Tata Kelola Napi Terorisme Perlu Diubah

Jum'at, 11 Mei 2018 - 10:13 WIB
Tata Kelola Napi Terorisme Perlu Diubah
Tata Kelola Napi Terorisme Perlu Diubah
A A A
DEPOK - Kerusuhan narapidana terorisme di Rumah Tahanan (Rutan) Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat yang disertai dengan penyanderaan dan pembunuhan keji atas lima anggota polisi sungguh memprihatinkan. Insiden penyanderaan 40 jam yang baru berakhir pagi kemarin itu menunjukkan bahaya terorisme di Indonesia nyata dan tak bisa dibiarkan.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa negara tidak akan pernah memberikan ruang sedikit pun bagi terorisme di Indonesia. "Saya tegaskan bahwa negara dan seluruh rakyat tidak pernah takut dan tidak akan pernah memberikan ruang sedikit pun pada terorisme dan upaya-upaya yang mengganggu keamanan negara," ujarnya di Istana Bogor, Kamis (10/5/2018).

Sejumlah kalangan mendorong perlunya perubahan tata kelola penanganan narapidana terorisme secara menyeluruh dan mendesak agar kejadian serupa tak terulang. Penanganan para tersangka terorisme juga tak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara biasa karena kejahatan mereka juga masuk golongan luar biasa. Rutan di Markas Komando (Mako) Brimob yang berstatus Cabang Rutan Salemba sejatinya juga tak layak untuk dihuni para napi terorisme. Selain tidak didesain untuk napi terorisme, rutan ini juga sudah melebihi kapasitas (over-capacity).

Daya tampung rutan Mako Brimob hanya sekitar 65-90 orang, tetapi faktanya diisi hingga 155 orang. Kelemahan-kelemahan inilah yang antara lain memicu para narapidana melakukan tindakan brutal dan tak manusiawi. Selain pengelolaan yang kurang memenuhi standar, kerusuhan di Mako Brimob ini diyakini telah lama direncanakan, bukan sekadar persoalan pemeriksaan makanan bawaan keluarga narapidana.

Pengamat militer dan pertahanan Muradi berpendapat, kejadian ini telah direncanakan jauh-jauh hari. "Bahwa soal makanan jadi penyebab, itu soal pemicu atau pemantiknya. Yang pasti aksi ini direncanakan jauh-jauh hari." kata Muradi. Salah satu indikatornya, menurut Muradi, ada sejumlah napi terorisme yang dengan cepat bisa menguasai kondisi di dalam lapas, bahkan membunuh lima anggota Polri. "Dalam kacamata pertahanan dan keamanan, ini aksi by design jauh-jauh hari oleh mereka." tandasnya.

Kasus ini membuktikan bahwa radikalisasi sekalipun di dalam penjara atau rutan masih ada, bahkan menguat hingga akhirnya mampu melakukan aksi. Kejadian ini juga patut menjadi momentum perbaikan di rutan. "Ini soal tata kelola karena ke depan harus ada perubahan dalam tata kelola penanganan napi terorisme," sebutnya.

Pengamat terorisme Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Zaki Mubarak menilai, perlu ada keseriusan dan langkah nyata pemerintah dalam mengatasi aksi terorisme. Menurut Zaki, kerusuhan di Mako Brimob Depok bukanlah insiden pertama. Menurutnya pada November 2017 telah terjadi insiden yang hampir sama hingga menyebabkan kerusakan sejumlah fasilitas di rutan.

"Perlu kesungguhan Presiden untuk memberikan perhatian lebih. Ini persoalan yang serius. Polisi harus dibantu. Tidak mampu hanya satu sektor saja. Masih banyak yang harus diperkuat," ucapnya.

Dia mengatakan bahwa penanganan napi terorisme ini harus komprehensif baik dari segi infrastruktur seperti lapas ataupun sumber daya manusia, yakni sipir. Hal ini berkaca dari banyaknya temuan telepon genggam di dalam lapas yang dicurigai sebagai alat komunikasi untuk melakukan aksi terorisme. "Dalam sidang teroris Aman Abdurahman terungkap bahwa perencanaan bom di Kampung Melayu dan Thamrin disiapkan di LP Nusakambangan. Sistem manajemen lapas teroris sudah rusak," ungkapnya.

Bahkan ada beberapa lapas yang mencampur napi kejahatan lain dengan napi terorisme. Kalaupun hanya napi terorisme, biasanya juga dicampur antara yang pemula dan senior. Hal ini yang membuat paham radikalisme malah menyebar di dalam lapas. "Sipir yang berjaga pun tidak memiliki kemampuan khusus untuk menangani terorisme. Semua hanya berkompetensi secara umum. Lapas jadi tempat konsolidasi terorisme. Maka dari itu sistem deradikalisasi tidak berjalan maksimal di lapa," tuturnya.

Zaki meminta agar kemampuan polisi lebih ditingkatkan. Langkah ini perlu dilakukan dalam rangka proteksi dan profesionalitas menangani teroris. Apalagi tren 2010 sampai 2017 menunjukkan kenaikan jumlah polisi yang menjadi sasaran tindakan terorisme. "Sikap represif kepolisian tidak menghentikan bibit baru teroris. Jika ada yang terbunuh, dendam muncul baik dari anaknya ataupun saudara. Maka terjadi siklus kekerasan. Ini lingkaran setan harus dipecahkan. Penindakan juga harus ada evaluasi," jelasnya.

Rutan Khusus
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengakui Rutan Mako Brimob sebetulnya tidak layak untuk dijadikan sebagai rutan kasus terorisme karena bukan berstandar maximum security. Dulunya Rutan Mako Brimob adalah tempat tahanan bagi anggota Polri dan penegak hukum lainnya yang terlibat dalam kasus-kasus pidana.

Penghuni yang melebihi kapasitas saat ini juga membuat suasana di rutan ini sangat sumpek. Dalam jangka panjang, Kapolri tengah mencarikan tempat yang layak untuk rutan sementara penanganan terorisme. Tim Densus Antiteror diakui sangat membutuhkan tempat yang layak dan aman untuk dijadikan tempat pemeriksaan agar cepat bisa dikirim ke pengadilan.

Dorongan perlunya membangun rutan khusus juga disampaikan sejumlah anggota DPR. Anggota Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-Undang Nomor 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) Bobby Rizaldi meminta Polri mengevaluasi secara menyeluruh sistem pengamanan di Mako Brimob selepas insiden penyanderaan, Selasa (8/5/2018) malam hingga pagi kemarin.

Setelah dipulihkan, lanjut Bobby, perlu ditelaah mengenai protokol keamanan di Mako Brimob yang harusnya memiliki keamanan berlapis. Selain itu perlu dipikirkan pemisahan antara napi terorisme dengan napi kejahatan lain. "Karena tahanan khusus ini harus diatur sebagai sarana pemulihan yang berbeda dengan napi kriminal biasa," jelasnya.

Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu juga menilai opsi pemindahan napi terorisme di rutan khusus perlu dipikirkan ke depannya karena mereka terlatih dan teroris masuk kategori kejahatan luar biasa. "Apa ditaruh di pulau mana tentu dengan pengamanan tingkat security-nya lebih tinggi karena ini adalah narapidana terorisme dengan kategori kejahatan luar biasa. Penanganan harus luar biasa," kata Masinton.

Anggota Komisi III lainnya, Arsul Sani, mengatakan, penyebab kerusuhan harus diselidiki karena ini bukan peristiwa yang pertama kali terjadi. Selain itu Komisi III DPR juga akan mem pertanyakan prosedur peng amanan di Mako Brimob.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8411 seconds (0.1#10.140)