Parpol Kritisi Edaran KPU Soal Daftar Rumah Sakit
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah partai politik (parpol) mengkritisi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang membuat Surat Edaran tentang daftar rumah sakit terakreditasi untuk bakal calon legislatif (bacaleg) mendapatkan surat keterangan kesehatan dan bebas narkoba sebagai syarat pencalonan. Bagi parpol, daftar itu justru mempersulit karena bacaleg hanya bisa menggunakan jasa fasilitas kesehatan (faskes) tertentu saja, khususnya bagi bacaleg di luar pulau Jawa.
Kritik ini disampaikan oleh Partai Gerindra, PKB dan Partai Demokrat. Mereka mengeluhkan pembatasan faskes untuk bacaleg melakukan tes kesehatan,terlebih sudah banyak bacaleg yang sudah terlanjur melakukan tes kesehatan sejak 2 pekan lalu.
"Dulu di puskesmas bisa, di klinik bisa. Kalau 2014 lalu diperbolehkan di puskesmas dan klinik, yang penting hasil keterangan sehat jasmani dan bebas narkoba dipertangungjawabkan," kata Ketua DPP Partai Gerindra Moh Nizar Zahro kepada KORAN SINDO di Jakarta, kemarin.
Menurut Nizar, dengan adanya daftar RS itu tentu saja memberatkan bacaleg karena, faskesnya dibatasi kepada RS yang ada di daftar saja. Mungkin untuk bacaleg di pulau Jawa tidak masalah karena RS rujukannya banyak, tapi bagi bacaleg di luar Jawa dengan jarak yang jauh dan medan yang sulit, tentu saja sangat memberatkan.
"Tolong diberi kemudahan agar tidak memberatkan para caleg, yang penting hasilnya sama-sama bisa dipertanggungjawabkan," imbuhnya.
Menurut Anggota Komisi X itu, baiknya bacaleg diberikan kebebasan untuk melakukan tes kesehatan mereka, yang penting faskes itu sudah berizin dan bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Karena akreditasi faskes itu juga akan dipertaruhkan. Dan KPU tidak boleh menolak itu meski tidak dari daftar RS dalam edaran.
"Jadi, KPU memang perlu membantu memajukan rumah sakit pemerintah, tapi tidak menafikan atau menganaktirikan rumah sakit swasta atau klinik. Intinya, diberikan kesempatan sama (semua faskes) dan tidak menyulitkan caleg," ujarnya.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP PKB Daniel Johan mengatakan, jika RS dibatasi tentu saja bacaleg menjadi keberatan dan sulit dalam memenuhi persyaratan sebagai caleg. Karena, RS dibatasi dan hanya RS tertentu saja yang bisa dijadikan rujukan bacaleg.
"Karena jadi terlalu rame, kumpulnya caleg jadi di rumah sakit itu aja," kata Daniel saat dihubungi.
Selain itu, lanjut Daniel, sudah banyak bacaleg yang mengurus surat keterangan sehat dan bebas narkoba ini sejak dua pekan lalu. Tentu saja banyak di antaranya di rumah sakit atau faskes yang tidak ada dalam daftar surat edaran KPU.
Karena itu, Daniel meminta agar KPU tidak berpatokan pada daftar itu. Karena semakinterbatas jumlahnya akan semakin mempersulit. Yang terpenting RS atau faskes itu diakui oleh pemerintah dan memiliki izin resmi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
"Ikuti saja undang-undang terkait tentang rumah sakit yang diakui pemerintah," ujarnya.
Ketua DPP Partai Demokrat Herman Khaeron mengatakan, terbitnya surat edaran KPU RI tertanggal 30 Juni 2018 yang terkait dengan daftar RS terakreditasi KPU sebagai bagian tidak terpisahkan dari PKPU Pencalonan Legislatif belum disertai penjelasan yang gamblang. Misalnya, apakah dengan lahirnya surat edaran ini tidak mengakui keberadaan RS pemerintah ainnya, dan apakah tidak layak RS di luar daftar akreditasi KPU sebagai lembaga kesehatan yang selama ini melayani rakyat.
"Kenapa Rumah Sakit Gatot Subroto dan Polri tidak masuk dalam daftar itu? Bagi saya penuh tanda tanya dan tidak paham dengan keputusan KPU ini," kata pria yang akrab disapa Hero itu dalam siaran pers yang diterima KORAN SINDO di Jakarta, kemarin.
Kemudian, lanjut dia, surat edaran ini terbitnya terlambat karena sebagian besar bacaleg sudah memproses surat keterangan sehat jasmani, rohani, dan surat keterangan bebas narkoba yang mungkin di luar daftar RS terakreditasi KPU, serta sudah mendaftar di partainya masing-masing. Jadi, peraturan ini diskriminatif, tidak tepat dan membuat stigma negatif untuk rumah sakit pemerintah lainnya. Sementara bagi caleg, akses terhadap rumah sakit terakreditasi KPU semakin jauh, padahal masih banyak persyaratan lain yang mesti dipenuhu.
"Kalaupun dasar pemikirnnya agar hasil tes kesehatan berkualitas, semestinya masih banyak rumah sakit swasta juga bisa dipake rujukan KPU," ujarnya.
Karena itu, Heri menegaskan, baiknya KPU mengembalikan saja kepada peraturan sebelumnya, yaitu cukup diatur dengan tes kesehatan jasmani dan rohani, serta tes bebas narkoba caleg dilakukan di RS pemerintah, toh pileg sebelumnya dan pilkada serentak yang baru lalu juga pake aturan itu.
