Kasus Suap Tipikor Medan, Hakim dan Panitera Dinonaktifkan
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan hakim adhoc Pengadilan Tipikor pada PN Medan Merry Purba, Panitera Pengganti Helpandai, dan dua orang sebagai tersangka.
Bersamaan dengan itu Mahkamah Agung (MA) memberhentikan sementara Merry dan Helpandi dari posisi dan tugas masing-masing.
Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, KPK sudah melakukan penyelidikan tertutup setelah beberapa waktu lalu menerima informasi dari masyarakat atas dugaan pengurusan putusan perkara atas nama terdakwa pengusaha Tamin Sukardi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Medan.
Setelah melakukan pengumpulan informasi, keterangan, dan pemantauan kemudian ditemukan bukt-bukti awal adanya unsur pidana. Kemudian tutur Agus, Selasa (28/8) pagi hingga siang dilakukan operasi tangkap tangan (OTT) di beberapa lokasi termasuk Pengadilan Tipikor Medan.
Total ada delapan orang yang diamankan. Mereka secara berurutan yakni Panitera Pengganti PN Medan Helpandi dengan menyita SGD130.000 (setara sekitar Rp1,397 miliar), Sudarni (staf Tamin Sukardi), Tamin Sukardi di rumahnya, hakim adhoc Pengadilan Tipikor Medan Merry Purba, Wakil Ketua PN Medan Wahyu Prasetyo Wibowo, hakim karir PN Medan Sontan Merauke Sinaga, Ketua PN Medan Marsuddin Nainggolan, dan Panitera Pengganti PN Medan Oloan Sirait.
Para pihak menjalani pemeriksaan awal di kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Selepas itu tujuh orang selain Oloan diterbangkan ke Jakarta dalam tiga penerbangan pada Selasa (28/8) malam dan Rabu (29/8) pagi. Agus menegaskan, tim KPK menemukan sebelum terjadi OTT rupanya sudah ada pemberian SGD150.000 (setara lebih Rp1,612 miliar) ke hakim Merry.
Setelah pemeriksaan lanjutan di Gedung Merah Putih KPK disusul gelar perkara (ekspose), kemudian diputuskan kasus ini ditingkatkan ke tahap penyidikan. Bersamaan dengan itu, KPK memutuskan menetapkan empat orang sebagai tersangka.
"Diduga sebagai penerima yakni H (Helpandi) Panitera Pengganti dan MP (Merry Purba) hakim adhoc Tipikor pada PN Medan. Diduga sebagai pemberi, TS (Tamin Sukardi) pengusaha sekaligus terdakwa perkara yang disidangkan di Pengadilan Tipikor Medan dan HS (Hadi Setiawan) merupakan orang kepercayaan TS. Diduga total pemberian yang telah terealisasi dalam kasus ini adalah SGD280.00," tegas Agus saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, kemarin.
Saat konferensi pers, Agus didampingi Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial Sunarto, Juru Bicara MA Suhadi, dan Kepala Biro Hukum dan Hubungan
Masyarakat MA Abdullah.
Agus membeberkan, perkara atas nama Tamin yakni korupsi dengan nomor perkara: 33/pid.sus/TPK/2018/PN.Mdn yakni penyalahgunaan kewenangan dalam penyelewengan lahan milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II seluas 106 hektararea di Desa Helvetia, Deliserdang.
Perkara atas nama Tamin ditangani majelis hakim yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo dengan anggota Sontan Merauke Sinaga dan Merry Purba. Pada Senin (27/8), tutur Agus, Tamin divonis pidana penjara selama 6 tahun, denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan, dan pidana uang pengganti kerugian negara Rp132.468.197.742 subsider pidana penjara selama 2 tahun. Dalam menjatuhkan vonis, hakim Merry mengajukan perbedaan pendapat (dissenting opinion).
"KPK mengidentifikasi penggunaan sandi dan kode dalam komunikasi di kasus ini seperti pohon yang berarti uang, dan kode untuk nama hakim yakni seperti Ratu Kecantikan. Suap diduga untuk mempengaruhi putusan majelis hakim, agar TS diberikan hukuman yang jauh lebih ringan," ujarnya.
Mantan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) ini mengungkapkan, empat pihak lain yang ditangkap saat ini masih berstatus saksi. Meski begitu Agus menggariskan, diduga masih ada keterlibatan pihak lain atau hakim lain di PN Medan. Hanya saja hingga proses ekspose dilakukan, baru Merry dan Helpandi yang kuat.
