28,3% Responden Anggap Gerakan #2019GantiPresiden Bermuatan Politik
A
A
A
Gerakan tagar 2019 Ganti Presiden 2019 yang dimotori oleh Neno Warisman dan Mardani Ali Sera menjadi polemik di tengah publik beberapa waktu belakangan ini.
Dari hasil survei Y-Publica hampir 70% responden mengetahui atau pernah mendengar mengenai gerakan itu. Angka ini lebih tinggi di banding temuan survei sebelumnya (Mei 2018) yaitu 50,3%.
"Meskipun makin populer, tetapi persepsi publik terhadap gerakan ini cukup kritis. Sebanyak 28,3% responden (yang mengetahui) menganggap sebagai gerakan bermuatan politik, sedangkan 25% menganggap itu kampanye politik sebelum pemilu," ujar Direktur Eksekutif Y-Publica, Rudi Hartono di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta Pusat, Senin (3/9/2018).
"Bahkan ada 13,6% yang menganggap gerakan itu mengarah makar. Hanya 8,4% yang menganggap sebagai gerakan protes atau bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah," sambungnya.
Rudi menilai persepsi publik semakin kritis yang terlihat dari identifikasi publik terhadap pihak yang diuntungkan oleh gerakan tersebut. Sebanyak 32,1% responden menganggap gerakan itu menguntungkan kubu oposisi atau lawan politik Jokowi.
"Malah ada 24,9% yang menuding langsung pasangan Prabowo-Sandi sebagai pihak yang diuntungkan, 20,6% menganggap gerakan itu menguntungkan kelompok anti NKRI dan 12,8% menyebut kelompok pendukung khilafah yang diuntungkan," jelasnya.
Rudi mengungkapkan setelah deklarasi capres dan cawapres ternyata gerakan itu terlihat semakin masif. Mayoritas responden yaitu 75,6% menganggap gerakan itu sebagai ekspresi kebebasan berpendapat.
"Secara umum, meski semakin populer, tetapi sikap publik tidak setuju dengan gerakan itu justru naik, dari 67,3% menjadi 68,6%," tuturnya.
Pengambilan data dilakukan pada tanggal 13 -23 Agustus 2018. Jumlah sampel 1.200 responden yang dipilih secara acak bertingkat (multistage random sampling) mewakili 120 desa dari 34 provinsi di Indonesia.
Dari hasil survei Y-Publica hampir 70% responden mengetahui atau pernah mendengar mengenai gerakan itu. Angka ini lebih tinggi di banding temuan survei sebelumnya (Mei 2018) yaitu 50,3%.
"Meskipun makin populer, tetapi persepsi publik terhadap gerakan ini cukup kritis. Sebanyak 28,3% responden (yang mengetahui) menganggap sebagai gerakan bermuatan politik, sedangkan 25% menganggap itu kampanye politik sebelum pemilu," ujar Direktur Eksekutif Y-Publica, Rudi Hartono di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta Pusat, Senin (3/9/2018).
"Bahkan ada 13,6% yang menganggap gerakan itu mengarah makar. Hanya 8,4% yang menganggap sebagai gerakan protes atau bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah," sambungnya.
Rudi menilai persepsi publik semakin kritis yang terlihat dari identifikasi publik terhadap pihak yang diuntungkan oleh gerakan tersebut. Sebanyak 32,1% responden menganggap gerakan itu menguntungkan kubu oposisi atau lawan politik Jokowi.
"Malah ada 24,9% yang menuding langsung pasangan Prabowo-Sandi sebagai pihak yang diuntungkan, 20,6% menganggap gerakan itu menguntungkan kelompok anti NKRI dan 12,8% menyebut kelompok pendukung khilafah yang diuntungkan," jelasnya.
Rudi mengungkapkan setelah deklarasi capres dan cawapres ternyata gerakan itu terlihat semakin masif. Mayoritas responden yaitu 75,6% menganggap gerakan itu sebagai ekspresi kebebasan berpendapat.
"Secara umum, meski semakin populer, tetapi sikap publik tidak setuju dengan gerakan itu justru naik, dari 67,3% menjadi 68,6%," tuturnya.
Pengambilan data dilakukan pada tanggal 13 -23 Agustus 2018. Jumlah sampel 1.200 responden yang dipilih secara acak bertingkat (multistage random sampling) mewakili 120 desa dari 34 provinsi di Indonesia.
(kri)