"Jadi atas argumentasi tersebut, sebaiknya surat edaran tersebut di cabut dan dibatalkan dan kembali kepada peraturan sebelumnya," katanya.
Kritik ini disampaikan oleh Partai Gerindra, PKB dan Partai Demokrat. Mereka mengeluhkan pembatasan faskes untuk bacaleg melakukan tes kesehatan,terlebih sudah banyak bacaleg yang sudah terlanjur melakukan tes kesehatan sejak 2 pekan lalu.
"Dulu di puskesmas bisa, di klinik bisa. Kalau 2014 lalu diperbolehkan di puskesmas dan klinik, yang penting hasil keterangan sehat jasmani dan bebas narkoba dipertangungjawabkan," kata Ketua DPP Partai Gerindra Moh Nizar Zahro kepada KORAN SINDO di Jakarta, kemarin.
Menurut Nizar, dengan adanya daftar RS itu tentu saja memberatkan bacaleg karena, faskesnya dibatasi kepada RS yang ada di daftar saja. Mungkin untuk bacaleg di pulau Jawa tidak masalah karena RS rujukannya banyak, tapi bagi bacaleg di luar Jawa dengan jarak yang jauh dan medan yang sulit, tentu saja sangat memberatkan.
"Tolong diberi kemudahan agar tidak memberatkan para caleg, yang penting hasilnya sama-sama bisa dipertanggungjawabkan," imbuhnya.
Menurut Anggota Komisi X itu, baiknya bacaleg diberikan kebebasan untuk melakukan tes kesehatan mereka, yang penting faskes itu sudah berizin dan bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Karena akreditasi faskes itu juga akan dipertaruhkan. Dan KPU tidak boleh menolak itu meski tidak dari daftar RS dalam edaran.
"Jadi, KPU memang perlu membantu memajukan rumah sakit pemerintah, tapi tidak menafikan atau menganaktirikan rumah sakit swasta atau klinik. Intinya, diberikan kesempatan sama (semua faskes) dan tidak menyulitkan caleg," ujarnya.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP PKB Daniel Johan mengatakan, jika RS dibatasi tentu saja bacaleg menjadi keberatan dan sulit dalam memenuhi persyaratan sebagai caleg. Karena, RS dibatasi dan hanya RS tertentu saja yang bisa dijadikan rujukan bacaleg.
"Karena jadi terlalu rame, kumpulnya caleg jadi di rumah sakit itu aja," kata Daniel saat dihubungi.
Selain itu, lanjut Daniel, sudah banyak bacaleg yang mengurus surat keterangan sehat dan bebas narkoba ini sejak dua pekan lalu. Tentu saja banyak di antaranya di rumah sakit atau faskes yang tidak ada dalam daftar surat edaran KPU.
Karena itu, Daniel meminta agar KPU tidak berpatokan pada daftar itu. Karena semakinterbatas jumlahnya akan semakin mempersulit. Yang terpenting RS atau faskes itu diakui oleh pemerintah dan memiliki izin resmi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
"Ikuti saja undang-undang terkait tentang rumah sakit yang diakui pemerintah," ujarnya.
Ketua DPP Partai Demokrat Herman Khaeron mengatakan, terbitnya surat edaran KPU RI tertanggal 30 Juni 2018 yang terkait dengan daftar RS terakreditasi KPU sebagai bagian tidak terpisahkan dari PKPU Pencalonan Legislatif belum disertai penjelasan yang gamblang. Misalnya, apakah dengan lahirnya surat edaran ini tidak mengakui keberadaan RS pemerintah ainnya, dan apakah tidak layak RS di luar daftar akreditasi KPU sebagai lembaga kesehatan yang selama ini melayani rakyat.
"Kenapa Rumah Sakit Gatot Subroto dan Polri tidak masuk dalam daftar itu? Bagi saya penuh tanda tanya dan tidak paham dengan keputusan KPU ini," kata pria yang akrab disapa Hero itu dalam siaran pers yang diterima KORAN SINDO di Jakarta, kemarin.
Kemudian, lanjut dia, surat edaran ini terbitnya terlambat karena sebagian besar bacaleg sudah memproses surat keterangan sehat jasmani, rohani, dan surat keterangan bebas narkoba yang mungkin di luar daftar RS terakreditasi KPU, serta sudah mendaftar di partainya masing-masing. Jadi, peraturan ini diskriminatif, tidak tepat dan membuat stigma negatif untuk rumah sakit pemerintah lainnya. Sementara bagi caleg, akses terhadap rumah sakit terakreditasi KPU semakin jauh, padahal masih banyak persyaratan lain yang mesti dipenuhu.
"Kalaupun dasar pemikirnnya agar hasil tes kesehatan berkualitas, semestinya masih banyak rumah sakit swasta juga bisa dipake rujukan KPU," ujarnya.
Karena itu, Heri menegaskan, baiknya KPU mengembalikan saja kepada peraturan sebelumnya, yaitu cukup diatur dengan tes kesehatan jasmani dan rohani, serta tes bebas narkoba caleg dilakukan di RS pemerintah, toh pileg sebelumnya dan pilkada serentak yang baru lalu juga pake aturan itu.
"Jadi atas argumentasi tersebut, sebaiknya surat edaran tersebut di cabut dan dibatalkan dan kembali kepada peraturan sebelumnya," katanya.
(mhd)