Tahun Politik Jangan Rusak NKRI
A
A
A
JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan semua pihak agar dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2018, Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019 tidak sampai merusak tatanan keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berbagai kampanye politik sebaiknya tidak dilakukan di tempat ibadah, kantor pemerintah maupun majelis pengajian. Persaingan politik sangat rentan memicu perpecahan jika tidak dibarengi dengan kedewasaan menghormati pilihan.
Apalagi jika persaingan tersebut menggunakan sentimen agama, ras, dan suku, potensi perpecahan di kalangan anak bangsa pun akan semakin besar. “Agama jangan dipolitisasi, digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek. Kalau politik keagamaan, politik kebangsaan dan kenegaraan harus. Kalau politik yang tidak di jiwai agama nanti jadi politik tidak santun, kemudian terjadi money politic,” kata Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin disela focus group discussion (FGD) dengan tema “Aktualisasi Nilai-Nilai Kebangsaan untuk Mencegah Penyebaran Paham Radikalisme, Kekerasan, dan Intoleransi” yang diselenggarakan Komite Bidang Politik dan Keamanan DPP PDI Perjuangan di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, kemarin.
FGD dibuka oleh Wakil Sekjen DPP PDI Perjuangan yang juga Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah. Selain Kiai Ma'ruf, hadir juga sebagai pembicara Direktur Deradikalisasi BNPT Brigjen Pol Hamli dan Direktur Intelijen Densus 88 Antiteror Mabes Polri Kombes Pol Ibnu Suhendra.
Sebagai Ketua Umum MUI yang juga Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ma’ruf mengatakan bahwa untuk masalah kebangsaan dan keagamaan sudah menjadi tugasnya melayani umat dan mitra pemerintah. Termasuk di PDI Perjuangan yang juga memiliki banyak umat dan warga nahdliyin.
Ditegaskan pula bahwa visi menguatkan kebangsaan serta menangkal radikalisme dan terorisme yang didengungkan PDI Perjuangan sejalan dengan tugas-tugas yang tengah dilakukan MUI serta NU. Hal ini penting karena masih ada yang tak punya komitmen kebangsaan.
Padahal bangsa Indonesia sudah final bersepakat dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945. “Pancasila itu sebagai titik temu karena itu saya menamakannya sebagai kalimatul sawa. Kan Piagam Jakarta itu kemudian menjadi Mukadimah UUD 1945.
Itu kesepakatan kita dalam membangun kehidupan negara ini. Itu sudah selesai oleh para pendiri bangsa,” papar Ma’ruf Amin.
Bagi mereka yang belum punya komitmen kebangsaan, lanjut Ma’ruf Amin, berarti ada mispersepsi tentang kebangsaan atau keislaman.
“Ini harus kita tangani melalui kontrara dikalisme, kemudian dera dikalisasi untuk kita satukan,” tegasnya. Ma’ruf Amin menjelaskan bahwa memang masih ada kelompok-kelompok yang belum punya komitmen kebangsaan. Mereka ini yang ingin mengganti ideologi dan dasar negara kita dengan cara-cara radikalisme dan terorisme.
“Supaya ini tidak menyebar dan virusnya tidak ke mana-mana, harus kita minimalkan melalui kontra radikalisme. Adapun bagi yang sudah terprovokasi kita atasi melalui deradikalisasi,” jelasnya.
Pada kesempatan sama, Ahmad Basarah mengatakan, diskusi ini memang sengaja dilaksanakan oleh DPP PDI Perjuangan untuk mendapatkan saran, masukan, dan pandangan dari berbagai macam unsur masyarakat.
Karena kebetulan pada saat ini DPR masih terus membahas Revisi UU tentang Pemberantasan dan Pencegahan Terorisme yang prosesnya sampai sekarang menuju tahap finalisasi.
“Kami minta saran dengan harapan nantinya dari saran itu ada pertimbangan bagi DPP PDI Perjuangan untuk memberikan instruksi kepada fraksi di DPR wabil khusus Pansus Revisi UU Terorisme yang tengah berjalan,” ujar Basarah.
Dia menegaskan, diskusi ini juga penting karena memang di era Reformasi sekarang ini bang sa Indonesia tengah dihadapkan pada dua eksperimen, dua ideologi transnasional yang sekarang bukan sekadar masuk ke Indonesia, tapi juga sudah memiliki berbagai perangkat sistemik untuk masuk dan meng implementasikan ideologi transnasional itu.
“Pertama datang dari paham individualisme-liberalisme dan kapitalisme dan membawa semangat kebebasan individu dengan kebebasan sebebas-bebasnya. Dampaknya hedonisme, seks bebas, LGBT, narkoba, dan korupsi yang bersumber dari individualisme, kapitalisme, dari liberalisme,” jelasnya.
