Pemerintah Sempat Yakini Zaini Misrin Tak Akan Dihukum Mati
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia sempat yakin bahwa Muhammad Zaini Misrin, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Bangkalan, Madura, Jawa Timur, tidak dieksekusi mati oleh Arab Saudi. Sebab, proses peninjauan kembali (PK) kedua atas kasus Zaini Misrin masih berjalan.
"Jadi PK kedua itu sudah dimulai. Asumsi kita dengan adanya PK, maka tidak akan dilakukan hukuman mati. Karena sesuai KUHAP di Arab Saudi kalau PK sudah dimulai, akan ditangguhkan hukuman badannya sampai ada putusan berikutnya," ujar Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal usai rapat konsultasi tim pengawas TKI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (21/3/2018).
Maka itu, kata dia, pemerintah kaget dengan hukuman pancung Arab Saudi kepada Zaini Misrin itu. Terlebih, Pemerintah Arab Saudi tidak memberikan informasi kepada Pemerintah Indonesia tentang eksekusi mati Zaini Misrin tersebut.
"Yang kita kaget adalah eksekusinya itu tanpa pemberitahauan dan bahwa situasi kita sudah tahu, tapi yang kita tidak tahu kapan dieksekusinya," tuturnya.
Dia mengungkapkan, sebanyak 46 WNI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi pada periode tahun 2015 hingga 2018. Dia menjelaskan, empat di antaranya merupakan kasus baru.
"Selebihnya adalah kasus bawaan dari periode sebelumnya. Jadi, 42 kasus itu adalah kasus yang dibawa dari periode sebelumnya yang sudah selesai, hanya empat kasus muncul pada periode 2015-2018," ungkapnya.
Lebih lanjut, kata dia, dari jumlah tersebut 23 orang di antaranya berhasil dibebaskan dari hukuman. "Yang dieksekusi tiga orang (termasuk Zaini Misrin, red) dan sekarang tersisa ada 20 orang," ucapnya.
Diketahui, pada 13 Juli 2004 Zaini Misrin ditangkap oleh Kepolisian Mekkah karena tuduhan melakukan pembunuhan terhadap majikannya atas nama Abdullah bin Umar. Penangkapan dilakukan atas laporan anak kandung korban, di mana Zaini saat itu adalah sopir pribadi Abdullah bin Umar.
Sejak saat penangkapan, KBRI Riyadh maupun KJRI Jeddah tidak pernah memperoleh notifikasi mengenai kasus ini dari Pemerintah Arab Saudi. Baru setelah Pengadilan Negeri Mekkah (Mahkamah Aam) memutuskan hukuman mati qishas pada November 2008, KJRI memperoleh pemberitahuan dari Pemerintah Arab Saudi.
Dalam proses penyidikan/interogasi, Zaini didampingi tiga penerjemah. Namun, dari tiga penerjemah itu, satu orang penerjemah atas nama Abdul Azis menolak menandatangani BAP karena merasa apa yang diterjemahkannya tidak sesuai dengan apa yang tertuang dalam BAP.
Begitu mengetahui keputusan tersebut KJRI Jeddah melalui pengacara mengajukan banding. Namun dalam sidang banding dan kasasi, pengadilan menguatkan keputusan sebelumnya.
Sejak mengetahui kasus ini pada 2008, beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah antara lain 40 kali kunjungan ke penjara. Rinciannya dua kali penunjukan pengacara (2011-2015 dan 2016-sampai saat ini), dua kali fasilitasi kekuarga di Indonesia untuk bertemu dengan kekuarga korban (2015 dan 2017), serta 16 kali pendampingan di mahkamah, lembaga pemaafan dan kepolisian.
Selain itu, pemerintah sudah 42 kali mengirim nota diplomatik dan surat dari Dubes/Konjen RI kepada Kemlu Saudi dan pejabat tinggi Arab Saudi lainnya. Bahkan kasus itu sudah tiga kali diangkat dalam pembicaraan Presiden Jokowi dengan Raja Saudi, satu kali diangkat dalam pembicaraan Menlu dengan Raja Salman, tiga kali diangkat dalam pembicaraan Menlu RI dengan Menlu Arab Saudi, dan tiga kali pertemuan Dubes/Konjen dengan Gubernur Mekkah.
