Jaga Rumah Ibadah dari Ujaran Kebencian

Senin, 23 Juli 2018 - 16:47 WIB
Jaga Rumah Ibadah dari Ujaran Kebencian
Jaga Rumah Ibadah dari Ujaran Kebencian
A A A
JAKARTA - Rumah ibadah adalah tempat untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta. Siapa pun yang berada di rumah ibadah seharusnya meneladani sifat-sifat Tuhan yang penuh kasih sayang, pemaaf, penyayang, pemaaf, bukan pendendam, apalagi menebar kebencian dan kemungkaran.

“Saya prihatin bila ada rumah ibadah yang digunakan untuk menyebarkan hate speech (ujaran kebencian-red), kebencian, kedengkian, atau permusuhan. Kalau benar, ini menjadi semacam peringatan bagi kita untuk mengembalikan tempat ibadah itu kepada fungsi utama yaitu mendekatkan diri kepada Sang Maha Kuasa, dan mempererat hubungan sesama manusia,” ujar Ketua Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Maman Imanulhaq di Jakarta, akhir pekan lalu.

Untuk mengembalikan fungsi rumah ibadah seperti masjid, lanjut Maman, masyarakat harus terus diberikan edukasi mengenai fungsi rumah ibadah.

Edukasi ini dinilainya sangat penting. Menurut dia, jika masyarat sudah tercerahkan maka dengan sendirinya menghentikan bila ada oknum atau pemimpin agama yang menjadikan tempat ibadah untuk berbuat hate speech, kebencian, kedengkian, permusuhan.
Kedua, lanjut dia, perlu adanya perbaikan manajemen masjid. Langkah Itu, kata dia, sudah dilakukan oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan beberapa Ormas. Masjid betul-betul berfungsi tidak hanya tempat ibadah, tetapi juga tempat melakukan pemberdayaan masyarakat.

Dalam hal ini, sangat penting untuk melibatkan anak muda dan masyarakat secara luas sehingga masjid tidak kosong. Tanpa pengelola, masjid mudah disusupi kelompok radikal.

Ketiga, kata Maman, perlu dirumuskan kembali tema dalam khutbah Jumat atau Idul Fitri, agar berisi muatan agama yang menjadi spirit transformasi dan perdamaian.

Dengan demikian, sambung dia, diharapkan tidak ada orang yang memanfaatkan khutbah Jumat dan khutbah keagamaan lainnya yang berisi ajakan menjauhkan umat dari nilai ketuhanan.

“Isi khutbah ini harus dirumuskan bersama agar betul-betul berisi nilai keagamaan yang substansional, yaitu tentang nilai kasih sayang, gotong royong, menghargai sesama, dan bagaimana menjadikan agama untuk mendorong manusia menjadi maju, bukan mundur dengan menyuarakan kebencian, apalagi peperangan,” tuturnya.

Terkait keberadaan kelompok radikal dan intoleran, Maman menilai sebenarnya mayoritas umat Islam di Indonesia masih moderat dan toleran. Tapi kelemahannya umat Islam lebih memilih diam, sementara kelompok radikal yang jumlahnya sedikit, bisa masuk secara masif dan militan.

“Saya mengajak agar kelompok moderat ini bangkit, kita kembali ke masjid sebagai tempat untuk mencerdaskan, memberdayakan, dan menguatkan ukhuwah, baik itu islamiyah, wathoniyah (persaudaraan kebangsaan). Kita bersyukur hidup di suatu kawasan NKRI dan dengan kekuatan ukhuwah kita di tengah perbedaan yang ada,” tuturnya.

Sebenarnya, kata dia, bicara apa pun di masjid atau rumah ibadah lainnya boleh saja seperti soal ekonomi, budaya, politik. Yang tidak boleh itu menjadikan masjid sebagai alat politik praktis, sektarian, politik identitas, mudah menyalahkan orang lain.

Menurut dia, masjid seharusnya menjadi tempat efektif untuk melakukan pencerdasan terhadap masyarakat. Sangat disayangkan bila ada orang yang menggunakan tempat ibadah untuk politik praktis untuk kepentingan sesaat.

“Tempat ibadah harus hadir dengan prinsipnya, sebagai tempat bersama untuk merumuskan kemajuan masyarakat, yang mau berubah, bersatu, dan terus menumbuhkan rasa persatuan,” kata mantan anggota Komisi VIII DPR ini.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7056 seconds (0.1#10.140)