Mengenal Djoko T Iskandar, Pakar Amfibi dan Reptil yang Mendunia
A
A
A
BANDUNG - Di Indonesia, tidak banyak orang yang menekuni bidang ilmu biodiversity atau keanekaragaman hayati. Terdapat dua kendala yang menghambat, yakni faktor biaya dan birokrasi. Padahal Indonesia yang dikenal sebagai gudang keanekaragaman hayati membutuhkan para pakar di bidang itu.
Meski begitu bukan berarti tak ada putra bangsa yang menggelutinya. Salah satunya Profesor Dr Djoko T Iskandar, dosen di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) Institut Teknologi Bandung (ITB).
Nama pakar di bidang ilmu keanekaragaman hayati itu kini mendunia berkat ketekunannya selama 40 tahun meneliti dan mencatat satu demi satu aneka jenis reptil dan amfibi yang menghuni tanah dan air bernama Indonesia. Di dunia hepertologi atau ilmu tentang reptil dan amfibi, nama Djoko cukup disegani.
Menurut Convention on Biological Diversity (1993), biodiversitas adalah keanekaragaman sumber daya hayati flora dan fauna, baik jenis, genetik, maupun ekosistem.
Konvensi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara Mega Biodiversity dengan lebih dari 10% spesies dunia hidup di negeri ini. Indonesia memiliki 25.000 spesies tumbuhan berbunga, 1.592 spesies burung, 515 spesies mamalia, 35 spesies primata, 781 jenis reptil, dan 270 spesies amfibi.
Kekayaan hayati yang melimpah ruah dimiliki Indonesia karena letak negara ini cukup unik, diapit oleh dua benua, Asia dan Australia serta dua samudera (Hindia-Pasifik), dan berada di antara dua sirkum, Mediterania dan Pasifik.
Meski menekuni bidang biodiversity yang berarti harus menghadapi kendala biaya dan birokrasi, namun kecintaan Prof Djoko tak surut. Dia justru merasa tertantang untuk menguak tabir biodiversitas yang dimiliki negeri ini, terutama reptil dan amfibi.
“Indonesia sangat kaya biodiversitas. Seandainya saya lahir tiga kali pun, belum tentu tuntas mengobservasi seluruh kekayaan hayati Indonesia, khususnya reptile,” kata Djoko di Kampus ITB, Jalan Ganeca, Kota Bandung, beberapa waktu lalu.
Dosen kelahiran Bandung 23 Agustus 1950 ini meneliti spesies katak, cicak, dan ular. Djoko lebih tertarik mempelajari katak karena sebaran spesies hewan amfibi itu beragam. Sebagai contoh, dari 1.500 ular hanya ditemukan lima spesies berbeda. Sedangkan katak memiliki 40 spesies berbeda.
Prof Djoko dengan hewan yang dapat melompat itu berawal setelah dia kembali ke Tanah Air seusai menuntaskan studi magister dan doktoral di Université des Sciences et Techniques du Languedoc, Montpellier, Prancis pada 1976.
Meski kondisi keuangan sedang menipis, namun semangat dan kegigihan Djoko untuk meneliti tak pernah padam. “Saya tidak mampu membeli peralatan untuk meneliti tikus karena harga perangkap mahal. Sementara, untuk mengobservasi katak, saya hanya perlu tangan dan senter,” ujar dia.
Awalnya, Djoko mengaku kesulitan dalam meneliti katak sebab bekal ilmu tentang hewan amfibi itu sangat minim. Untuk mengatasi kendala itu, dia mencari berbagai literatur tentang katak. Namun, literatur tentang spesies katak Indonesia pun sangat kurang. Bayangkan, sejak kemerdekaan Indonesia hingga 1976, hanya terdapat lima jurnal ilmiah dalam negeri yang membahas tentang spesies katak.
Kenyataan ini justru memantik semangat Djoko untuk serius meneliti katak. Dia meneliti, mempelajari, menulis, dan memublikasikan jurnal ilmiah sebanyak-banyaknya. Djoko ingin menunjukkan kepada dunia tentang biodiveritas katak di Indonesia.
