Usung Revolusi Putih, Gerindra Ingin Gizi Anak Meningkat

Rabu, 28 Maret 2018 - 15:38 WIB
Usung Revolusi Putih, Gerindra Ingin Gizi Anak Meningkat
Usung Revolusi Putih, Gerindra Ingin Gizi Anak Meningkat
A A A
JAKARTA - Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra, Aryo Djojohadikusumo mengingatkan, sekitar 39% anak-anak di Indonesia mengalami kekurangan gizi.

Hal ini dikatakannya berdampak bagi bangsa pada masa mendatang. Jika persoalan tersebut tidak diatasi maka keinginan pemerintah untuk menggenjot perekonomian dari sektor ekonomi kreatif pada masa mendatang, terutama dari sektor digital akan sulit diwujudkan.

“Orang yang paham soal digital tentu memerlukan asupan gizi termasuk susu. Ini yang harus diperhatikan,” kata Aryo dalam seminar yang digelar Fraksi Partai Gerindra MPR yang mengangkat tema Revolusi Putih untuk Generasi Bangsa yang Sehat dan Berprestasi, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (28/03/2018).

Seminar yang dibuka oleh ketua panitia acara Putih Sari ini menghadirkan pembicara Ketua Persatuan Gizi dan Pangan Indonesia, Hardiansyah dan Wagub DKI Jakarta Sandiaga S Uno.

Aryo melanjutkan, digital adalah hal yang penting. Namun asupan gizi untuk anak-anak juga tak kalah pentingnya. Jadi, kata dia, buat apa bicara pasang target pertumbuhan ekonomi dari sektor digital jika anak Indonesia masih kurang gizi.

”Tertidur setiap kali di sekolah. Bagaimana kita mau menggadapi era digital," kata Aryo.

Aryo menambahkan, pemenuhan asupan gizi bagi anak-anak terkait erat dengan sila kelima Pancasila. Untuk itu, kata dia, Partai Gerindra sampai sekarang concern dan mengedepankan pentingnya kebutuhan gizi anak.

"Percuma kita bicara Pancasila kalau anak kita kurang gizi. Tolong ada hampir 40 persen dari anak kita yang kekurangan gizi percuma kita teriak-teriak saya pancasila," tegasnya.

Sementara itu Menteri Kesehatan Nina Moeloek diwakili Plt. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Pattiselano Robert Johan mengatakan, keberadaan gagasan Revolusi Putih yang menjadikan susu sebagai konsumsi harian masyarakat Indonesia perlu dikaji ulang.

Menurut dia, hal itu didasari atas data prevalensi intoleransi laktosa yang cukup tinggi, di samping risiko kejadian alergi susu, serta besarnya risiko kontaminasi susu yang tidak disajikan atau disimpan secara tepat.

Intoleransi laktosa adalah ketidakmampuan mencerna laktosa dalam susu atau makanan dari produk susu dengan gejala berupa nyeri pada perut, kembung dan diare. Gangguan lain yang bisa timbul pada anak setelah mengkonsumsi susu adalah alergi susu sapi

Sementara itu dari sisi ekonomi, susu yang difortifikasi harganya akan menjadi lebih mahal sehingga tidak semua masyarakat dapat menjangkau.

“Maka saat ini banyak dijumpai kelompok masyarakat tertentu yang gemar mengonsumsi susu kental manis atau krimer karena harganya yang murah. Namun perlu diperhatikan bahwa kandungan gula dalam produk tersebut sangat tinggi,” tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3669 seconds (0.1#10.140)