Percepat Revisi UU Antiterorisme

Selasa, 15 Mei 2018 - 10:25 WIB
Percepat Revisi UU Antiterorisme
Percepat Revisi UU Antiterorisme
A A A
JAKARTA - Pemerintah dan DPR akhirnya satu suara dalam memandang urgensi percepatan pembahasan revisi UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme atau Antiterorisme.

Dua institusi tersebut juga bersepakat tidak menggunakan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Kesamaan sikap dicapai karena pemerintah dan DPR sama-sama melihat pemberantasan terorisme di Indonesia memerlukan payung hukum yang jelas. Dari pihak Senayan, DPR bahkan menargetkan revisi UU Antiterorisme sudah kelar Mei ini.

Beberapa poin penting revisi diantaranya memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada kepolisian untuk memberantas terorisme, termasuk pencegahan. Dalam undang-undang yang ada, polisi–dalam hal ini Densus 88 Antiteror baru bisa bertindak jika para terduga teroris melakukan aksi atau sudah jelas ada barang buktinya. Pelibatan TNI dalam penindakan teroris juga menjadi poin penting revisi.

Sebelumnya, merespons serangan terorisme di Surabaya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menyinggung revisi UU Antiterorisme yang sudah diajukan pemerintah ke DPR pada Februari 2016 hingga kini tak kunjung rampung. Dia meminta segera diselesaikan dalam masa sidang berikut, yaitu pada 18 Mei nanti. Jika Juni belum juga kelar, dia menyatakan akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Jauh hari sebelumnya, beberapa hari setelah peristiwa bom Kampung Melayu yang terjadi pada Mei 2017, Presiden juga sudah mendorong percepatan revisi dan secara khusus memerintahkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM (Menkopolhukam) Wiranto untuk meminta DPR mempercepat pembahasan UU tersebut.

“Pak Presiden minta ini untuk diselesaikan cepat, soal definisi sudah selesai dan pelibatan TNI juga ada didalamnya. Teman-teman di DPR juga sudah sepakat untuk ini diselesaikan cepat,” ujar Menkopolhukam Wiranto di Jakarta kemarin.

DPR kemarin menegaskan komitmennya menuntaskan revisi UU Antiterorisme secepatnya. Sikap ini disampaikan Ketua DPR Bambang Soesatyo. Dia bahkan menegaskan DPR tidak memperlambat pengesahan revisi UU Antiterorisme. Sebaliknya, pemerintahlah yang beberapa kali menunda itu lantaran banyak perdebatan dan perbedaan diinternal pemerintah terkait definisi terorisme.

“Kami mendorong pemerintah untuk segera satu kata di antara pemerintah sendiri agar RUU tersebut bisa segera dilanjutkan pembahasannya di DPR. Dan, kami targetkan pada Mei awal masa sidang ini bisa dituntaskan,” kata dia dalam ke terangan resminya kepada wartawan di Jakarta kemarin.

Bambang juga mengimbau Panitia Khusus (Pansus) RUU Antiterorisme untuk menerapkan sanksi pidana kepada pihak yang terkait dengan kelompok teroris dan segera menuntas kan frasa soal definisi tentang terorisme. Dia menegaskan bahwa DPR harus mengedepankan kepentingan dan keselamatan rakyat, bangsa, dan negara. Bambang lantas meminta polisi dan aparat penegak hukum lain agar bertindak tegas tanpa takut melanggar HAM.

Dia lebih jauh meminta aparat menyusup jauh ke dalam sel kelompok teroris karena dengan cara itu mereka bisa menangkap dan memeriksa teroris sebelum melakukan aksi teror. “Kepentingan bangsa dan negara harus didahulukan. Kalau ada pilihan antara HAM atau menyelamatkan masyarakat, bangsa, dan negara, saya akan memilih masyarakat, bangsa, dan negara,” tegas dia.

Sementara itu, Ketua Pansus RUU Antiterorisme DPR Muhammad Syafii menyatakan bahwa Presiden Jokowi telah salah alamat karena mendesak DPR untuk menyelesaikan. Dia menyarankan kepada Presiden Jokowi untuk mendesak penyelesaian itu kepada tim panja pemerintah karena DPR menginginkan penyelesaian RUU ini sebelum reses kemarin (26/4).

“Dan tinggal satu ayat, kita sudah selesaikan 99%, tinggal satu ayat saja dari Pasal 1 tentang ketentuan umum yakni definisi terorisme,” kata pria yang akrab disapa Romo itu saat dihubungi di Jakarta kemarin.

Menurut Romo, sebenarnya tidak ada perdebatan lagi soal substansi karena sudah disepakati tentang unsur-unsur terorisme dan hal itu sudah disahkan dalam rapat. Diantaranya ada tindak kejahatan, tindak kejahatan itu menimbulkan teror yang masif, menimbulkan korban, merusak objek vital yang strategis, dan ada motif dan tujuan politik. “Itu sudah diketok, tinggal kemudian pemerintah meredaksi ternyata pemerintah tidak mampu melakukan itu. Itu saja,” ujarnya.

Dia lantas memaparkan, pemerintah sudah meminta waktu penundaan dua kali. Pertama, pemerintah tidak mau ada definisi, tapi tidak memiliki logika hukum. Kemudian, pemerintah mau membuat definisi sehingga pengesahan ditunda sampai satu bulan.