Spesies katak Barbourula kalimantanensis adalah penemuan pertama Djoko pada 1977 yang mencengangkan dunia. Katak Barbourula kalimantanensis ditemukan saat Djoko melakukan ekspedisi ke Kalimantan Tengah.
Kodok dari famili Discoglossidae itu unik, yakni tak memiliki paru-paru. Penemuan spesies katak unik tersebut tidak lepas dari kontribusi rekannya yang tinggal di Chicago, Amerika Serikat yang memberikan sampel spesies katak Barbourula dari Filipina.
Sampai saat ini Djoko telah menemukan lebih dari 100 spesies reptil dan amfibi. Sebegai bentuk penghormatan atas jasanya dalam dunia herpetologi, peneliti dunia mengabadikan nama Djoko T Iskandar sebagai nama enam spesies reptil, di antaranya Djokoiskandarus Annulatus, Polypedates Iskandari, Draco Iskandari, Fejervarya Iskandari, Luperosaurus Iskandari, dan Collocasiomya Iskandari.
Selama 40 tahun menekuni karier sebagai hepertologis dan melakukan ekspedisi untuk menemukan spesies katak baru, Djoko telah kenyang pengalaman.
Keluar masuk hutan, bertemu hewan buas, dan konflik bersenjata telah dirasakannya. Belum lagi ancaman penyakit malaria. Penjelajahan Djoko bukan hanya di hutan Indonesia, tapi juga Inggris, Amerika, dan Kamboja.
“Saya telah menjelajah hampir semua hutan belantara di 32 provinsi di Indonesia. Ekspedisi di hutan Jawa itu angker, Sumatera disapa harimau, dan Kalimantan spesies reptil sedikit. Sulawesi dan Papua memiliki keanekaragaman hayati tinggi, namun risiko terkena malaria juga tinggi,” kenang Djoko.
Saat ekpedisi ke Sulawesi pada tahun 2000, Djoko terkendala konflik di Poso. “Kalau malam-malam ban mobil ditusuk orang. Kami bingung enggak ada bengkel terdekat. Bahkan di beberapa wilayah sering disangka sebagai orang kaya gila menghabiskan uang cuma untuk keluar masuk hutan, makanya sering dimanfaatkan,” ujarnya.
Berkat kegigihannya, sedikit demi sedikit misteri tentang katak terkuak. Pria penerima penghargaan Habibie Award 2005 di bidang Sains ini mengaku, dengan mempelajari katak dapat mengungkapkan misteri lain yang tersembunyi.
"Katak mewakili kondisi lingkungan dan habitatnya. Keselarasan proses biologi dengan geologi. Bahkan katak mampu memberikan prediksi kondisi geologi di masa lalu,” ungkap Djoko.
Djoko mencontohkan, di Sulawesi ditemukan tujuh spesies katak namun memiliki kekerabatan dekat. Hal itu membuktikan di masa lalu Pulau Sulawesi merupakan tujuh pulau terpisah yang akhirnya bergabung. Setelah dikonfirmasi dengan beberapa literatur, hipotesa itu benar. Selain itu, dengan meneliti pola evolusi katak, dapat diprediksi kapan waktu terjadinya penggabungan pulau tersebut.
Memasuki usia ke-68 tahun, Prof Djoko menyibukkan diri dengan menjadi dosen di SITH ITB. Meski begitu, dia masih aktif meneliti dan menulis jurnal ilmiah beberapa spesies reptil dan amfibi. Sayangnya, tiga tahun lalu, lutut Djoko mengalami pembengkakan sehingga harus dioperasi dan menjalani proses pemulihan selama enam bulan. Penyakit itu diidap Djoko pascaekspedisi ke Gunung Gandang Dewata, Sulawesi Barat.
