Gerindra Klaim Koalisi Sepakati Prabowo
A
A
A
JAKARTA - Partai Gerindra memastikan salah satu kesepakatan koalisi dengan PKS dan PAN adalah mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres).
Namun, kesepakatan tersebut masih bersifat lisan dan belum dilakukan secara tertulis. Hingga saat ini, peta dukungan parpol dalam Pilpres 2019 terbagi dalam dua poros besar yakni koalisi pendukung Joko Widodo (Jokowi) dan penantang Jokowi. Setidaknya ada enam parpol pemilik suara yang resmi mendukung Jokowi, yakni PDI Perjuangan, Golkar, PKB, PPP, NasDem, dan Hanura.
Sementara penantang Jokowi yang telah mendeklarasikan koalisi mereka yakni Gerindra, PKS, dan PAN. Kesepakatan koalisi tiga parpol ini terjadi setelah pertemuan tiga elite parpol di rumah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Sabtu (14/7).
Meskipun secara formal belum menyepakati nama calon wakil presiden (cawapres) yang akan diusung, namun nama capres telah mengerucut kepada nama Prabowo Subianto. “Gerindra, PAN, dan PKS telah menyepakati secara lisan bahwa Prabowo akan menjadi capres yang akan diusung dalam Pilpres 2019,” ucap Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani di Jakarta kemarin.
Dia mengungkapkan, dalam pertemuan antara Prabowo sebagai ketum Gerindra, Presiden PKS Sohibul Iman, dan Ketum PAN Zulkifli Hasan di Kertanegara sudah mulai mengerucut pada pembicaraan tentang capres dan cawapres. Mereka secara lisan memang sepakat bahwa Prabowo merupakan calon presidennya.
“Wakil presidennya kita tahu semua memang belum ada. Bahwa kesepakatan diskusi itu belum menghasilkan sebuah formula politik, iya. Tapi, omongan itu sebagai sebuah dasar bagi perbaikan bangsa,” kata Muzani di Gedung DPR.
Terkait belum ada deklarasi koalisi, Muzani berujar bahwa pihaknya harus punya kalkulasi lebih matang karena berkaca pada pengalaman di Pemilu 2014. Pihaknya menyadari bahwa kekuatan yang terbatas serta sumber yang terbatas sehingga semuanya harus diperhitungkan secara matang agar gerakan ganti presiden bisa direalisasikan.
“Bisa mengganti presiden, bisa mengalahkan incumbent, itu harus dihitung betul. Itu perlu waktu, perlu kesabaran, perlu kecermatan, perlu kematangan itu,” ungkapnya.
Sementara dalam pertemuan dengan jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prabowo Subianto menegaskan akan mendengarkan masukan sejumlah pihak dalam menentukan pendampingnya sebagai cawapres, termasuk dari kalangan Nadhliyin.
“Saya tidak mungkin memilih cawapres yang tidak terima oleh NU,” ujar Prabowo di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta.
Dia menegaskan, sebagai organisasi masyarakat keislaman terbesar di Indonesia, PBNU telah membuktikan banyak memberikan kontribusi positif bagi kehidupan bangsa. NU telah banyak melakukan berbagai kegiatan positif untuk menjaga kesatuan NKRI dan berkembangnya Islam damai di Tanah Air.
“Komitmen NU terhadap kebangsaan dan Islam yang damai tidak diragukan lagi. Makanya saya bangga dengan NU,” tegas Prabowo.
Sementara itu, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengatakan, kehadiran Prabowo Subianto merupakan bentuk silaturahmi sebagai sesama anak bangsa. Apalagi, mantan Pangkostrad tersebut telah lama tidak berkunjung ke Kantor PBNU. Silaturahmi ini, kata Kiai Said, bukan untuk politik praktis, melainkan guna menjalin silatul afkar atau bertukar pemikiran.
“Prabowo sudah lama belum silaturahmi ke PBNU,” ujarnya. Dalam kesempatan tersebut, Kiai Said menegaskan dirinya tidak bisa digunakan untuk mendukung politik.
“Toh, semua orang tahu bahwa saya bukan ketua partai politik. Oleh karena bukan partai politik, tidak bisa digunakan untuk mendukung-dukung politik,” ucapnya.