"Masih diduga ada yang lain. Proses ini masih berlangsung dan ada kemungkinan pengembangan. Dalam menangani kasus seperti ini kami tidak menargetkan secara khusus untuk PN. Tentu kami prihatin kejadian seperti ini masih terjadi," ucapnya.
Sunarto menyatakan, MA sangat prihatin kejadian sepeti ini masih terulang. Apalagi dalam penangkapan yang dilakukan KPK bahkan turut diamankan Ketua dan Wakil Ketua PN Medan.
Dia menggariskan, MA sebenarnya sejak lama menyampaikan bahwa pihak fokus pada pembenahan sistem, kinerja, dan sumber daya manusia di lingkungan lembaga peradilan dan pengadilan. Sunarto menegaskan, atas penetapan tersangka Merry Purba dan Helpandi maka MA menjatuhkan sanksi kepada keduanya.
"Untuk hakim adhoc dan Panitera Pengganti yang ditetapkan kita berhentikan sementara. Kalau atasan langsung keduanya untuk pencopotan tidak sembarang dilakukan pencopotan. Tim kami masih melakukan pemeriksaan atasan langsung dari kedua tersangka," tegas Sunarto.
Dia menuturkan, untuk dua tersangka yang sudah ditetapkan maka ada dua proses lain yang dilakukan di tahap MA yakni penjatuhan sanksi kode etik hakim dengan sanksi pemberhentian permanen dan proses di Badan Pengawas. Hal yang sama juga berlaku untuk atasan langsung dari kedua tersangka.
"Kalau tidak bersalah kita rehabilitasi. Jadi proses di KPK kami hormati,"
Merry Purba mengakui dirinya adalah hakim yang menangani perkara korupsi atas nama Tamin Sukardi. Merry membenarkan dalam putusan dirinya mengajukan perbedaan pendapat bahwa Tamin tidak terbukti melakukan korupsi.
Tapi Merry mengklaim tidak menerima uang dari siapapun apalagi untuk pengurusan pengurangan putusan Tamin Sukardi. Bahkan dia mengklaim tidak mengenal dan bertemu dengan Tamin untuk pembahasan pengurusan perkara. Bahkan Merry mengaku bingung dengan uang USD130.000 yang disita dari tangan Helpandi.
"Saya enggak tahu, makanya saya bingung. Sampai sekarang saya bingung. Saya enggak kenal (Tamin), perkara aja kan waktu sidang," klaim Merry sebelum menaiki mobil tahan.
Bersamaan dengan itu Mahkamah Agung (MA) memberhentikan sementara Merry dan Helpandi dari posisi dan tugas masing-masing.
Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, KPK sudah melakukan penyelidikan tertutup setelah beberapa waktu lalu menerima informasi dari masyarakat atas dugaan pengurusan putusan perkara atas nama terdakwa pengusaha Tamin Sukardi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Medan.
Setelah melakukan pengumpulan informasi, keterangan, dan pemantauan kemudian ditemukan bukt-bukti awal adanya unsur pidana. Kemudian tutur Agus, Selasa (28/8) pagi hingga siang dilakukan operasi tangkap tangan (OTT) di beberapa lokasi termasuk Pengadilan Tipikor Medan.
Total ada delapan orang yang diamankan. Mereka secara berurutan yakni Panitera Pengganti PN Medan Helpandi dengan menyita SGD130.000 (setara sekitar Rp1,397 miliar), Sudarni (staf Tamin Sukardi), Tamin Sukardi di rumahnya, hakim adhoc Pengadilan Tipikor Medan Merry Purba, Wakil Ketua PN Medan Wahyu Prasetyo Wibowo, hakim karir PN Medan Sontan Merauke Sinaga, Ketua PN Medan Marsuddin Nainggolan, dan Panitera Pengganti PN Medan Oloan Sirait.
Para pihak menjalani pemeriksaan awal di kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Selepas itu tujuh orang selain Oloan diterbangkan ke Jakarta dalam tiga penerbangan pada Selasa (28/8) malam dan Rabu (29/8) pagi. Agus menegaskan, tim KPK menemukan sebelum terjadi OTT rupanya sudah ada pemberian SGD150.000 (setara lebih Rp1,612 miliar) ke hakim Merry.
Setelah pemeriksaan lanjutan di Gedung Merah Putih KPK disusul gelar perkara (ekspose), kemudian diputuskan kasus ini ditingkatkan ke tahap penyidikan. Bersamaan dengan itu, KPK memutuskan menetapkan empat orang sebagai tersangka.
