Manisnya Kearifan Lokal Pakidulan
A
A
A
Kabupaten Lebak, Banten memiliki potensi ekonomi yang masih mengandalkan kearifan lokal. Lebak yang disebut warga setempat dengan Pakidulan ini menyimpan potensi ekonomi secara turun temurun.
Titik awal tempat yang dikunjungi di kawasan Lebak adalah Desa Kerta, Kecamatan Ban jarsari. Desa Kerta berjarak 173 kilometer, ditempuh dalam waktu 4 jam 20 menit dengan mobil, dari Jakarta. Kondisi Desa Kerta tidak seperti yang dibayangkan seperti jalan yang berlubang, becek dengan kubangan ataupun jalan yang bercampur tanah. Kesan kumuh dan terbelakang tentang daerah tersebut akan langsung sirna ketika mendatangi daerah tersebut.
Jalan Raya Saketi Malingping yang membentang di Desa Kerta terlihat sangat mulus sekali karena sudah dibeton. Menjelang subuh atau sekitar pukul 04.00 WIB, Emak Tini, 70, dibantu adik laki-lakinya Jimhedi, 47, dan istri, NengIyah, 49, sibuk di bagian belakang rumahnya. Kesibukan yang selalu terjadi di hari-hari yang lain.
Kesibukan mengolah jenis makanan yang merupakan warisan nenek moyang mereka. Yaitu lemang. Makanan khas Lebak Banten. Lemang terbuat dari beras ketan dengan bumbu garam, santan, bawang merah, dan kacang kedele, yang dimasak di daun pisang dan dimasukkan ke dalam batang bambu lalu dibakar. Usaha ini sudah dijalankan puluhan tahun secara turun temurun. Emak Tini melakoni usaha pembuatan lemang melanjutkan usaha milik almarhumah ibunya. Begitu juga, ibunya menjalani usaha ini meneruskan usaha neneknya.
Usaha rumahan pembuatan lemang ini merupakan kegiatan ekonomi berbasis budaya turun menurun bagi warga Malingping, Lebak, Banten. Emak Tini menceritakan, setiap hari rata-rata membuat 30 hingga 50 ruas (bambu) lemang.
Proses pembuatan lemang membutuhkan waktu cukup lama. Dimulai dari proses membuat racikan bumbu, lalu memasukan ke daun pisang dan dalam bambu hingga dibakar sampai matang, membutuhkan waktu selama 3 jam. Jadi kalau proses pembuatan dimulai pu kul 03.00 WIB maka lemang matang pada pukul 06.00 WiB dan siap dijual di Pasar Malingping yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah Emak Tini. Harga satu lemang berkisar Rp20.000-Rp25.000.
“Lakunya tidak tentu, kadang habis 30 atau 20 lemang, kadang kalau lagi ramai banyak tamu dari daerah luar yang berkunjung ke Malingping maka bisa habis terjual 50 lemang. Untung yang Emak dapat sih tidak banyak, antara Rp100.000-Rp200.000 sehari,” cerita Emak Tini.
Sedangkan di Desa Kersaratu yang berjarak sekitar 30 menit dari Desa Kerta, lebih dikenal sebagai daerah pembuat gula aren atau di Lebak dikenal dengan sebutan gula beureum dengan kualitas terbaik. Perjalanan ke Desa Kersaratu bukanlah perjalan yang mudah. Dibutuhkan kendaraan roda dua atau ojek untuk bisa mencapai daerah tersebut. Jalanan yang masih terjal dan menanjak sulit dilalui mobil. Mak Hajjah Siti, 70, perempuan berperawakan kurus ini tampak sedang merebus air aren di wajan besar dengan api dari kayu bakar, di belakang rumah terbuat dari gedek atau bilik bambu.
