Kapabilitas Calon Menjadi Magnet Dalam Pilkada

Jum'at, 06 Juli 2018 - 14:03 WIB
Kapabilitas Calon Menjadi...
Kapabilitas Calon Menjadi Magnet Dalam Pilkada
A A A
Lia Anggia Nasution
Tenaga Pengajar di Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan (STIK-P) MedanPenyelenggaraan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sumatera Utara pada 27 Juni lalu menarik untuk dikaji. Hal ini disebabkan tingkat partisipasi politik masyarakat untuk ikut ambil bagian dalam pesta demokrasi tersebut cukup tinggi.

KPU Sumut merilis penyelenggaraan pilgub kali ini meningkat tajam 16 persen. Dibanding pilgub 2013 lalu. Berdasarkan data dari KPU Sumut, pilgub 2018, partisipasi masyarakat mencapai 63,03 persen. Sementara dalam pilgub 2013 sebanyak 47 persen.Lalu, pilgub 2008 sebanyak 54 persen.

Tingginya partisipasi masyarakat ini tentunya tidak terlepas dari kapabilitas calon yang menjadi magnet dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Pasangan calon ini dapat disebut merupakan komunikator politik.

Dan Nimmo dalam bukunya Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan dan Media ; 1989, menyebutkan ada tipologi komunikator politik yang disebutnya sebagai komunikator kunci (key communicators) yakni meliputi politisi, komunikator professional dan aktivis.

Disebutkan Dan Nimmo, Politikus adalah merupakan orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, tidak peduli dipilih, ditunjuk atau pejabat karier dan tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif maupuun yudikatif.

Professional adalah orang-orang yang mencari nafkahnya dengan berkomunikasi, karena keahliannya berkomunikasi seperti pengamat politik dan lainnya. Sementara aktivis adalah komunikator politik utama yang bertindak sebagai saluran organisasional dan interpersonal seperti LSM dan kelompok penekan di kalangan masyarakat. Pendapat Nimmo ini banyak dikaitkan dengan kemampuan komunikator politik sebagai pemimpin opini dalam membentuk atau mempengaruhi opini publik.

Senada dengan Dan Nimmo, Menurut Hafied Cangara dalam bukunya Komunikasi Politik, Konsep, Teori dan Stretegi, 2011, komunikator politik adalah mereka-mereka yang dapat memberi informasi tentang hal-hal yang mengandung makna atau bobot politik, misalnya presiden, menteri, anggota DPR, MPR, gubernur, bupati/wali kota, DPRD, politisi, LSM serta kelompok penekan dalam masyarakat yang bisa mempengaruhi jalannya pemerintahan.

Sebagai ujung tombak aktivitas politik, tentu saja komunikator politik harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik secara verbal maupun nonverbal. Ia harus dapat menyampaikan gagasan kepada publik dengan baik. Pesannya harus mudah diterima oleh publik. Ia juga harus memiliki lobi politik. Selain itu, seorang komunikator politik juga tidak bisa hanya mengandalkan berbicara saja karena penampilan fisik, berpakaian, mimik muka, gerakan tangan dan cara berjalan pun merupakan bentuk komunikasi non verbal yang sama pentingnya.

Dalam Pilgub Sumut 2018 , peran pasangan calon sebagai komunikator politik cukup signifikan menarik magnet masyarakat untuk datang ke TPS dan memilih. Hal ini dapat dilihat magnet kedua pasangan calon yakni Edy Rahmayadi- Musa Rajeckshah serta paslon Djarot Saiful Hidayat- Sihar Sitorus menjadi fenomena baru di kalangan masyarakat. Meskipun hanya dua paslon yang bertarung, namun partisipasi masyarakat meningkat tajam.

Sementara kalau kita lihat dari pilgub sebelumnya, paslon yang bertarung cukup ramai. Pada Pilgub 2013 ada 5 paslon yakni Gatot Pujo Nugroho-Erry Nuradi; Effendi Simbolon- Djumiran Abdi; Gus Irawan Pasaribu- Soekirman; Amri Tambunan- RE Nainggolan; dan pasangan Chairuman Harahap- Fadly Nursal.

Begitu juga pada Pilgub 2008, terdapat lima paslon yakni pasangan Ali Umri-Maratua Simanjuntak; Tritamtomo- Sahala Benny Pasaribu; RE Siahaan-Suherdi; Abdul Wahab Dalimunthe-Raden Muhammad Syafii; dan Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho.

Menjadi komunikator politik tentunya tidak gampang. Dan Nimmo menyebutkan, kebanyakan politisi mendapatkan kesulitan besar untuk bisa dikenal bahkan untuk mempunyai citra. Kalau dilihat dari track record kedua paslon dalam Pilgubsu 2018, keduanya cukup popular di kalangan masyarakat.

Edy Rahmayadi memiliki latar belakang sebagai seorang perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang ditugaskan menjadi Pangkostrad menggantikan Jenderal TNI Mulyono yang telah menjadi KSAD. Tak hanya itu, Edy Rahmayadi juga Ketua Umum PSSI untuk periode 2016-2020.

Begitu juga dengan latar belakang Djarot Syaiful Hidayat. Lelaki berkaca mata ini juga popular bagi masyarakat karena sebelumnya dia pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta priode 2014-2017. Sebelumnya, dia juga pernah menjabat sebagai Wali Kota Blitar untuk periode 2000-2005. Ia dipercaya rakyat Blitar untuk memimpin bahkan selama 2 periode. Setelah itu Djarot mencoba peruntungannya di DPR. Dia pernah menjadi anggota DPR RI periode 2014-2019.

Kepopuleran kedua pasangan calon ini ditambah sosok pasangan wakilnya yang keduanya masih muda, energik dan berprestasi tentu menjadi daya pikat bagi masyarakat untuk mau menggunakan hak pilihnya. Kemampuan berkomunikasi yang baik, pengalaman latar belakang yang mumpuni hingga program-program yang menyentuh masyarakat tentu saja menjadi pesan politik yang selebihnya menjadi magnet bagi masyarakat terhadap Pilgub Sumut 2018.
Menghadapi Pileg 2019

Berkaca dari penyelenggaraan Pilgub Sumut 2018 ini, maka peran komunikator politik sangat penting. Ditambah lagi dengan aturan KPU yang baru kalau calon legislative juga harus memiliki latar belakang yang bersih dari korupsi.

Artinya, komunikator politik dalam Pileg tidak hanya harus populer dan dikenal dekat bagi masyarakat, memiliki program yang benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat, namun juga harus memiliki latar belakang yang bersih dan baik.

Hal ini termaktub dalam Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, khususnya pasal 7 ayat 1 huruf g dan h, bahwa bakal calon tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun dan bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak atau korupsi.

Akhirul kalam, selamat bertarung bagi calon legislatif. Semoga aturan ini akan melahirkan dan meningkatkan kapabilitas calon legislatif ke depan. Sehingga semakin mencerminkan kualitas Pemilu yang lebih baik dengan partisipasi masyarakat yang antusias. Sehingga kita dapat menggenggam harapan untuk melahirkan pemimpin yang baik pula.
(vhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1142 seconds (0.1#10.140)