Peringati Hari Kartini, Menteri Yohana Serukan Stop Perkawinan Anak

Jum'at, 20 April 2018 - 19:03 WIB
Peringati Hari Kartini,...
Peringati Hari Kartini, Menteri Yohana Serukan Stop Perkawinan Anak
A A A
JAKARTA - "Orang mencoba membohongi kami, bahwa tidak kawin itu bukan hanya aib, melainkan dosa besar pula. Telah berulang kali itu dikatakan kepada kami. Aduhai! Dengan menghina sekali orang sering kali membicarakan perempuan yang membujang!"

Sepenggal cerita ini adalah kisah yang diceritakan oleh Raden Ajeng (RA) Kartini dalam suratnya yang diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Cerita RA Kartini tentang perempuan di masa lalu ini menggambarkan bagaimana kaum perempuan menjadi hina jika berstatus tidak kawin.

Kawin menjadi standar seorang perempuan dihargai di masa lampau. Mirisnya banyak kaum perempuan yang kawin bukan karna kehendak sendiri tetapi justru karena tuntutan budaya. Kartini berkisah, "Kami anak-anak perempuan tidak boleh mempunyai pendapat, kami harus menerima dan menyetujui serta mengamini semua yang dianggap baik oleh orang lain. Bahwa tahu, mengerti, dan menginginkan itu dosa bagi anak perempuan".

Lalu apakah nasib yang di alami Kartini dan perempuan di masa lampau masih di alami kaum perempuan di masa kini? Council of Foreign Relations mencatat bahwa Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara atau tepatnya di urutan ketujuh dengan angka absolut pengantin anak tertinggi di dunia; dan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 telah melakukan riset mengenai jenjang pendidikan yang ditempuh oleh perempuan usia 20-24 tahun berstatus pernah kawin yang melakukan perkawinan di bawah atau di atas 18 tahun. Hasilnya cukup memprihatinkan, sebesar 94,72% perempuan usia 20-24 tahun berstatus pernah kawin yang melakukan perkawinan di bawah usia 18 tahun putus sekolah, sementara yang masih bersekolah hanya sebesar 4,38%.

Hal ini menjadi miris karena kaum perempuan masih dibayangi momok untuk melakukan perkawinan di usia muda, tidak hanya di zaman Kartini tapi juga di zaman now.

"Perkawinan bukanlah hal yang buruk jika dilakukan di usia yang tepat dengan persiapan yang matang. Perkawinan di usia anak justru akan membawa permasalahan baru bagi kaum perempuan. Dimulai dari hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, risiko ancaman dari penyakit reproduksi seperti kanker serviks, kanker payudara dan juga hidup dalam keretakan keluarga karena ketidaksiapan mental mereka dalam membangun keluarga, sehingga menimbulkan perceraian," ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise lewat rilis yang diterima SINDOnews, Jumat (20/4/2018).

Dirinya berharap kaum perempuan muda Indonesia mampu menentukan masa depannya dengan mengutamakan pendidikan. Sebab kaum perempuan muda menjadi penerus estafet mimpi-mimpi RA Kartini untuk memajukan bangsa.

"Kaum perempuan mampu berkarya tidak hanya melulu dengan urusan sumur dapur kasur, tetapi juga di ranah publik. Saya optimis kaum perempuan yang menjadi Kartini masa kini mampu meneruskan mimpi Kartini di masa yang akan datang," tutur Menteri Yohana.

Tepat peringatan Hari Kartini ini, Menteri Yohana berharap ke depannya tidak ada perkawinan yang terjadi pada anak perempuan yang belum siap menjalani perkawinan. "Mari kita stop perkawinan anak, kaum perempuan mampu berdiri di kaki sendiri dan menentukan masa depannya sendiri. Jangan pernah berhenti berkarya kaum perempuan Indonesia," tegas Menteri Yohana.

RA Kartini pun turut berpesan, "Tetapi kalau angkatan muda bersatu, dapatlah kiranya kami dengan kekuatan yang bersatu mewujudkan sesuatu yang baik. Dan terhadap pendidikan itu janganlah hanya akal yang dipertajam, tetapi budipun harus dipertinggi".
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2091 seconds (0.1#10.140)