Sejumlah Poin Penambahan Revisi UU Antiterorisme
A
A
A
JAKARTA - Rapat paripurna DPR hari ini telah mengesahkan Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Revisi UU itu, Muhammad Syafi'i mengungkapkan, banyak penambahan substansi dalam revisi UU itu. Berikut penambahan substansi yang dimaksud.
a. Adanya perubahan signifikan terhadap sistematika UU Nomor 15 Tahun 2003, menambah bab pencegahan, bab soal korban, bab kelembagaan, bab pengawasan kemudian soal Peran TNI yang itu semua baru dari UU sebelumnya.
b. Adanya perubahan esensi dari UU Nomor 15 Tahun 2003, RUU saat ini mengatur hal secara komprehensif, tidak hanya bicara soal pemberantasan tapi juga aspek pencegahan, penanggulangan, pemulihan, kelembagaan dan pengawasan.
c. Memperjelas penafsiran delik-delik yang berpotensi multitafsir atau karet. Hal ini sesuai dengan prinsip umum hukum pidana dan statuta roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court 1998), dimana menyatakan bahwa definisi mengenai kejahatan harus ditafsirkan dengan ketat dan tidak boleh diperluas dengan analogi.
d. Menghapus sanksi pidana pencabutan status kewarganegaraan pada Pasal 12B.
e. Menghapus pasal Guantanamo yang menempatkan seseorang di tempat dan lokasi tertentu selama 6 bulan untuk pencegahan yang semula diatur pada Pasal 43A.
f. Menambah ketentuan bahwa dalam melaksanakan penangkapan dan penahanan tersangka pidana terorisme harus dilakukan dengan menjunjung prinsip Hak asasi manusia terduga diperlakukan secara manusiawi, tidak disiksa, tidak diperlakukan secara kejam dan tidak direndahkan martabatnya sebagai manusia. (Pasal 28 ayat (3).
g. Menambah ketentuan pidana bagi pejabat yang melanggar ketentuan (Pasal 28 ayat (4).
h. Menambahkan ketentuan mengenai perlindungan korban aksi secara komprehensif mulai dari definisi korban, ruang lingkup korban, pemberian hak-hak korban yang semula di UU 15 tahun 2003 hanya mengatur mengenai kompensasi dan restitusi saja, kini RUU telah mengatur pemberian hak berupa bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santuan bagi korban meninggal dunia, pemberian restitusi dan pemberian kompensasi (Pasal 35A, Pasal 36, Pasal 36A dan Pasal 36B).
i. RUU mengatur pemberian hak bagi korban yang mengalami penderitaan sebelum RUU ini disahkan (Pasal 43L).
j. Menambah ketentuan pencegahan. Dalam konteks ini, pencegahan terdiri dari kesiapsiagaan nasional, kontra-radikalisasi dan deradikalisasi (Pasal 43A, 43B, 430 dan 43D).
k. Menambah ketentuan mengenai kelembagaan dengan memasukan tugas, fungsi dan kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (Pasal 43E, 43F,43G, 43H).
l. Menambah ketentuan pengawasan yang dibentuk dan terdiri dari anggota DPR (Pasal 43I).
m. Menambah ketentuan pelibatan TNI yang dalam hal pelaksanaannya akan diatur dalam Peraturan Presiden (Pasal 43J).
n. Menambah ketentuan mengenai definisi terorisme dan saat ini masih dalam perdebatan (Pasal 1 angka 1).
o. Mengubah ketentuan kejahatan politik dalam Pasal 5, dimana mengatur bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari kejahatan politik yang tidak dapat di ekstradisi. Hal ini sesuai ketentuan UU Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Pengesahan konvensi internasional pemberantasan pengeboman oleh teroris (Pasal 5).
"Demikian lah laporan hasil kerja Pansus yang disampaikan dalam rapat paripurna pada hari ini," kata Syafi'i.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Revisi UU itu, Muhammad Syafi'i mengungkapkan, banyak penambahan substansi dalam revisi UU itu. Berikut penambahan substansi yang dimaksud.
a. Adanya perubahan signifikan terhadap sistematika UU Nomor 15 Tahun 2003, menambah bab pencegahan, bab soal korban, bab kelembagaan, bab pengawasan kemudian soal Peran TNI yang itu semua baru dari UU sebelumnya.
b. Adanya perubahan esensi dari UU Nomor 15 Tahun 2003, RUU saat ini mengatur hal secara komprehensif, tidak hanya bicara soal pemberantasan tapi juga aspek pencegahan, penanggulangan, pemulihan, kelembagaan dan pengawasan.
c. Memperjelas penafsiran delik-delik yang berpotensi multitafsir atau karet. Hal ini sesuai dengan prinsip umum hukum pidana dan statuta roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court 1998), dimana menyatakan bahwa definisi mengenai kejahatan harus ditafsirkan dengan ketat dan tidak boleh diperluas dengan analogi.
d. Menghapus sanksi pidana pencabutan status kewarganegaraan pada Pasal 12B.
e. Menghapus pasal Guantanamo yang menempatkan seseorang di tempat dan lokasi tertentu selama 6 bulan untuk pencegahan yang semula diatur pada Pasal 43A.
f. Menambah ketentuan bahwa dalam melaksanakan penangkapan dan penahanan tersangka pidana terorisme harus dilakukan dengan menjunjung prinsip Hak asasi manusia terduga diperlakukan secara manusiawi, tidak disiksa, tidak diperlakukan secara kejam dan tidak direndahkan martabatnya sebagai manusia. (Pasal 28 ayat (3).
g. Menambah ketentuan pidana bagi pejabat yang melanggar ketentuan (Pasal 28 ayat (4).
h. Menambahkan ketentuan mengenai perlindungan korban aksi secara komprehensif mulai dari definisi korban, ruang lingkup korban, pemberian hak-hak korban yang semula di UU 15 tahun 2003 hanya mengatur mengenai kompensasi dan restitusi saja, kini RUU telah mengatur pemberian hak berupa bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santuan bagi korban meninggal dunia, pemberian restitusi dan pemberian kompensasi (Pasal 35A, Pasal 36, Pasal 36A dan Pasal 36B).
i. RUU mengatur pemberian hak bagi korban yang mengalami penderitaan sebelum RUU ini disahkan (Pasal 43L).
j. Menambah ketentuan pencegahan. Dalam konteks ini, pencegahan terdiri dari kesiapsiagaan nasional, kontra-radikalisasi dan deradikalisasi (Pasal 43A, 43B, 430 dan 43D).
k. Menambah ketentuan mengenai kelembagaan dengan memasukan tugas, fungsi dan kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (Pasal 43E, 43F,43G, 43H).
l. Menambah ketentuan pengawasan yang dibentuk dan terdiri dari anggota DPR (Pasal 43I).
m. Menambah ketentuan pelibatan TNI yang dalam hal pelaksanaannya akan diatur dalam Peraturan Presiden (Pasal 43J).
n. Menambah ketentuan mengenai definisi terorisme dan saat ini masih dalam perdebatan (Pasal 1 angka 1).
o. Mengubah ketentuan kejahatan politik dalam Pasal 5, dimana mengatur bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari kejahatan politik yang tidak dapat di ekstradisi. Hal ini sesuai ketentuan UU Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Pengesahan konvensi internasional pemberantasan pengeboman oleh teroris (Pasal 5).
"Demikian lah laporan hasil kerja Pansus yang disampaikan dalam rapat paripurna pada hari ini," kata Syafi'i.
(maf)