Cegah Radikalisme di Medsos, BNPT Rangkul Para Youtubers

Rabu, 05 September 2018 - 16:48 WIB
Cegah Radikalisme di Medsos, BNPT Rangkul Para Youtubers
Cegah Radikalisme di Medsos, BNPT Rangkul Para Youtubers
A A A
JAKARTA - Berbagai upaya dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam melakukan pencegahan atau kontra-radikalisasi terhadap penyebaran paham radikal terorisme.

Setelah menjalankan program Duta Damai Dunia Maya sejak 2015 lalu, pada pertengahan 2018 ini, BNPT merangkul para pembuat konten kreatif, terutama di kanal Youtube atau lebih keren disebut Youtubers.

Sebanyak 42 konten kreator itu dikumpulkan dalam forum Sarasehan Pencegahan Terorisme Bersama Konten Kreator di Yogyakarta, 4-7 September 2018.

Selama empat hari, mereka akan berkolaborasi dengan tim media sosial Pusat Media Damai (PMD) BNPT untuk menyamakan persepsi berupa diskusi dan sharing pembuatan konten-konten video kreatif yang mendukung upaya pencegahan radikalisme dan terorisme.

“Adik-adik ini diharapkan melakukan pencegahan terorisme melalui narasi dan konten berupa video dan sebagainya. Kami berharap kreativitas para Youtubers ini bisa mengajak dan membentengi masyarakat, terutama anak muda dari penyebaran radikalisme dan terorisme, terutama di media sosial,” kata Direktur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal Polisi Hamli saat membuka Sarasehan Pencegahan Terorisme Bersama Konten Kreator di Yogyakarta, Selasa 4 September 2018 malam.

Hamli melanjutkan, peran penggiat dan pembuat konten kreatif di dunia maya ini sangat penting. Pasalnya, konflik yang terjadi di Timur Tengah berawal dari radikalisme yang kemudian memuncak menjadi terorisme dan berawal dari perang konten, baik itu konten berita maupun konten video di media sosial.

Salah satunya di Suriah, kata dia, negara yang dulunya mirip dengan Indonesia. Suriah negara yang indah yang terdiri atas bermacam-macam agama dan etnis. Namun mereka akhirnya terlibat konflik. Di situlah kelompok radikal masuk memperkeruh suasana dengan melakukan berbagai cara seperti berita bohong (hoaks) dan adu domba dengan isu SARA.

Dia menegaskan akar terorisme biasanya berasal dari konflik wilayah yang membuat kondisi suatu negara menjadi tidak stabil. Di situlah terorisme bisa tumbuh subur.

Dia juga menegaskan bahwa yang namanya terorisme itu bukan isapan jempol atau rekayasa, tapi kenyataannya. Seperti di Indonesia dengan serangkaian teror bom dari tahun 2000 sampai sekarang.

Hamli memaparkan berbagai fenomena terorisme, terutama di Indonesia. Diawali potensi ancaman di Indonesia. Menurut dia, potensi ancaman radikalisme di Indonesia sangat besar karena Indonesia terdiri atas berbagai macan agama, suku, ras, dan lain-lain. Hal ini harus terus direduksi dan salah satunya dengan penyebaran konten positif di media sosial.

Mengutip hasil penelitian almarhum Profesor Sarlito Wirawan tahun 2012 terkait pelaku jihad ke Afghanistan, kata Hamli, dari 100 responden dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina, hasilnya 45,5 persen karena ideologi agama dan pemahaman agama yang keliru.

Kemudian solidaritas komunal yang negatif sebanyak 20%, kemudian 12,7% militan, sedangkan 9 persen karena kondisi nasional negaranya. Begitu juga hasil dari survei Wahid Foundation tentang potensi radikalisme, kata Hamli, 72% orang Indonesia menolak radikalisme, 7,7% bersedia melakukan aksi radikalisme, dan 0,4% pernah melakukan aksi radikalisme dan terorisme. Ironisnya dengan hanya 0,4% atau sangat kecil, kelompok radikal ini justru berani melakuan aksi.

Dengan keterlibatan para konten kreator ini, lanjut dia, diharapkan mampu mereduksi hasil penelitian itu. “Marilah yang 72 persen ini kita terus perbanyak, sekaligus kita pengaruhi yang 7,7 persen agar masuk kelompok 72 persen. Ingat 7,7 persen itu banyak sekitar 11 juta orang dari total penduduk Indonesia yang 250 juta jiwa,” tutur Hamli.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6454 seconds (0.1#10.140)