MUI Bersyukur MK Tolak Judicial Review Jamaah Ahmadiyah
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak seluruhnya permohonan jamaah Ahmadiyah dan menyatakan bahwa pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Hakim MK menyatakan, Undang-Undang Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 45.
Komisi Hukum Perundang-undangan sekaligus Kordinator Kuasa Hukum MUI, Ikhsan Abdullah mengatakan, UUPNPS tetap diperlukan demi menjaga kebebasan penafsiran yang tidak memperhatikan pokok-pokok ajaran agama dengan mengabaikan metodologi penafsiran yang dipergunakan oleh para ahli dan ajaran agama. “Sebaliknya jika permohonan itu dikabulkan maka akan mengundang ketidak jelasan dasar serta keluar dari tujuan diadakannya norma tersebut,” katanya dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Senin (23/7/2018).
Menurutnya, UUPNPS melarang seseorang atau kelompok yang membuat penafsiran sendiri di muka umum dan meminta dukungan umum. Artinya penafsiran terhadap norma dalam agama tertentu harus berbasis pada penafsiran yang diakui kebenarannya oleh para ahli dan penganut agamanya. “Bukan ditafsirkan bebas oleh masing-masing individu lalu kemudian meminta dukungan umum,” lanjutnya.
Keputusan MK tersebut dibacakan, Senin (23/7/2018) pada pukul 10. 39 WIB oleh Ketua Mahkamah Anwar Usnan, bergantian dengan 8 Anggota Mahkamah lainnya. Hadir pula kuasa hukum Presiden dan kuasa hukum DPR. Juga para pihak terkait seperti para kuasa dari LDDI, YLBHI, Komnas Perempuan, dan MUI. Selain Ikhsan Abdullah, dari MUI juga hadir kuasa hukum Erfandi dan Hasbullah.
Lebih lanjut Ikhsan mengatakan, kebebasan menafsirkan ajaran agama tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada individu meskipun memiliki kebebasan. Penafsiran harus dilakukan berdasarkan metode yang disetujui oleh forum internum dan eksternum suatu agama. “Inilah hal penting dalam putusan MK,” ujarnya.
Permohonan jamaah Ahmadiyah disidangkan pertama kali pada 25 Agustus 2017 dan dilakukan 13 kali persidangan. Dalam permohonannya, pemohon menyatakan frasa penodaan agama dalam pasal 1, 2, dan 3 UUPNPS bersifat multi tafsir. Akibatnya hal tersebut seringkali dimanfaatkan untuk menutup tempat ibadah Ahmadiyah. Hal ini dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Ikhsan menilai keputusan ini penting karena bila permohonan dikabulkan maka ia khawatir NKRI akan tercabik-cabik. “Dan penghinaan dan penodaan agama makin marak dilakukan oleh orang-orang yang ingin merusak kerukunan dan persatuan umat dalam kerangka NKRI,” tandasnya. “Alhamdulillah Allah meridhoi kami untuk tetap merawat dan menjaga NKRI dengan instrumen hukum.”
Komisi Hukum Perundang-undangan sekaligus Kordinator Kuasa Hukum MUI, Ikhsan Abdullah mengatakan, UUPNPS tetap diperlukan demi menjaga kebebasan penafsiran yang tidak memperhatikan pokok-pokok ajaran agama dengan mengabaikan metodologi penafsiran yang dipergunakan oleh para ahli dan ajaran agama. “Sebaliknya jika permohonan itu dikabulkan maka akan mengundang ketidak jelasan dasar serta keluar dari tujuan diadakannya norma tersebut,” katanya dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Senin (23/7/2018).
Menurutnya, UUPNPS melarang seseorang atau kelompok yang membuat penafsiran sendiri di muka umum dan meminta dukungan umum. Artinya penafsiran terhadap norma dalam agama tertentu harus berbasis pada penafsiran yang diakui kebenarannya oleh para ahli dan penganut agamanya. “Bukan ditafsirkan bebas oleh masing-masing individu lalu kemudian meminta dukungan umum,” lanjutnya.
Keputusan MK tersebut dibacakan, Senin (23/7/2018) pada pukul 10. 39 WIB oleh Ketua Mahkamah Anwar Usnan, bergantian dengan 8 Anggota Mahkamah lainnya. Hadir pula kuasa hukum Presiden dan kuasa hukum DPR. Juga para pihak terkait seperti para kuasa dari LDDI, YLBHI, Komnas Perempuan, dan MUI. Selain Ikhsan Abdullah, dari MUI juga hadir kuasa hukum Erfandi dan Hasbullah.
Lebih lanjut Ikhsan mengatakan, kebebasan menafsirkan ajaran agama tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada individu meskipun memiliki kebebasan. Penafsiran harus dilakukan berdasarkan metode yang disetujui oleh forum internum dan eksternum suatu agama. “Inilah hal penting dalam putusan MK,” ujarnya.
Permohonan jamaah Ahmadiyah disidangkan pertama kali pada 25 Agustus 2017 dan dilakukan 13 kali persidangan. Dalam permohonannya, pemohon menyatakan frasa penodaan agama dalam pasal 1, 2, dan 3 UUPNPS bersifat multi tafsir. Akibatnya hal tersebut seringkali dimanfaatkan untuk menutup tempat ibadah Ahmadiyah. Hal ini dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Ikhsan menilai keputusan ini penting karena bila permohonan dikabulkan maka ia khawatir NKRI akan tercabik-cabik. “Dan penghinaan dan penodaan agama makin marak dilakukan oleh orang-orang yang ingin merusak kerukunan dan persatuan umat dalam kerangka NKRI,” tandasnya. “Alhamdulillah Allah meridhoi kami untuk tetap merawat dan menjaga NKRI dengan instrumen hukum.”
(poe)