Djoko menilai musibah tersebut peringatan bagi dirinya untuk menyudahi ekspedisi dan cukup melakukan penelitian di laboratorium serta menulis. Tulisan ilmiah tentang dua spesies katak genus Leptobrachella dari Kalimantan segera dirilis dalam Current Herpetology yang terbit pada Agustus 2018.
Meski begitu bukan berarti tak ada putra bangsa yang menggelutinya. Salah satunya Profesor Dr Djoko T Iskandar, dosen di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) Institut Teknologi Bandung (ITB).
Nama pakar di bidang ilmu keanekaragaman hayati itu kini mendunia berkat ketekunannya selama 40 tahun meneliti dan mencatat satu demi satu aneka jenis reptil dan amfibi yang menghuni tanah dan air bernama Indonesia. Di dunia hepertologi atau ilmu tentang reptil dan amfibi, nama Djoko cukup disegani.
Menurut Convention on Biological Diversity (1993), biodiversitas adalah keanekaragaman sumber daya hayati flora dan fauna, baik jenis, genetik, maupun ekosistem.
Konvensi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara Mega Biodiversity dengan lebih dari 10% spesies dunia hidup di negeri ini. Indonesia memiliki 25.000 spesies tumbuhan berbunga, 1.592 spesies burung, 515 spesies mamalia, 35 spesies primata, 781 jenis reptil, dan 270 spesies amfibi.
Kekayaan hayati yang melimpah ruah dimiliki Indonesia karena letak negara ini cukup unik, diapit oleh dua benua, Asia dan Australia serta dua samudera (Hindia-Pasifik), dan berada di antara dua sirkum, Mediterania dan Pasifik.
Meski menekuni bidang biodiversity yang berarti harus menghadapi kendala biaya dan birokrasi, namun kecintaan Prof Djoko tak surut. Dia justru merasa tertantang untuk menguak tabir biodiversitas yang dimiliki negeri ini, terutama reptil dan amfibi.
“Indonesia sangat kaya biodiversitas. Seandainya saya lahir tiga kali pun, belum tentu tuntas mengobservasi seluruh kekayaan hayati Indonesia, khususnya reptile,” kata Djoko di Kampus ITB, Jalan Ganeca, Kota Bandung, beberapa waktu lalu.
Dosen kelahiran Bandung 23 Agustus 1950 ini meneliti spesies katak, cicak, dan ular. Djoko lebih tertarik mempelajari katak karena sebaran spesies hewan amfibi itu beragam. Sebagai contoh, dari 1.500 ular hanya ditemukan lima spesies berbeda. Sedangkan katak memiliki 40 spesies berbeda.
Prof Djoko dengan hewan yang dapat melompat itu berawal setelah dia kembali ke Tanah Air seusai menuntaskan studi magister dan doktoral di Université des Sciences et Techniques du Languedoc, Montpellier, Prancis pada 1976.
Meski kondisi keuangan sedang menipis, namun semangat dan kegigihan Djoko untuk meneliti tak pernah padam. “Saya tidak mampu membeli peralatan untuk meneliti tikus karena harga perangkap mahal. Sementara, untuk mengobservasi katak, saya hanya perlu tangan dan senter,” ujar dia.
Awalnya, Djoko mengaku kesulitan dalam meneliti katak sebab bekal ilmu tentang hewan amfibi itu sangat minim. Untuk mengatasi kendala itu, dia mencari berbagai literatur tentang katak. Namun, literatur tentang spesies katak Indonesia pun sangat kurang. Bayangkan, sejak kemerdekaan Indonesia hingga 1976, hanya terdapat lima jurnal ilmiah dalam negeri yang membahas tentang spesies katak.
Kenyataan ini justru memantik semangat Djoko untuk serius meneliti katak. Dia meneliti, mempelajari, menulis, dan memublikasikan jurnal ilmiah sebanyak-banyaknya. Djoko ingin menunjukkan kepada dunia tentang biodiveritas katak di Indonesia.
