OTT KPK, Bupati Labuhanbatu Jadi Tersangka Penerima Suap Rp2 M
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Labuhanbatu, Sumatera Utara Pangonal Harahap sebagai tersangka penerima suap Rp2 miliar dari tersangka pemilik PT Binivan Konstruksi Abadi Effendy Sahputra.
Wakil Ketua KPK Thony Saut Situmorang menyatakan, tim KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Kabupaten Labuhanbatu dan Jakarta pada Selasa 17 Juli 2018 hingga Rabu 18 Juli siang. Ada enam orang yang berhasil ditangkap, sedangkan satu lainnya yakni Umar Ritonga (swasta, perantara) melarikan diri saat akan diciduk tim KPK.
Enam orang yang ditangkap yakni Pangonal Harahap, Effendy Sahputra, Kepala Dinas PUPR Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Khairul Pakhri, H Tamrin Ritonga (swasta), pegawai Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sumatera Utara berinisial H, dan ajudan Pangonal berinisial E. Operasi ini terkait dengan dugaan suap terkait dengan proyek-proyek di lingkungan Pemkab Labuhanbatu tahun anggaran 2018. Salah satunya proyek pembangunan RSUD Rantau Prapat yang ditender pada 2018 dengan menggunakan APBD 2017.
Saut mengungkapkan, setelah menerima laporan masyarakat kemudian KPK melakukan penyelidikan sejak April 2018 akhirnya disusul OTT pada Selasa 17 Juli. Dia menjelaskan, pada Selasa 17 Juli 2018, Effendy mengeluarkan cek Rp576 juta dan meminta H mencairkan uangnya di BPD Sumut. Uang dititipkan di H dan akan diambil Umar Ritonga. Sore harinya orang kepercayaan Effendy berinisial AT melakukan penarikan Rp576. Dari angka ini AT mengambil Rp16 juta dirinya sendiri, kemudian mentransfer Rp61 juta ditransfer ke Effendy, dan Rp500 juta dititipkan AT di bank.
Sekitar pukul 18.15 WIB, Umar ke bank dan mengambil Rp500 juta dari petugas bank dan membawa keluar. Saat tim mengejar Umar, Umar menambrakan mobilnya dan melarikan diri ke kebun kelapa sawit dan rawa-rawa. Umar kabur dengan membawa uang Rp500 juta dalam tas kresek. Sedangkan Pangonal Harahap ditangkap di Jakarta.
Saut menggariskan, dalam OTT ini tim memang belum menyita uang Rp500 juta yang dibawa kabur Umar. Tapi tim berhasil menyita bukti penarikan uang Rp576 juta. Uang tersebut diduga merupakan bagian dari pemenuhan atas permintaan Pangonal sebesar Rp3 miliar. Sebelumnya, tutur dia, sekitar Juli 2018 diduga telah terjadi penyerahan cek Rp1,5 miliar tapi tidak berhasil dicairkan.
Dia memaparkan, uang Rp500 juta yang diterima Pangonal melalui Umar dari Effendy bersumber dari hasil pencairan dana pembayaran proyek pembangunan RSUD Rantau Prapat. Dia menegaskan, meski barang bukti uang tunai belum disita tapi dari keterangan para pihak dan alat bukti lain dengan didasari hasil gelar perkara (ekspose) kemudian kasus ini dinaikan ke penyidikan. Bersamaan dengan itu ditetapkan tiga orang sebagai tersangka.
"Diduga sebagai pemberi ES (Effendy Sahputra) pemilik PT BKA (Binivan Konstruksi Abadi). Diduga sebagai penerima PHH (Pangonal Harahap) selaku Bupati Kabupaten Labuhanbatu periode 2016-2021. Ini hasil ekspose tadi sore," tegas Saut saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu 18 Juli 2018 malam.
Effendy disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor. Pangonal dan Umar dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana. Saut menjelaskan, sebenarnya pada 2017 lalu Kabupaten Labuhanbatu dan Pangonal sebagai Bupati menggandeng KPK dalam bidang pencegahan.
"Tapi PHH (Pangonal) malah masih terima suapp. Dalam tahun 2017 ini saja termasuk OTT kali ini sudah 17 kali OTT yang dilakukan KPK. Dari seluruh OTT ini sudah 15 kepala daerah yang menjadi tersangka termasuk PHH. Sekali lagi KPK mengingatkan ke seluruh kepala daerah dan penyelenggara negara agar menghentikan perbuatan korupsi," ujarnya.