Proses pembuatan gula aren cukup panjang. Dimulai dengan mengambil tetesan nira (air) di pohon aren dengan menggunakan bambu besar dinamakan lodong yang ditempatkan di batang pohon aren. Lodong ditaruh sore hari, lalu diambil pagi harinya. Selanjutnya diganti dengan lodong baru yang nantinya diambil lagi pada sore hari berikutnya. Nira yang sudah diambil dari lodong kemudian dituangkan ke wajan ukuran besar yang dipanaskan dengan kayu bakar.
Nira dipanaskan selama 3-6 jam (bergantung sedikit banyaknya nira), hingga mengental. Setelah kental, selanjutnya nira yang sudah mengental hampir jadi gula tersebut dituangkan ke dalam cetakan gula berbentuk seperti papan untuk bermain congklak. Alat pencetak gula ini bernama kojor. Ada pun dalam 1 kojor ada 5 lubang cetakan.
Seperti lemang olahan Emak Tini, Mak Hajjah Siti mengaku usaha ini dijalankan secara turun temurun. Tiap hari dia mem produksi gula aren tidak begitu banyak, paling hanya 1 kojor atau 2 kojor. Ada pun harga 1 kojor Rp50.000. Jadi apabila dia memproduksi 2 kojor maka dalam satu hari Mak Hajjah Siti memperoleh pendapatan Rp100.000. Cucu Mak Hajjah Siti, Adma, 27, lulusan Universitas Math laul Huda Lebak menjelaskan, berbekal pengetahuan yang dia peroleh saat semasa kuliah dulu, kini Adma ikut membantu memasarkan gula aren produksi neneknya tersebut ke marketplace seperti bukalapak, toko pedia, dan olx.
“Saya biasa menjualnya dengan harga Rp75.000 per kojor, harga itu belum termasuk ongkos kirim. Sebab ongkos kirim ditanggung pembeli. Kadang dalam satu kali kirim, pemesanan 5-10 kojor gula aren,” kata Adma. Menurut Adma, para pembeli berasal dari berbagai tempat. Mulai dari lokalan Banten, Jakarta, Bogor, Bandung, bahkan pernah juga kirim Nusa Tenggara Barat (NTB).Untuk melindungi usaha tradisional pembuatan gula aren ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak mengeluarkan sebuah kebijakan larangan penebangan pohon aren produktif. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga produktivitas pohon aren. Selain gula aren yang diproduksi tradisional, Lebak juga mengembangkan gula semut. Yakni gula merah dengan bentuk butiran yang biasa digunakan di hotel-hotel dan café-café.
Produk gula semut itu menembus pasar Australia dan Benua Eropa. Perajin produk gula semut tersebut berkembang di Kecamatan Sobang, Cibeber, Cilograng, Panggarangan dan Cigemblong. Dari 15.372 unit usaha yang ada di Ka bupaten Lebak, di antaranya ada 5.815 usaha gula semut. Ekonomi berbasis kearifan lokal ini bukan hanya pada lemang, gula aren, ataupun gula semut. Keindahan alam dan kekayaan budaya Lebak menjadi daya tarik wisatawan. Sebut saja Pantai Sawarna yang kini menjadi primadona wisata di Lebak. Lalu sejumlah curug yang indah, di antaranya curug Munding di Desa Cicaringin, Gunung Kencana. Belum lagi kekayaan adat budaya Baduy dan Kasepuhan Lebak.
Kunjungan wisatawan ke Lebak pada 2016 tecatat sebanyak 200.000 pengunjung. Pada 2017 jumlah ini meningkat menjadi lebih dari 500.000 pengunjung. Pada 2018 ini diperkirakan kunjungan wisatawan ke Lebak bisa menembus angka 1 juta. Atraksi kesenian khas Lebak yakni pencak silat juga menjadi daya tarik sendiri. Perguruan silat Maung Pancer, Desa Tamansari, Kecamatan Banjarsari, Lebak, di bawah pimpinan Abah Sarí dan Abah Muhammad masih melestarikan warisan budaya ini dan berpotensi untuk menarik wisatawan. Sekretaris Desa Kerta, Banjarsari, Hamdani Ali, mengatakan, warga desanya masih memegang teguh tradisi kesenian pencak silat khas Lebak Banten.