Lebih lanjut, Kiai Said juga menyatakan bahwa NU menolak dengan tegas jika agama dijadikan alat politik. “Sikap NU tegas menolak ketika agama jadi alat politik,” katanya menceritakan apa yang ia sampaikan kepada Prabowo, “Apa pun alasannya, agama tidak boleh jadi alat politik,” lanjutnya.
Demokrat Diprediksi Merapat ke Jokowi
Sementara itu, sikap Demokrat yang belum menentukan sikap dalam peta dukungan pilpres dinilai sebagai upaya mendapatkan posisi politik paling menguntungkan. Apalagi Gerindra, PAN, dan PKS telah bersepakat untuk berkoalisi serta langkah PKB yang mendukung Jokowi kian menutup peluang terbentuknya poros koalisi alternatif.
Pengamat politik Yunarto Wijaya mengatakan, ketika PKB memutuskan mendukung Jokowi, otomatis poros ketiga mustahil terbentuk. Karena itu, tak ada pilihan lain bagi Demokrat selain bergabung ke koalisi pendukung Jokowi atau keporos kedua bersama Prabowo.
“Saya melihat dengan kondisi yang ada sekarang, Demokrat bisa saja bergabung ke kubu Jokowi namun harus mengorbankan harga tertinggi untuk posisi cawapres karena sepertinya itu tidak mungkin. Maka jika Demokrat gabung ke kubu Jokowi maka nilai tawarnya hanya ada di pembagian komposisi kabinet.
Melihat SBY (Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang bukan risk taker maka bergabung dengan kubu Jokowi bisa menjadi pilihan,” tutur Yunarto yang juga Direktur Eksekutif Charta Politika ini kepada KORAN SINDO kemarin.
Menurut Toto, sapaan akrab Yunarto, konsekuensi bagi Partai Demokrat yang selama ini memilih “bermain aman” dengan tidak berada di kubu pemerintahan maupun oposisi membuat nilai tawarnya berkurang. Karena itu, menurut Toto, secara teknis lebih mudah bergabung ke kubu Jokowi.
Namun jika berpikir ambisius, sebaiknya bergabung ke kubu Prabowo dengan menjadikan Ketua Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) calon wakil presiden (cawapres).
“Itu kalau Prabowo mau. Pertanyaannya kemudian PKS akan ditempatkan di mana kalau Prabowo menggandeng AHY sebagai cawapres,” tuturnya. (Kiswondari/Abdul Rochim)
Namun, kesepakatan tersebut masih bersifat lisan dan belum dilakukan secara tertulis. Hingga saat ini, peta dukungan parpol dalam Pilpres 2019 terbagi dalam dua poros besar yakni koalisi pendukung Joko Widodo (Jokowi) dan penantang Jokowi. Setidaknya ada enam parpol pemilik suara yang resmi mendukung Jokowi, yakni PDI Perjuangan, Golkar, PKB, PPP, NasDem, dan Hanura.
Sementara penantang Jokowi yang telah mendeklarasikan koalisi mereka yakni Gerindra, PKS, dan PAN. Kesepakatan koalisi tiga parpol ini terjadi setelah pertemuan tiga elite parpol di rumah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Sabtu (14/7).
Meskipun secara formal belum menyepakati nama calon wakil presiden (cawapres) yang akan diusung, namun nama capres telah mengerucut kepada nama Prabowo Subianto. “Gerindra, PAN, dan PKS telah menyepakati secara lisan bahwa Prabowo akan menjadi capres yang akan diusung dalam Pilpres 2019,” ucap Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani di Jakarta kemarin.
Dia mengungkapkan, dalam pertemuan antara Prabowo sebagai ketum Gerindra, Presiden PKS Sohibul Iman, dan Ketum PAN Zulkifli Hasan di Kertanegara sudah mulai mengerucut pada pembicaraan tentang capres dan cawapres. Mereka secara lisan memang sepakat bahwa Prabowo merupakan calon presidennya.
“Wakil presidennya kita tahu semua memang belum ada. Bahwa kesepakatan diskusi itu belum menghasilkan sebuah formula politik, iya. Tapi, omongan itu sebagai sebuah dasar bagi perbaikan bangsa,” kata Muzani di Gedung DPR.
Terkait belum ada deklarasi koalisi, Muzani berujar bahwa pihaknya harus punya kalkulasi lebih matang karena berkaca pada pengalaman di Pemilu 2014. Pihaknya menyadari bahwa kekuatan yang terbatas serta sumber yang terbatas sehingga semuanya harus diperhitungkan secara matang agar gerakan ganti presiden bisa direalisasikan.
