses secara hukum seperti UU No 25 Tahun 2000 tentang Propenas, Inpres No 8 tahun 2002, Tap MPR X/2001 dan Tap MPR VI/2002.
Bukan tanpa alasan tim penasehat hukum SAT mengutip filosofi tokok pejuang itu. Pasalnya, mereka sangat yakin bahwa tidak ada satupun fakta persidangan dan pendapat para ahli yang menunjukan SAT telah melakukan perbuatan melawan hukum saat menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada pemegang saham BDNI Syamsul Nursalim (SN) pada April 2004 lalu.
Dalam proses persidangan yang berlangsung sejak Juni lalu tim penasehat hukum SAT melihat, banyak kejanggalan yang perlu diamati dan dicermati. Antara lain adalah terkait audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2017 yang diminta oleh KPK. Dalam audit ini, pemberian SKL BDNI oleh SAT dinyatakan telah merugikan negara Rp 4,5 triliun, dan ini bertolak bertolak belakang dengan hasil BPK 2002 pada dan 2006 yang menyatakan SN telah melunasi semua kewajibannya dan tidak ditemukan masalah.
"Dalam persidangan terungkap, audit BPK 2017 ternyata tidak memenuhi prinsip audit yang independen dan tidak menerapkan prinsip asersi sehingga tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan yang diatur BPK sendiri, yaitu Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017, khususnya butir 21 sampai dengan 26," kata salah seorang penasehat hukum SAT, Ahmad Yani.
Kejanggalan juga terlihat dalam soal misrepresentasi. Pada tuntutannya jaksa menyebutkan SN telah melakukan misrepresentasi dalam soal kondisi kredit tambak udang. Fakta persidangan menunjukkan sangkaan ini tidak terbukti.
Bahkan, menurut ahli hukum perdata, Prof Nindyo Pramono dalam kesaksiannya menyatakan perjanjian penyelesaian BLBI antara SN dan Pemerintah bersifat perdata sehingga penetapan terjadi misrepresentasi atau tidak, harus melalui keputusan pengadilan perdata. "Jalurnya digugat dahulu di perdata, dibuktikan dahulu misrepresentasi atau tidak," kata Nindyo.
Soal tanggung jawab kerugian negara, dalam persidangan terungkap ini terjadi setelah BPPN dibubarkan pada 2007 saat Menteri Keuangan saat itu melalui PT PPA menjual hak tagih atas aset BDNI senilai Rp 4,8 triliun. "Jadi kerugian karena penjualan aset tersebut bukan saat SAT menjadi Ketua BPPN, melainkan Menteri Keuangan saat itu. Saat itu, SAT bukan lagi siapa-siapa," kata Jamin Ginting, penasehat SAT lainnya.
Kesaksian dalam persidangan juga tidak berimbang, terutama dalam soal kesaksian petambak. Jaksa hanya memanggil saksi-saksi yang bisa memperkuat tuduhan, namun sidang pengadilan ini tidak mendengar saksi para petambak yang diajukan oleh pihak terdakwa.
Dakwaan jaksa juga mengabaikan prinsip penyelesaian kewajiban BLBI melalui MSAA dan disepakati di luar pengadilan (out of court settlement) dan perdata serta sudah di akta notariskan. Fakta persidangan membuktikan, pemberian SKL kepada SN karena sebagai obligor ia sudah mengikuti seluruh proses secara hukum seperti UU No 25 Tahun 2000 tentang Propenas, Inpres No 8 tahun 2002, Tap MPR X/2001 dan Tap MPR VI/2002.
(pur)