Puisi Sukmawati Bikin Politik Identitas Makin Terlihat
A
A
A
JAKARTA - Puisi berjudul Ibu Indonesia yang dibacakan Putri Proklamator, Bung Karno, Sukmawati Soekarnoputri pada gelaran Indonesian Fashion Week di Jakarta Convention Center pada 29 Maret 2018, terus menuai komentar dan cibiran dari masyarakat.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Praytino berharap, Sukmawati segera meminta maaf kepada masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam yang merasa tersinggung dengan isi puisi tersebut.
"Tapi pernintaan maaf itu sepertinya tak menghentikan keinginan persaudaraan alumni 212 untuk melaporkan (Sukmawati) ke polisi hari ini," ujar Adi saat dihubungi SINDOnews, Rabu (4/4/2018).
Adi menilai, meski puisi yang dibacakan Sukmawati bentuk ekspresi pribadi dari individunya yang mengklaim sebagai budayawan, namun isi puisi tersebut justru memperkeruh situasi masyarakat yang terbelah.
(Baca juga: Puisi Kontroversial, Gus Yaqut: Sukmawati Harus Menjelaskan)
Menurutnya, puisi tersebut sama sekali tak mencerminkan pemahaman Islam seperti yang diajarkan ayahnya, Bung Karno. Terlebih, puisi itu terdengar di telinga masyarakat di tengah tahun politik ini.
"Tentunya (dampak dari puisi itu) politik identitas akan mengental yang bisa dimobilisir untuk kepentingan politik tertentu," pungkasnya.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Praytino berharap, Sukmawati segera meminta maaf kepada masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam yang merasa tersinggung dengan isi puisi tersebut.
"Tapi pernintaan maaf itu sepertinya tak menghentikan keinginan persaudaraan alumni 212 untuk melaporkan (Sukmawati) ke polisi hari ini," ujar Adi saat dihubungi SINDOnews, Rabu (4/4/2018).
Adi menilai, meski puisi yang dibacakan Sukmawati bentuk ekspresi pribadi dari individunya yang mengklaim sebagai budayawan, namun isi puisi tersebut justru memperkeruh situasi masyarakat yang terbelah.
(Baca juga: Puisi Kontroversial, Gus Yaqut: Sukmawati Harus Menjelaskan)
Menurutnya, puisi tersebut sama sekali tak mencerminkan pemahaman Islam seperti yang diajarkan ayahnya, Bung Karno. Terlebih, puisi itu terdengar di telinga masyarakat di tengah tahun politik ini.
"Tentunya (dampak dari puisi itu) politik identitas akan mengental yang bisa dimobilisir untuk kepentingan politik tertentu," pungkasnya.
(maf)