Mantan staf ahli Kepala BIN ini memaparkan, dalam OTT kali ini KPK berhasil mengungkap modus baru yang dilakukan oleh para pelaku yakni modus menitipkan uang dan kode proyek. Kode-kode ini tutur Saut, terbagi tiga bagian. Pertama, para pihak membuat kode yang rumit untuk daftar proyek dan perusahaan mana yang mendapatkan jatah. Kode ini merupakan kombinasi angka dan huruf yang jika secara kasat mata tidak akan terbaca sebagai sebuah datfar jatah dan fee proyek di Labuhanbatu.
Kedua, pihak penerima dan pemberi tidak berada di tempat saat uang berpindah. Ketiga, uang ditarik di jam kantor oleh pihak yang disuruh pemberi di BPD Sumut dan uang dalam plastik kresek malah dititipkan ke petugas bank.
"Cara-cara baru ini dilakukan untuk mengelabui penegak hukum. Kodenya tidak terlalu sulit dengan aritmetika atau algoritma," ujarnya. (Baca Juga: KPK Tangkap Tangan Bupati Labuhanbatu, Rp500 Juta Disita
Saut mengungkapkan, data dokumen berisi kode proyek dan jatah tersebut sudah disita KPK. Dari temuan awal dan hasil pemeriksaan sementara memang diduga ada proyek lain dengan nilai miliaran rupiah yang juga menjadi ladang dugaan penerimaan Pangonal. Bahkan dugaannya memang ada yang pernah dipakai.
"Ada peran dari tim sukses yang bersangkutan (Pangonal) dalam kasus ini. Karena muncul dalam ini (sadapan)," paparnya.
Dia menambahkan, untuk Umar yang masih buron maka KPK mengultimatum yang bersangkutan untuk segara menyerahkan diri. Kepada masyarakat, KPK mengimbau kalau melihat informasi keberadaan Umar atau melihat yang bersangkutan maka bisa dilaporkan langsung ke KPK.
"Terhadap UMR, KPK memberikan peringatan keras agar segera menyerahkan diri ke KPK," ucapnya.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menambahkan, penetapan Pangonal Harahap, Umar Ritonga, dan Effendy Sahputra sebagai tersangka sebelum ada penyitaan uang tunai Rp500 juta tidaklah menjadi masalah. Yang jelas semua alat bukti sudah cukup dan lengkap. Febri mengungkapkan, untuk Pangonal saat ini sudah di KPK dan Effendy masih berada di Sumut.
"Tersangka PHH akan ditahan selepas pemeriksaan. Yang bersangkutan ditahan di Rutan Cabang KPK di gedung penunjang pada Gedung Merah Putih KPK. Untuk ES (Effendy) akan menyusul, karena masih berada di Sumut," tegas Febri.
Wakil Ketua KPK Thony Saut Situmorang menyatakan, tim KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Kabupaten Labuhanbatu dan Jakarta pada Selasa 17 Juli 2018 hingga Rabu 18 Juli siang. Ada enam orang yang berhasil ditangkap, sedangkan satu lainnya yakni Umar Ritonga (swasta, perantara) melarikan diri saat akan diciduk tim KPK.
Enam orang yang ditangkap yakni Pangonal Harahap, Effendy Sahputra, Kepala Dinas PUPR Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Khairul Pakhri, H Tamrin Ritonga (swasta), pegawai Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sumatera Utara berinisial H, dan ajudan Pangonal berinisial E. Operasi ini terkait dengan dugaan suap terkait dengan proyek-proyek di lingkungan Pemkab Labuhanbatu tahun anggaran 2018. Salah satunya proyek pembangunan RSUD Rantau Prapat yang ditender pada 2018 dengan menggunakan APBD 2017.
Saut mengungkapkan, setelah menerima laporan masyarakat kemudian KPK melakukan penyelidikan sejak April 2018 akhirnya disusul OTT pada Selasa 17 Juli. Dia menjelaskan, pada Selasa 17 Juli 2018, Effendy mengeluarkan cek Rp576 juta dan meminta H mencairkan uangnya di BPD Sumut. Uang dititipkan di H dan akan diambil Umar Ritonga. Sore harinya orang kepercayaan Effendy berinisial AT melakukan penarikan Rp576. Dari angka ini AT mengambil Rp16 juta dirinya sendiri, kemudian mentransfer Rp61 juta ditransfer ke Effendy, dan Rp500 juta dititipkan AT di bank.
Sekitar pukul 18.15 WIB, Umar ke bank dan mengambil Rp500 juta dari petugas bank dan membawa keluar. Saat tim mengejar Umar, Umar menambrakan mobilnya dan melarikan diri ke kebun kelapa sawit dan rawa-rawa. Umar kabur dengan membawa uang Rp500 juta dalam tas kresek. Sedangkan Pangonal Harahap ditangkap di Jakarta.