"Jadi PK kedua itu sudah dimulai. Asumsi kita dengan adanya PK, maka tidak akan dilakukan hukuman mati. Karena sesuai KUHAP di Arab Saudi kalau PK sudah dimulai, akan ditangguhkan hukuman badannya sampai ada putusan berikutnya," ujar Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal usai rapat konsultasi tim pengawas TKI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (21/3/2018).
Maka itu, kata dia, pemerintah kaget dengan hukuman pancung Arab Saudi kepada Zaini Misrin itu. Terlebih, Pemerintah Arab Saudi tidak memberikan informasi kepada Pemerintah Indonesia tentang eksekusi mati Zaini Misrin tersebut.
"Yang kita kaget adalah eksekusinya itu tanpa pemberitahauan dan bahwa situasi kita sudah tahu, tapi yang kita tidak tahu kapan dieksekusinya," tuturnya.
Dia mengungkapkan, sebanyak 46 WNI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi pada periode tahun 2015 hingga 2018. Dia menjelaskan, empat di antaranya merupakan kasus baru.
"Selebihnya adalah kasus bawaan dari periode sebelumnya. Jadi, 42 kasus itu adalah kasus yang dibawa dari periode sebelumnya yang sudah selesai, hanya empat kasus muncul pada periode 2015-2018," ungkapnya.
Lebih lanjut, kata dia, dari jumlah tersebut 23 orang di antaranya berhasil dibebaskan dari hukuman. "Yang dieksekusi tiga orang (termasuk Zaini Misrin, red) dan sekarang tersisa ada 20 orang," ucapnya.
Diketahui, pada 13 Juli 2004 Zaini Misrin ditangkap oleh Kepolisian Mekkah karena tuduhan melakukan pembunuhan terhadap majikannya atas nama Abdullah bin Umar. Penangkapan dilakukan atas laporan anak kandung korban, di mana Zaini saat itu adalah sopir pribadi Abdullah bin Umar.
Sejak saat penangkapan, KBRI Riyadh maupun KJRI Jeddah tidak pernah memperoleh notifikasi mengenai kasus ini dari Pemerintah Arab Saudi. Baru setelah Pengadilan Negeri Mekkah (Mahkamah Aam) memutuskan hukuman mati qishas pada November 2008, KJRI memperoleh pemberitahuan dari Pemerintah Arab Saudi.
Dalam proses penyidikan/interogasi, Zaini didampingi tiga penerjemah. Namun, dari tiga penerjemah itu, satu orang penerjemah atas nama Abdul Azis menolak menandatangani BAP karena merasa apa yang diterjemahkannya tidak sesuai dengan apa yang tertuang dalam BAP.
Begitu mengetahui keputusan tersebut KJRI Jeddah melalui pengacara mengajukan banding. Namun dalam sidang banding dan kasasi, pengadilan menguatkan keputusan sebelumnya.
Sejak mengetahui kasus ini pada 2008, beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah antara lain 40 kali kunjungan ke penjara. Rinciannya dua kali penunjukan pengacara (2011-2015 dan 2016-sampai saat ini), dua kali fasilitasi kekuarga di Indonesia untuk bertemu dengan kekuarga korban (2015 dan 2017), serta 16 kali pendampingan di mahkamah, lembaga pemaafan dan kepolisian.
Selain itu, pemerintah sudah 42 kali mengirim nota diplomatik dan surat dari Dubes/Konjen RI kepada Kemlu Saudi dan pejabat tinggi Arab Saudi lainnya. Bahkan kasus itu sudah tiga kali diangkat dalam pembicaraan Presiden Jokowi dengan Raja Saudi, satu kali diangkat dalam pembicaraan Menlu dengan Raja Salman, tiga kali diangkat dalam pembicaraan Menlu RI dengan Menlu Arab Saudi, dan tiga kali pertemuan Dubes/Konjen dengan Gubernur Mekkah.
(kri)