Arab Saudi Larang Calhaj Sakit Kronis Berhaji

Senin, 09 April 2018 - 07:21 WIB
Arab Saudi Larang Calhaj Sakit Kronis Berhaji
Arab Saudi Larang Calhaj Sakit Kronis Berhaji
A A A
BOGOR - Pemerintah Arab Saudi meminta Indonesia untuk selektif dengan tidak memberangkatkan calon jamaah haji (calhaj) yang berstatus sakit kronis. Merespons aturan ini, Kemenkes mendorong agar syarat kemampuan (istithaah) kesehatan berhaji semakin diperketat.

Surat resmi dari Saudi terkait aturan baru ini telah diterima Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada pekan lalu. Dalam suratnya, seperti disampaikan Kepala Pusat Kesehatan Haji Kemenkes Eka Jusuf Singka, Saudi meminta Indonesia tidak mengirimkan jamaah haji dengan penyakit dengan risiko tinggi (risti) seperti gagal ginjal.

“Bagi jamaah haji yang memiliki penyakit-penyakit kronis, misalnya penyakit ginjal dengan cuci darah agar dipertimbangkan untuk tidak diberangkatkan (berhaji),” kata Eka, kemarin.

Dari tahun ke tahun jumlah jamaah Indonesia yang masuk kategori jamaah dengan kesehatan risti masih tergolong tinggi. Pada 2017 misalnya, dari total sebanyak 221.000 jamaah haji Indonesia, sekitar 63% atau 129.999 orang di antaranya masuk golongan risti. Kategori risti adalah mereka yang usianya 60 tahun ke atas atau jamaah yang memiliki faktor risiko dan gangguan kesehatan yang bisa menyebabkan keterbatasan dalam menjalankan ibadah haji.

Guna mengatur kesehatan jamaah haji Indonesia, pemerintah sebenarnya telah membuat empat klasifikasi syarat seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 15/2016 tentang Istithaah Kesehatan Jamaah Haji. Empat klasifikasi tersebut adalah pertama memenuhi syarat, kedua memenuhi syarat dengan pendampingan, ketiga tidak memenuhi syarat untuk sementara dan keempat tidak memenuhi syarat karena kondisi klinis yang mengancam jiwa.

Di antara penyakit dengan kategori berat yang bisa menggagalkan calon jamaah haji untuk bisa berangkat ke Tanah Suci atau masuk klasifikasi keempat adalah gagal ginjal kronis, gagal jantung stadium IV, penyakit paru kronis derajat IV, AIDS stadium IV dengan infeksi oportunistik dan stroke haemorhagic luas.

Selain itu calhaj dengan gangguan jiwa berat antara lain skizofrenia berat, dimensia berat, retardasi mental berat dan penyakit lain yang sulit diharapkan kesembuhannya juga dilarang untuk berangkat.

Pada penyelenggaraan haji 2017, Puskes Haji mencatat ada sekitar 4.000 jamaah yang harus menjalani perawatan medis di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Mekkah dan Madinah, serta Rumah Sakit Arab Saudi (RSAS). Bahkan ketika operasional haji ditutup, masih ada 66 jamaah haji yang terpaksa ditinggalkan di Arab Saudi karena masih menjalani perawatan.

Isu pengetatan keberangkatan calhaj ini juga menjadi bahasan pada focus discussion group (FDG) antara Kemenkes, Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Bogor, Jumat-Sabtu (6-7/4). Dalam diskusi tersebut mengemuka bahwa calon jamaah haji yang dinyatakan gagal berhaji karena tak memenuhi istithaah kesehatan, maka yang bersangkutan akan dibadalhajikan.

Eka menandaskan, sudah saatnya semua pihak-pihak yang terkait dalam penyelenggara haji Indonesia untuk merumuskan syarat istithaah kesehatan haji. Pihaknya berharap jamaah haji tidak memaksakan diri berangkat, jika sesampai di Arab Saudi justru tidak bisa beribadah karena jatuh sakit. "Diharapkan di Madinah atau Mekkah tidak nenjadi pasien di KKHI atau RSAS. Kan kasihan jamaah sudah bayar dan menunggu lama, tapi di Tanah Suci malah tidak bisa melakukan melaksanakan rukun dan wajib haji," ucapnya.

Dia juga berharap, calon jamaah haji mengerti benar tentang istithaah kesehatan haji sebagaiman diatur dalam Permenkes No 15/2016. Permenkes ini merupakan pemenuhan terhadap rekomendasi Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) pada 2013 silam. “Permenkes ini dibuat bukan oleh Kemenkes sendiri. Kami berkonsultasi kepada Kemenag dan para ulama. Tugas kami melakukan pembinaan kesehatan," tambahnya.

Penegakan istithaah kesehatan haji sudah diperkuat dengan adanya surat edaran dari Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Nizar Ali. Untuk itu di tingkat pemerintah daerah harus benar-benar memerhatikan Permenkes Istithaah Kesehatan Haji. "Alhamdulillah di awal tahun ini surat edaran itu diterbitkan. Semoga kesehatan jamaah haji lebih terjaga," katanya.

Sekjen Kemenkes Untung Suseno Sutarjo mengatakan, Permenkes Istithaah Kesehatan Haji dibuat bukan untuk mempersulit atau menghambat masyarakat untuk berhaji. Tapi lebih bertujuan melindungi agar saat melakukan prosesi haji benar-benar ditunjang dengan kesehatan yang baik. "Kami tak mau jamaah ke sana hanya untuk dirawat. Kami berharap jangan memaksakan diri," harap Untung.

Kemenag belum membahas lebih jauh adanya aturan baru dari Saudi soal pembatasan jamaah sakit kronis ini. Kendati demikian, Kasubdit Dokumen Penyelenggaraan Haji Ditjen PHU Kemenag Nasrullah Jassam mengatakan, Kemenag mengakui masalah kesehatan jamaah haji wajib menjadi perhatian. "Bukan hanya kesehatan fisik atau badan, kesehatan mental juga perlu menjadi perhatian," katanya.

Mantan Kepala Daerah Kerja Madinah dan Mekkah ini memberi contoh adanya dua jamaah ghoib (hilang) pada 2017. Setelah ditelusuri ke keluarganya ternyata ada yang berbeda dengan kesehatan dua jamaah ini. "Ini masalah psikologis. Secara kasat mata memang sehat, tapi jamaah ini sebenarnya mempunyai masalah kesehatan," ungkapnya.

Dalam FGD soa kesehatan haji juga terungkap bahwa perlunya kebijakan membadalhajikan calon jamaah haji yang tidak bisa berangkat karena terganjal aturan Saudi tersebut. Anggota Komisi Fatwa MUI juga memandang perlu penegakan Permenkes No 15/2016 tentang Istithaah Kesehatan Haji. Di sisi lain juga perlu memerhatikan kepentingan jamaah haji yang dinyatakan tidak mampu secara kesehatan seperti dengan solusi badal haji. Forum juga menyepakati bakal membahas empat fatwa sehubungan pelaksanaan istithaah kesehan haji. Yaitu terkait badal haji, safari wukuf, badal dalam melontar jumrah, dan waktu melontar jumrah di hari tasyrik.

Menurut Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am Sholeh, bahan-bahan pembahasan di FGD tersebut akan dibawa ke dalam kegiatan Pertemuan Ulama se-Indonesia pada 7-8 Mei 2018 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Asrorun Ni'am pun yakin, empat fatwa ini bisa disahkan dalam acara tersebut. (Muhammad Iqbal)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9768 seconds (0.1#10.140)