Spesies katak Barbourula kalimantanensis adalah penemuan pertama Djoko pada 1977 yang mencengangkan dunia. Katak Barbourula kalimantanensis ditemukan saat Djoko melakukan ekspedisi ke Kalimantan Tengah.
Kodok dari famili Discoglossidae itu unik, yakni tak memiliki paru-paru. Penemuan spesies katak unik tersebut tidak lepas dari kontribusi rekannya yang tinggal di Chicago, Amerika Serikat yang memberikan sampel spesies katak Barbourula dari Filipina.
Sampai saat ini Djoko telah menemukan lebih dari 100 spesies reptil dan amfibi. Sebegai bentuk penghormatan atas jasanya dalam dunia herpetologi, peneliti dunia mengabadikan nama Djoko T Iskandar sebagai nama enam spesies reptil, di antaranya Djokoiskandarus Annulatus, Polypedates Iskandari, Draco Iskandari, Fejervarya Iskandari, Luperosaurus Iskandari, dan Collocasiomya Iskandari.
Selama 40 tahun menekuni karier sebagai hepertologis dan melakukan ekspedisi untuk menemukan spesies katak baru, Djoko telah kenyang pengalaman.
Keluar masuk hutan, bertemu hewan buas, dan konflik bersenjata telah dirasakannya. Belum lagi ancaman penyakit malaria. Penjelajahan Djoko bukan hanya di hutan Indonesia, tapi juga Inggris, Amerika, dan Kamboja.
“Saya telah menjelajah hampir semua hutan belantara di 32 provinsi di Indonesia. Ekspedisi di hutan Jawa itu angker, Sumatera disapa harimau, dan Kalimantan spesies reptil sedikit. Sulawesi dan Papua memiliki keanekaragaman hayati tinggi, namun risiko terkena malaria juga tinggi,” kenang Djoko.
Saat ekpedisi ke Sulawesi pada tahun 2000, Djoko terkendala konflik di Poso. “Kalau malam-malam ban mobil ditusuk orang. Kami bingung enggak ada bengkel terdekat. Bahkan di beberapa wilayah sering disangka sebagai orang kaya gila menghabiskan uang cuma untuk keluar masuk hutan, makanya sering dimanfaatkan,” ujarnya.
Berkat kegigihannya, sedikit demi sedikit misteri tentang katak terkuak. Pria penerima penghargaan Habibie Award 2005 di bidang Sains ini mengaku, dengan mempelajari katak dapat mengungkapkan misteri lain yang tersembunyi.
"Katak mewakili kondisi lingkungan dan habitatnya. Keselarasan proses biologi dengan geologi. Bahkan katak mampu memberikan prediksi kondisi geologi di masa lalu,” ungkap Djoko.
Djoko mencontohkan, di Sulawesi ditemukan tujuh spesies katak namun memiliki kekerabatan dekat. Hal itu membuktikan di masa lalu Pulau Sulawesi merupakan tujuh pulau terpisah yang akhirnya bergabung. Setelah dikonfirmasi dengan beberapa literatur, hipotesa itu benar. Selain itu, dengan meneliti pola evolusi katak, dapat diprediksi kapan waktu terjadinya penggabungan pulau tersebut.
Memasuki usia ke-68 tahun, Prof Djoko menyibukkan diri dengan menjadi dosen di SITH ITB. Meski begitu, dia masih aktif meneliti dan menulis jurnal ilmiah beberapa spesies reptil dan amfibi. Sayangnya, tiga tahun lalu, lutut Djoko mengalami pembengkakan sehingga harus dioperasi dan menjalani proses pemulihan selama enam bulan. Penyakit itu diidap Djoko pascaekspedisi ke Gunung Gandang Dewata, Sulawesi Barat.
Djoko menilai musibah tersebut peringatan bagi dirinya untuk menyudahi ekspedisi dan cukup melakukan penelitian di laboratorium serta menulis. Tulisan ilmiah tentang dua spesies katak genus Leptobrachella dari Kalimantan segera dirilis dalam Current Herpetology yang terbit pada Agustus 2018.
(dam)