Pengurus Kowani Hadiri Sidang ke-62 CSW di New York

Kamis, 15 Maret 2018 - 19:05 WIB
Pengurus Kowani Hadiri Sidang ke-62 CSW di New York
Pengurus Kowani Hadiri Sidang ke-62 CSW di New York
A A A
BANDUNG - Pengurus Kongres Wanita Indonesia (Kowani) menghadiri Sidang ke-62 Commission on the Status of Women (CSW) yang berlangsung di Markas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat, 12 Maret-23 Maret 2018. Tahun ini CSW mengangkat tema Empowering Rural Woman And Girls.

Ketua Umum Kowani Giwo Rubianto Wiyogo mengatakan, Kowani hadir di acara tahunan ini karena memiliki komitmen dan berkolaborasi berkesinambungan untuk memberdayakan perempuan dan perlindungan anak perempuan di perdesaan tertinggal dan terpencil.

Tanpa pemberdayaan perempuan dan kerja sama antarnegara, kata dia, Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) tidak akan tercapai.

“Tugas pemerintah adalah membangun infrastruktur, sanitasi, kesehatan, ekonomi dan pendidikan sejalan dengan Program Nawacita Bapak Presiden,” kata Giwo melalui keterangan tertulis yang diterima SINDONews, Kamis (15/3/2018).

Selain Giwo, pengurus Kowani lain yang juga menghadiri sidang tersebut antara lain Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri (HLN) Kowani Hadriani Uli Silalahi, Ketua Bidang Humas Kowani Heryana Hutabarat. Anggota Bidang HLN Kowani Tantri Djatmika, Lisye Sinulingga, dan Sharmila, serta anggot Bidang Humas Kowani Prosidawaty Tarigan dan Mediasti Sutopo.

Hadir pula Ani Budiarti dari Bidang Hukum dan HAM Kowani. Silvy Mogot de Winter dari Dian Kemala, Retno Sri Endah Lestari dari Iswi, Reni Akbar Dan Heni dari FKPPI.

Saat membuka Sidang ke-62 CSW, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guttares mengatakan, keberhasilan perempuan tidak didapatkan secara cuma-cuma atau diberikan, tetapi melalui usaha dan kerja keras.“Taken not given (raih bukan diberi),” kata Antonio.

Direktur Eksekutif UN Women Phumzile Mlambo-Ngcuka mengatakan, perempuan harus bersatu, sehat jasmani, dan rohani untuk mencapai tujuan. Namun, faktanya 80% perempuan perdesaan masih tertinggal. Mereka juga menderita kekurangan nutrirsi, anemia sehingga mengakibatkan kematian ibu. Kondisi ini dipicu oleh faktor infrastruktur untuk akses penyediaan air minum dan bersih masih sangat minim.

“Kita (kaum perempuan-red) harus berani menghentikan ketertinggalan dan kekerasaan yang dialami oleh mereka (perempuan dan gadis perdesaan-red). Suara wanita harus diperhitungkan. Kita harus menuntut kesetaraan dalam hal pendidikan dan kesehatan,” kata Phumzile.

Dia mengemukakan, masalah kesehatan perempuan perdesaan dipicu oleh pernikahan dini dan hamil di bawah umur. Bahkan membuat mereka rentan terhadap kematian. Karena itu, Phumzile mengajak seluruh negara untuk berupaya agar anak perempuan tidak menikah pada usia dini. Persoalannya, pernikahan dini masih terjadi karena perempuan mendapatkan tekanan dari keluarga.

“Masih banyak anak perempuan dipaksa menikah dengan pria yang rentang usianya sangat jauh. Contoh di Zambia, anak perempuan berusia 15 tahun dipaksa menikah dengan suami yang usianya terpaut 30 tahun,” ujar Phumzile.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5900 seconds (0.1#10.140)