Ada punp ebedaan Silat Lebak dengan silat daerah lainnya adalah terletak pada unsur tambahannya. Silat Lebak memasukkan unsur debus. Hal inilah yang membedakan dengan silat daerah lain. “Atraksi silat biasanya digelar pada saat peringatan harihari besar nasional seperti 17 Agustusan, ada ada acara pemerintahan yang digelar di desa. Kadang juga bila ada hajatan,” ungkap Hamdani. Sementara itu, Wakil Bupati Lebak Ade Sumardi mengatakan, Lebak dianugerahi dengan kekayaan ekonomi dengan kearifan lokal, berbasis budaya, dan juga kekayaan adat istiadat, serta sumber daya alam yang indah. Ada dua adat kebudayaan yang menjadi kekayaan utama di Lebak. Yakni, adat kasepuhan yang ada di selatan Lebak dan kelompok Adat Baduy.
Dua adat tadi merupakan adat luar biasa yang bisa ditiru hal-hal baiknya. “Misalnya soal ketahanan pangan, mereka punya lumbung padi. Sehingga mereka bisa bertahan apabila terjadi krisis pangan. Mereka punya tabungan atau lumbungnya,” kata Ade. Ade mengatakan, untuk menjaga kelestarian budaya Lebak, Pemkab melindungi dengan regulasi-peraturan daerah (perda). Yakni, Perda Hak Ula yat Baduy dan Perda Pengakuan Hak Adat Kasepuhan Lebak.“Jadi budaya yang ada di Kasepuhan dan Baduy serta Lebak secara keseluruhan tidak boleh dirusak oleh siapa pun karena itu merupakan milik bangsa, bukan hanya milik warga adat tersebut. Kita bisa meniru kearifan lokal dari mereka,” pung kas Ade yang juga tokoh Ka sepuhan Lebak.
Titik awal tempat yang dikunjungi di kawasan Lebak adalah Desa Kerta, Kecamatan Ban jarsari. Desa Kerta berjarak 173 kilometer, ditempuh dalam waktu 4 jam 20 menit dengan mobil, dari Jakarta. Kondisi Desa Kerta tidak seperti yang dibayangkan seperti jalan yang berlubang, becek dengan kubangan ataupun jalan yang bercampur tanah. Kesan kumuh dan terbelakang tentang daerah tersebut akan langsung sirna ketika mendatangi daerah tersebut.
Jalan Raya Saketi Malingping yang membentang di Desa Kerta terlihat sangat mulus sekali karena sudah dibeton. Menjelang subuh atau sekitar pukul 04.00 WIB, Emak Tini, 70, dibantu adik laki-lakinya Jimhedi, 47, dan istri, NengIyah, 49, sibuk di bagian belakang rumahnya. Kesibukan yang selalu terjadi di hari-hari yang lain.
Kesibukan mengolah jenis makanan yang merupakan warisan nenek moyang mereka. Yaitu lemang. Makanan khas Lebak Banten. Lemang terbuat dari beras ketan dengan bumbu garam, santan, bawang merah, dan kacang kedele, yang dimasak di daun pisang dan dimasukkan ke dalam batang bambu lalu dibakar. Usaha ini sudah dijalankan puluhan tahun secara turun temurun. Emak Tini melakoni usaha pembuatan lemang melanjutkan usaha milik almarhumah ibunya. Begitu juga, ibunya menjalani usaha ini meneruskan usaha neneknya.
Usaha rumahan pembuatan lemang ini merupakan kegiatan ekonomi berbasis budaya turun menurun bagi warga Malingping, Lebak, Banten. Emak Tini menceritakan, setiap hari rata-rata membuat 30 hingga 50 ruas (bambu) lemang.