Saut menggariskan, dalam OTT ini tim memang belum menyita uang Rp500 juta yang dibawa kabur Umar. Tapi tim berhasil menyita bukti penarikan uang Rp576 juta. Uang tersebut diduga merupakan bagian dari pemenuhan atas permintaan Pangonal sebesar Rp3 miliar. Sebelumnya, tutur dia, sekitar Juli 2018 diduga telah terjadi penyerahan cek Rp1,5 miliar tapi tidak berhasil dicairkan.
Dia memaparkan, uang Rp500 juta yang diterima Pangonal melalui Umar dari Effendy bersumber dari hasil pencairan dana pembayaran proyek pembangunan RSUD Rantau Prapat. Dia menegaskan, meski barang bukti uang tunai belum disita tapi dari keterangan para pihak dan alat bukti lain dengan didasari hasil gelar perkara (ekspose) kemudian kasus ini dinaikan ke penyidikan. Bersamaan dengan itu ditetapkan tiga orang sebagai tersangka.
"Diduga sebagai pemberi ES (Effendy Sahputra) pemilik PT BKA (Binivan Konstruksi Abadi). Diduga sebagai penerima PHH (Pangonal Harahap) selaku Bupati Kabupaten Labuhanbatu periode 2016-2021. Ini hasil ekspose tadi sore," tegas Saut saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu 18 Juli 2018 malam.
Effendy disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor. Pangonal dan Umar dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana. Saut menjelaskan, sebenarnya pada 2017 lalu Kabupaten Labuhanbatu dan Pangonal sebagai Bupati menggandeng KPK dalam bidang pencegahan.
"Tapi PHH (Pangonal) malah masih terima suapp. Dalam tahun 2017 ini saja termasuk OTT kali ini sudah 17 kali OTT yang dilakukan KPK. Dari seluruh OTT ini sudah 15 kepala daerah yang menjadi tersangka termasuk PHH. Sekali lagi KPK mengingatkan ke seluruh kepala daerah dan penyelenggara negara agar menghentikan perbuatan korupsi," ujarnya.
Mantan staf ahli Kepala BIN ini memaparkan, dalam OTT kali ini KPK berhasil mengungkap modus baru yang dilakukan oleh para pelaku yakni modus menitipkan uang dan kode proyek. Kode-kode ini tutur Saut, terbagi tiga bagian. Pertama, para pihak membuat kode yang rumit untuk daftar proyek dan perusahaan mana yang mendapatkan jatah. Kode ini merupakan kombinasi angka dan huruf yang jika secara kasat mata tidak akan terbaca sebagai sebuah datfar jatah dan fee proyek di Labuhanbatu.
Kedua, pihak penerima dan pemberi tidak berada di tempat saat uang berpindah. Ketiga, uang ditarik di jam kantor oleh pihak yang disuruh pemberi di BPD Sumut dan uang dalam plastik kresek malah dititipkan ke petugas bank.
"Cara-cara baru ini dilakukan untuk mengelabui penegak hukum. Kodenya tidak terlalu sulit dengan aritmetika atau algoritma," ujarnya. (Baca Juga: KPK Tangkap Tangan Bupati Labuhanbatu, Rp500 Juta Disita
Saut mengungkapkan, data dokumen berisi kode proyek dan jatah tersebut sudah disita KPK. Dari temuan awal dan hasil pemeriksaan sementara memang diduga ada proyek lain dengan nilai miliaran rupiah yang juga menjadi ladang dugaan penerimaan Pangonal. Bahkan dugaannya memang ada yang pernah dipakai.
"Ada peran dari tim sukses yang bersangkutan (Pangonal) dalam kasus ini. Karena muncul dalam ini (sadapan)," paparnya.
Dia menambahkan, untuk Umar yang masih buron maka KPK mengultimatum yang bersangkutan untuk segara menyerahkan diri. Kepada masyarakat, KPK mengimbau kalau melihat informasi keberadaan Umar atau melihat yang bersangkutan maka bisa dilaporkan langsung ke KPK.
"Terhadap UMR, KPK memberikan peringatan keras agar segera menyerahkan diri ke KPK," ucapnya.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menambahkan, penetapan Pangonal Harahap, Umar Ritonga, dan Effendy Sahputra sebagai tersangka sebelum ada penyitaan uang tunai Rp500 juta tidaklah menjadi masalah. Yang jelas semua alat bukti sudah cukup dan lengkap. Febri mengungkapkan, untuk Pangonal saat ini sudah di KPK dan Effendy masih berada di Sumut.
"Tersangka PHH akan ditahan selepas pemeriksaan. Yang bersangkutan ditahan di Rutan Cabang KPK di gedung penunjang pada Gedung Merah Putih KPK. Untuk ES (Effendy) akan menyusul, karena masih berada di Sumut," tegas Febri.
(mhd)