“Bisa mengganti presiden, bisa mengalahkan incumbent, itu harus dihitung betul. Itu perlu waktu, perlu kesabaran, perlu kecermatan, perlu kematangan itu,” ungkapnya.
Sementara dalam pertemuan dengan jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prabowo Subianto menegaskan akan mendengarkan masukan sejumlah pihak dalam menentukan pendampingnya sebagai cawapres, termasuk dari kalangan Nadhliyin.
“Saya tidak mungkin memilih cawapres yang tidak terima oleh NU,” ujar Prabowo di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta.
Dia menegaskan, sebagai organisasi masyarakat keislaman terbesar di Indonesia, PBNU telah membuktikan banyak memberikan kontribusi positif bagi kehidupan bangsa. NU telah banyak melakukan berbagai kegiatan positif untuk menjaga kesatuan NKRI dan berkembangnya Islam damai di Tanah Air.
“Komitmen NU terhadap kebangsaan dan Islam yang damai tidak diragukan lagi. Makanya saya bangga dengan NU,” tegas Prabowo.
Sementara itu, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengatakan, kehadiran Prabowo Subianto merupakan bentuk silaturahmi sebagai sesama anak bangsa. Apalagi, mantan Pangkostrad tersebut telah lama tidak berkunjung ke Kantor PBNU. Silaturahmi ini, kata Kiai Said, bukan untuk politik praktis, melainkan guna menjalin silatul afkar atau bertukar pemikiran.
“Prabowo sudah lama belum silaturahmi ke PBNU,” ujarnya. Dalam kesempatan tersebut, Kiai Said menegaskan dirinya tidak bisa digunakan untuk mendukung politik.
“Toh, semua orang tahu bahwa saya bukan ketua partai politik. Oleh karena bukan partai politik, tidak bisa digunakan untuk mendukung-dukung politik,” ucapnya.
Lebih lanjut, Kiai Said juga menyatakan bahwa NU menolak dengan tegas jika agama dijadikan alat politik. “Sikap NU tegas menolak ketika agama jadi alat politik,” katanya menceritakan apa yang ia sampaikan kepada Prabowo, “Apa pun alasannya, agama tidak boleh jadi alat politik,” lanjutnya.
Demokrat Diprediksi Merapat ke Jokowi
Sementara itu, sikap Demokrat yang belum menentukan sikap dalam peta dukungan pilpres dinilai sebagai upaya mendapatkan posisi politik paling menguntungkan. Apalagi Gerindra, PAN, dan PKS telah bersepakat untuk berkoalisi serta langkah PKB yang mendukung Jokowi kian menutup peluang terbentuknya poros koalisi alternatif.
Pengamat politik Yunarto Wijaya mengatakan, ketika PKB memutuskan mendukung Jokowi, otomatis poros ketiga mustahil terbentuk. Karena itu, tak ada pilihan lain bagi Demokrat selain bergabung ke koalisi pendukung Jokowi atau keporos kedua bersama Prabowo.
“Saya melihat dengan kondisi yang ada sekarang, Demokrat bisa saja bergabung ke kubu Jokowi namun harus mengorbankan harga tertinggi untuk posisi cawapres karena sepertinya itu tidak mungkin. Maka jika Demokrat gabung ke kubu Jokowi maka nilai tawarnya hanya ada di pembagian komposisi kabinet.
Melihat SBY (Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang bukan risk taker maka bergabung dengan kubu Jokowi bisa menjadi pilihan,” tutur Yunarto yang juga Direktur Eksekutif Charta Politika ini kepada KORAN SINDO kemarin.
Menurut Toto, sapaan akrab Yunarto, konsekuensi bagi Partai Demokrat yang selama ini memilih “bermain aman” dengan tidak berada di kubu pemerintahan maupun oposisi membuat nilai tawarnya berkurang. Karena itu, menurut Toto, secara teknis lebih mudah bergabung ke kubu Jokowi.
Namun jika berpikir ambisius, sebaiknya bergabung ke kubu Prabowo dengan menjadikan Ketua Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) calon wakil presiden (cawapres).
“Itu kalau Prabowo mau. Pertanyaannya kemudian PKS akan ditempatkan di mana kalau Prabowo menggandeng AHY sebagai cawapres,” tuturnya. (Kiswondari/Abdul Rochim)
(nfl)