Proses pembuatan lemang membutuhkan waktu cukup lama. Dimulai dari proses membuat racikan bumbu, lalu memasukan ke daun pisang dan dalam bambu hingga dibakar sampai matang, membutuhkan waktu selama 3 jam. Jadi kalau proses pembuatan dimulai pu kul 03.00 WIB maka lemang matang pada pukul 06.00 WiB dan siap dijual di Pasar Malingping yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah Emak Tini. Harga satu lemang berkisar Rp20.000-Rp25.000.
“Lakunya tidak tentu, kadang habis 30 atau 20 lemang, kadang kalau lagi ramai banyak tamu dari daerah luar yang berkunjung ke Malingping maka bisa habis terjual 50 lemang. Untung yang Emak dapat sih tidak banyak, antara Rp100.000-Rp200.000 sehari,” cerita Emak Tini.
Sedangkan di Desa Kersaratu yang berjarak sekitar 30 menit dari Desa Kerta, lebih dikenal sebagai daerah pembuat gula aren atau di Lebak dikenal dengan sebutan gula beureum dengan kualitas terbaik. Perjalanan ke Desa Kersaratu bukanlah perjalan yang mudah. Dibutuhkan kendaraan roda dua atau ojek untuk bisa mencapai daerah tersebut. Jalanan yang masih terjal dan menanjak sulit dilalui mobil. Mak Hajjah Siti, 70, perempuan berperawakan kurus ini tampak sedang merebus air aren di wajan besar dengan api dari kayu bakar, di belakang rumah terbuat dari gedek atau bilik bambu.
Proses pembuatan gula aren cukup panjang. Dimulai dengan mengambil tetesan nira (air) di pohon aren dengan menggunakan bambu besar dinamakan lodong yang ditempatkan di batang pohon aren. Lodong ditaruh sore hari, lalu diambil pagi harinya. Selanjutnya diganti dengan lodong baru yang nantinya diambil lagi pada sore hari berikutnya. Nira yang sudah diambil dari lodong kemudian dituangkan ke wajan ukuran besar yang dipanaskan dengan kayu bakar.
Nira dipanaskan selama 3-6 jam (bergantung sedikit banyaknya nira), hingga mengental. Setelah kental, selanjutnya nira yang sudah mengental hampir jadi gula tersebut dituangkan ke dalam cetakan gula berbentuk seperti papan untuk bermain congklak. Alat pencetak gula ini bernama kojor. Ada pun dalam 1 kojor ada 5 lubang cetakan.
Seperti lemang olahan Emak Tini, Mak Hajjah Siti mengaku usaha ini dijalankan secara turun temurun. Tiap hari dia mem produksi gula aren tidak begitu banyak, paling hanya 1 kojor atau 2 kojor. Ada pun harga 1 kojor Rp50.000. Jadi apabila dia memproduksi 2 kojor maka dalam satu hari Mak Hajjah Siti memperoleh pendapatan Rp100.000. Cucu Mak Hajjah Siti, Adma, 27, lulusan Universitas Math laul Huda Lebak menjelaskan, berbekal pengetahuan yang dia peroleh saat semasa kuliah dulu, kini Adma ikut membantu memasarkan gula aren produksi neneknya tersebut ke marketplace seperti bukalapak, toko pedia, dan olx.
“Saya biasa menjualnya dengan harga Rp75.000 per kojor, harga itu belum termasuk ongkos kirim. Sebab ongkos kirim ditanggung pembeli. Kadang dalam satu kali kirim, pemesanan 5-10 kojor gula aren,” kata Adma. Menurut Adma, para pembeli berasal dari berbagai tempat. Mulai dari lokalan Banten, Jakarta, Bogor, Bandung, bahkan pernah juga kirim Nusa Tenggara Barat (NTB).Untuk melindungi usaha tradisional pembuatan gula aren ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak mengeluarkan sebuah kebijakan larangan penebangan pohon aren produktif. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga produktivitas pohon aren. Selain gula aren yang diproduksi tradisional, Lebak juga mengembangkan gula semut. Yakni gula merah dengan bentuk butiran yang biasa digunakan di hotel-hotel dan café-café.