Di sisi lain, lanjut Basarah, berkembang paham radikalisme dan fundamentalisme agama yang membawa kekerasan dan intoleransi. “Dua ideologi inilah yang tengah bekerja di masyarakat kita,” ucapnya. (Rahmat Sahid)
Berbagai kampanye politik sebaiknya tidak dilakukan di tempat ibadah, kantor pemerintah maupun majelis pengajian. Persaingan politik sangat rentan memicu perpecahan jika tidak dibarengi dengan kedewasaan menghormati pilihan.
Apalagi jika persaingan tersebut menggunakan sentimen agama, ras, dan suku, potensi perpecahan di kalangan anak bangsa pun akan semakin besar. “Agama jangan dipolitisasi, digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek. Kalau politik keagamaan, politik kebangsaan dan kenegaraan harus. Kalau politik yang tidak di jiwai agama nanti jadi politik tidak santun, kemudian terjadi money politic,” kata Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin disela focus group discussion (FGD) dengan tema “Aktualisasi Nilai-Nilai Kebangsaan untuk Mencegah Penyebaran Paham Radikalisme, Kekerasan, dan Intoleransi” yang diselenggarakan Komite Bidang Politik dan Keamanan DPP PDI Perjuangan di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, kemarin.
FGD dibuka oleh Wakil Sekjen DPP PDI Perjuangan yang juga Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah. Selain Kiai Ma'ruf, hadir juga sebagai pembicara Direktur Deradikalisasi BNPT Brigjen Pol Hamli dan Direktur Intelijen Densus 88 Antiteror Mabes Polri Kombes Pol Ibnu Suhendra.
Sebagai Ketua Umum MUI yang juga Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ma’ruf mengatakan bahwa untuk masalah kebangsaan dan keagamaan sudah menjadi tugasnya melayani umat dan mitra pemerintah. Termasuk di PDI Perjuangan yang juga memiliki banyak umat dan warga nahdliyin.
Ditegaskan pula bahwa visi menguatkan kebangsaan serta menangkal radikalisme dan terorisme yang didengungkan PDI Perjuangan sejalan dengan tugas-tugas yang tengah dilakukan MUI serta NU. Hal ini penting karena masih ada yang tak punya komitmen kebangsaan.
Padahal bangsa Indonesia sudah final bersepakat dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945. “Pancasila itu sebagai titik temu karena itu saya menamakannya sebagai kalimatul sawa. Kan Piagam Jakarta itu kemudian menjadi Mukadimah UUD 1945.
Itu kesepakatan kita dalam membangun kehidupan negara ini. Itu sudah selesai oleh para pendiri bangsa,” papar Ma’ruf Amin.
Bagi mereka yang belum punya komitmen kebangsaan, lanjut Ma’ruf Amin, berarti ada mispersepsi tentang kebangsaan atau keislaman.
“Ini harus kita tangani melalui kontrara dikalisme, kemudian dera dikalisasi untuk kita satukan,” tegasnya. Ma’ruf Amin menjelaskan bahwa memang masih ada kelompok-kelompok yang belum punya komitmen kebangsaan. Mereka ini yang ingin mengganti ideologi dan dasar negara kita dengan cara-cara radikalisme dan terorisme.
“Supaya ini tidak menyebar dan virusnya tidak ke mana-mana, harus kita minimalkan melalui kontra radikalisme. Adapun bagi yang sudah terprovokasi kita atasi melalui deradikalisasi,” jelasnya.
Pada kesempatan sama, Ahmad Basarah mengatakan, diskusi ini memang sengaja dilaksanakan oleh DPP PDI Perjuangan untuk mendapatkan saran, masukan, dan pandangan dari berbagai macam unsur masyarakat.
Karena kebetulan pada saat ini DPR masih terus membahas Revisi UU tentang Pemberantasan dan Pencegahan Terorisme yang prosesnya sampai sekarang menuju tahap finalisasi.
“Kami minta saran dengan harapan nantinya dari saran itu ada pertimbangan bagi DPP PDI Perjuangan untuk memberikan instruksi kepada fraksi di DPR wabil khusus Pansus Revisi UU Terorisme yang tengah berjalan,” ujar Basarah.
Dia menegaskan, diskusi ini juga penting karena memang di era Reformasi sekarang ini bang sa Indonesia tengah dihadapkan pada dua eksperimen, dua ideologi transnasional yang sekarang bukan sekadar masuk ke Indonesia, tapi juga sudah memiliki berbagai perangkat sistemik untuk masuk dan meng implementasikan ideologi transnasional itu.
“Pertama datang dari paham individualisme-liberalisme dan kapitalisme dan membawa semangat kebebasan individu dengan kebebasan sebebas-bebasnya. Dampaknya hedonisme, seks bebas, LGBT, narkoba, dan korupsi yang bersumber dari individualisme, kapitalisme, dari liberalisme,” jelasnya.
Di sisi lain, lanjut Basarah, berkembang paham radikalisme dan fundamentalisme agama yang membawa kekerasan dan intoleransi. “Dua ideologi inilah yang tengah bekerja di masyarakat kita,” ucapnya. (Rahmat Sahid)
(nfl)