Pansus DPR juga sudah membantu dengan mendetailkan unsur-unsur terorisme itu agar pemerintah bisa menyusun redaksinya. Sayangnya, redaksi yang disusun pemerintah justru menyimpang dari unsur-unsur terorisme yang su dah dibuat dan pemerintah minta penundaan lagi.

“Jadi ini yang menyebabkan ini tidak selesai adalah pemerintah. Saudara Presiden Jokowi tolong desak tim panja pemerintah untuk menggunakan logika hukum merumuskan definisi terorisme,” tukasnya.

Urgensi revisi UU Antiteroris memengemuka bersamaan dengan masifnya serangan terorisme di Jawa Timur. Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian meminta DPR segera mengesahkan revisi karena penting sebagai dasar kepolisian melakukan penindakan terhadap teroris. Jika DPR tidak juga segera menyelesaikan, Kapolri menyatakan akan meminta Presiden mengeluarkan perppu.

Seperti diketahui, polisi sebenarnya tahu sel-sel teroris, tapi tidak bisa melakukan penindakan terhadap mereka jika tidak melakukan aksi. Lewat revisi, polisi ingin bisa melakukan penindakan yang sifatnya antisipatif.

Poin penting lain yang diinginkan polisi adalah ada penetapan Jamaah Anshorud Daulah dan Jamaah Anshorud Tauhid, pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), sebagai teroris. Ada pasal yang menegaskan siapa pun yang bergabung dengan teroris dapat diproses pidana. Kapolri menegaskan, pihaknya tidak mempersoalkan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.

Dia bahkan mengaku sudah berkomunikasi dengan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto. Jika revisi rampung, UU Antiterorisme ini memiliki kemiripan dengan Internal Security Act (ISA) Singapura dan Malaysia yang memang dijadikan rujukan Pemerintah Indonesia dalam merancang UU Antiterorisme.

Harus Keras Melawan Teroris
Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu menegaskan, Indonesia harus keras melawan teroris karena terorisme merupakan ancaman faktual dan serius bagi keamanan negara. Dia pun menyatakan penanganan terorisme tidak bisa menggunakan langkah biasa saja.

“Harus keras kita melawan terorisme, jangan sedikit-sedikit HAM, sedikit-sedikit HAM,” ujar Ryamizard di Graha Mandiri, Jakarta, kemarin. Mantan KSAD ini menerangkan, para pelaku teror sekarang merupakan teroris generasi ketiga, yaitu alumnus milisi ISIS yang pernah berperang di Suriah.

Mereka kembali ke Indonesia setelah kekalahan ISIS. Adapun teroris generasi pertama, kata Menhan, adalah teroris pascatragedi 11 September 2001. Generasi kedua yakni para teroris ISIS. Generasi ketiga yang merupakan para milisi pulang kampung yang mengakui terbentuknya ISIS di Asia Tenggara.

“Dua tahun lalu saya buat trilateral (dengan Malaysia dan Filipina) untuk melokalisasi (teroris di Asia Tenggara). Dua tahun lalu saya sudah mengerti akan terjadi begini. Bahkan perintah itu menyatakan bahwa basis ISIS di Marawi akan dipindahkan ke Indonesia. Artinya mereka sudah persiapan benar-benar matang, enggak tanggung-tanggung,” kata dia.

Sementara itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Mulyono menga ta kan, masih menunggu aturan untuk melibatkan jajaran prajuritnya dalam memberantas terorisme.

“Semua ada atur annya. Teman-teman Polri saat ini sedang bekerja. Tapi, bila diminta, kami siap,” ucap Mulyono di Mabes TNI AD kemarin. Mulyono kemudian menjelaskan, dalam pemberantasan teroris, penindakan mempunyai SOP, termasuk TNI yang di desak untuk terlibat. Untuk itulah, Mulyono menegaskan melibatkan prajurit harus memiliki aturan.

Sementara itu, pengamat intelijen Susaningtyas Kertopati menyoroti keinginan Presiden untuk menghidupkan kembali Koopssusgab TNI. Dia menilai rencana itu tepat sesuai dengan amanat UU Pertahanan Negara atau UU TNI. “Yang perlu diatur sekarang adalah perpres untuk menugas kan Koopssusgab TNI se bagai salah satu kebijakan Presiden untuk menyinergikan de ngan Detasemen 88 Anti teror Polri.

“Koopssusgab hanya di bentuk sesuai kebutuhan tugas, bukan kesatuan permanen. Tugasnya untuk mencapai misi tertentu dalam jangka waktu tertentu seperti antiteror,” ujar pengamat yang akrab di sapa Nuning ini.

Untuk diketahui, TNI memiliki sejumlah satuan khusus yang pembinaannya berada di ba wah masing-masing angkatan. Kemampuan antiteror mereka berbeda satu sama lain. Satuan antiteror dimaksud ada lah Satuan Gultor Kopassus (TNI AD), Denjaka yang menguasai antiteror aspek laut (TNI AL), dan Den Bravo Korpaskhas (TNI) AL yang memilik spesialisasi pembebasan sandera di bandara.

Nuning juga menggarisbawahi ketidaksepakatannya dengan ada wacana tentang pergantian kepala Badan Intelijen Negara (BIN), termasuk upaya menyalahkan BIN dalam kasus terorisme yang belakangan marak terjadi. Menurut dia, pada konteks ini posisi BIN pada deteksi dini dan hasilnya diserahkan kepada Polri. “Jadi fungsi koordinasi penting di sini,” tandas dia. (Kiswondari/ Yan Yusuf/ Binti Mufarida)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5600 seconds (0.1#10.140)