"Diduga sebagai penerima yakni H (Helpandi) Panitera Pengganti dan MP (Merry Purba) hakim adhoc Tipikor pada PN Medan. Diduga sebagai pemberi, TS (Tamin Sukardi) pengusaha sekaligus terdakwa perkara yang disidangkan di Pengadilan Tipikor Medan dan HS (Hadi Setiawan) merupakan orang kepercayaan TS. Diduga total pemberian yang telah terealisasi dalam kasus ini adalah SGD280.00," tegas Agus saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, kemarin.
Saat konferensi pers, Agus didampingi Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial Sunarto, Juru Bicara MA Suhadi, dan Kepala Biro Hukum dan Hubungan
Masyarakat MA Abdullah.
Agus membeberkan, perkara atas nama Tamin yakni korupsi dengan nomor perkara: 33/pid.sus/TPK/2018/PN.Mdn yakni penyalahgunaan kewenangan dalam penyelewengan lahan milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II seluas 106 hektararea di Desa Helvetia, Deliserdang.
Perkara atas nama Tamin ditangani majelis hakim yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo dengan anggota Sontan Merauke Sinaga dan Merry Purba. Pada Senin (27/8), tutur Agus, Tamin divonis pidana penjara selama 6 tahun, denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan, dan pidana uang pengganti kerugian negara Rp132.468.197.742 subsider pidana penjara selama 2 tahun. Dalam menjatuhkan vonis, hakim Merry mengajukan perbedaan pendapat (dissenting opinion).
"KPK mengidentifikasi penggunaan sandi dan kode dalam komunikasi di kasus ini seperti pohon yang berarti uang, dan kode untuk nama hakim yakni seperti Ratu Kecantikan. Suap diduga untuk mempengaruhi putusan majelis hakim, agar TS diberikan hukuman yang jauh lebih ringan," ujarnya.
Mantan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) ini mengungkapkan, empat pihak lain yang ditangkap saat ini masih berstatus saksi. Meski begitu Agus menggariskan, diduga masih ada keterlibatan pihak lain atau hakim lain di PN Medan. Hanya saja hingga proses ekspose dilakukan, baru Merry dan Helpandi yang kuat.
"Masih diduga ada yang lain. Proses ini masih berlangsung dan ada kemungkinan pengembangan. Dalam menangani kasus seperti ini kami tidak menargetkan secara khusus untuk PN. Tentu kami prihatin kejadian seperti ini masih terjadi," ucapnya.
Sunarto menyatakan, MA sangat prihatin kejadian sepeti ini masih terulang. Apalagi dalam penangkapan yang dilakukan KPK bahkan turut diamankan Ketua dan Wakil Ketua PN Medan.
Dia menggariskan, MA sebenarnya sejak lama menyampaikan bahwa pihak fokus pada pembenahan sistem, kinerja, dan sumber daya manusia di lingkungan lembaga peradilan dan pengadilan. Sunarto menegaskan, atas penetapan tersangka Merry Purba dan Helpandi maka MA menjatuhkan sanksi kepada keduanya.
"Untuk hakim adhoc dan Panitera Pengganti yang ditetapkan kita berhentikan sementara. Kalau atasan langsung keduanya untuk pencopotan tidak sembarang dilakukan pencopotan. Tim kami masih melakukan pemeriksaan atasan langsung dari kedua tersangka," tegas Sunarto.
Dia menuturkan, untuk dua tersangka yang sudah ditetapkan maka ada dua proses lain yang dilakukan di tahap MA yakni penjatuhan sanksi kode etik hakim dengan sanksi pemberhentian permanen dan proses di Badan Pengawas. Hal yang sama juga berlaku untuk atasan langsung dari kedua tersangka.
"Kalau tidak bersalah kita rehabilitasi. Jadi proses di KPK kami hormati,"
Merry Purba mengakui dirinya adalah hakim yang menangani perkara korupsi atas nama Tamin Sukardi. Merry membenarkan dalam putusan dirinya mengajukan perbedaan pendapat bahwa Tamin tidak terbukti melakukan korupsi.
Tapi Merry mengklaim tidak menerima uang dari siapapun apalagi untuk pengurusan pengurangan putusan Tamin Sukardi. Bahkan dia mengklaim tidak mengenal dan bertemu dengan Tamin untuk pembahasan pengurusan perkara. Bahkan Merry mengaku bingung dengan uang USD130.000 yang disita dari tangan Helpandi.
"Saya enggak tahu, makanya saya bingung. Sampai sekarang saya bingung. Saya enggak kenal (Tamin), perkara aja kan waktu sidang," klaim Merry sebelum menaiki mobil tahan.
(maf)