Produk gula semut itu menembus pasar Australia dan Benua Eropa. Perajin produk gula semut tersebut berkembang di Kecamatan Sobang, Cibeber, Cilograng, Panggarangan dan Cigemblong. Dari 15.372 unit usaha yang ada di Ka bupaten Lebak, di antaranya ada 5.815 usaha gula semut. Ekonomi berbasis kearifan lokal ini bukan hanya pada lemang, gula aren, ataupun gula semut. Keindahan alam dan kekayaan budaya Lebak menjadi daya tarik wisatawan. Sebut saja Pantai Sawarna yang kini menjadi primadona wisata di Lebak. Lalu sejumlah curug yang indah, di antaranya curug Munding di Desa Cicaringin, Gunung Kencana. Belum lagi kekayaan adat budaya Baduy dan Kasepuhan Lebak.
Kunjungan wisatawan ke Lebak pada 2016 tecatat sebanyak 200.000 pengunjung. Pada 2017 jumlah ini meningkat menjadi lebih dari 500.000 pengunjung. Pada 2018 ini diperkirakan kunjungan wisatawan ke Lebak bisa menembus angka 1 juta. Atraksi kesenian khas Lebak yakni pencak silat juga menjadi daya tarik sendiri. Perguruan silat Maung Pancer, Desa Tamansari, Kecamatan Banjarsari, Lebak, di bawah pimpinan Abah Sarí dan Abah Muhammad masih melestarikan warisan budaya ini dan berpotensi untuk menarik wisatawan. Sekretaris Desa Kerta, Banjarsari, Hamdani Ali, mengatakan, warga desanya masih memegang teguh tradisi kesenian pencak silat khas Lebak Banten.
Ada punp ebedaan Silat Lebak dengan silat daerah lainnya adalah terletak pada unsur tambahannya. Silat Lebak memasukkan unsur debus. Hal inilah yang membedakan dengan silat daerah lain. “Atraksi silat biasanya digelar pada saat peringatan harihari besar nasional seperti 17 Agustusan, ada ada acara pemerintahan yang digelar di desa. Kadang juga bila ada hajatan,” ungkap Hamdani. Sementara itu, Wakil Bupati Lebak Ade Sumardi mengatakan, Lebak dianugerahi dengan kekayaan ekonomi dengan kearifan lokal, berbasis budaya, dan juga kekayaan adat istiadat, serta sumber daya alam yang indah. Ada dua adat kebudayaan yang menjadi kekayaan utama di Lebak. Yakni, adat kasepuhan yang ada di selatan Lebak dan kelompok Adat Baduy.
Dua adat tadi merupakan adat luar biasa yang bisa ditiru hal-hal baiknya. “Misalnya soal ketahanan pangan, mereka punya lumbung padi. Sehingga mereka bisa bertahan apabila terjadi krisis pangan. Mereka punya tabungan atau lumbungnya,” kata Ade. Ade mengatakan, untuk menjaga kelestarian budaya Lebak, Pemkab melindungi dengan regulasi-peraturan daerah (perda). Yakni, Perda Hak Ula yat Baduy dan Perda Pengakuan Hak Adat Kasepuhan Lebak.“Jadi budaya yang ada di Kasepuhan dan Baduy serta Lebak secara keseluruhan tidak boleh dirusak oleh siapa pun karena itu merupakan milik bangsa, bukan hanya milik warga adat tersebut. Kita bisa meniru kearifan lokal dari mereka,” pung kas Ade yang juga tokoh Ka sepuhan Lebak.
(don)