Kasus E-KTP, Dokter Bimanesh Terancam Penjara 12 Tahun
A
A
A
JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa dokter spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Medika Permata Hijau (RSMPH) Bimanesh Sutarjo telah menghalangi penyidikan kasus korupsi proyek e-KTP dengan ancaman 12 tahun pidana penjara.
Perbuatan pidana Bimanesh Sutarjo tertuang dalam surat dakwaan nomor: 27/TUT.01.04/24/02/2018. Surat dakwaan Bimanesh dibacakan secara bergantian oleh JPU yang diketuai Kresno Anto Wibowo dan Fitroh Rohcahyanto dengan anggota di antaranya Ni Nengah Gina Saraswati, Moch Takdir Suhan, Herry BS Ratna Putra, dan Ikhsan Fernandi Z, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (8/3/2018).
JPU Kresno Anto Wibowo menyatakan, Bimanesh Sutarjo melakukan perbuatan pidana bersama advokat sekaligus pendiri dan Managing Patners kantor hukum Yunadi & Associates Frederich Yunadi telah melakukan perbuatan dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP dengan tersangka saat itu Setya Novanto. Perbuatan pidana terjadi pada 16 November 2017.
"Terdakwa melakukan rekayasa agar Setya Novanto dirawat inap di RSMPH dalam rangka menghindari pemeriksaan penyidikan oleh penyidik KPK terhadap Setya Novanto sebagai tersangka perkara tindak pidana korupsi e-KTP," tegas JPU Kresno saat membacakan surat dakwaan atas nama Bimanesh.
Kresno menggariskan, Fredrich melobi Setya Novanto agar Setya Novanto menjadikan Fredrich sebagai penasihat hukumnya. Fredrich juga memberikan saran ke Setya Novanto agar tidak memenuhi panggilan pemeriksaan yang dilayangkan penyidik KPK untuk pemeriksaan 15 November 2017. Sehari berselang, Bimanesh yang sudah mengenal lama dengan Fredrich dihubungi Fredrich.
Fredrich meminta bantuan Bimanesh untuk dilakukan rawat inap di RSMPH terhadap Setya Novanto dengan beberapa penyakit termasuk hipertensi. Bimanesh menyanggup, padahal Bimanesh mengetahui Setya Novanto sedang menjadi tersangka e-KTP dan ditangani KPK.
Singkat cerita, untuk memuluskan hal tersebut Bimanesh melakukan intervensi ke beberapa orang. Di antaranya, menghubungi dokter Alia selaku Plt Manajer Pelayanan untuk pemesanan ruang rawat VIP. Bimanesh juga memberikan telepon ke Fredrich untuk berbicara dengan dokter Alia di mana intinya Ferdrich meminta agar disiapkan ruang VIP dan memesan tambahan ruangan serta perawat yang berpengalaman untuk merawat Setya Novanto.
Selain itu, pada 16 November 2017 sore Bimanesh menemui dokter Michael Chia Cahaya yang saat itu bertugas sebagai dokter jaga di IGD RSMPH untuk membuat surat pengantar rawat inap dengan diagnosa kecelakaan mobil. Padahal Setya Novanto belum mengalami kecelakaan.
Karena Michaela menolak, Bimanesh kemudian membuat surat pengantar rawat inap manggunakan form surat pasien baru IGD, padahal dia bukan dokter jaga IGD. Di surat pengantar rawat inap Bimanesh menuliskan diagnosis hipertensi, vertigo, dan diabetes melitus sekaligus membuat catatan harian dokter yang merupakan catatan hasil pemeriksaan awal terhadap pasien.
Padahal Bimanesh belum memeriksa Novanto dan tidak pernah mendapatkan konfirmasi dari dokter yang menangani Setya Novanto sebelumnya di RS Premier Jatinegara. Bimanesh lantas memerintahkan Indri Astuti (perawat) agar surat pengantar rawat inap dari IGD yang telah dibuat Bimanesh dibuang dan diganti baru dengan surat pengantar dari Poli yang diisi oleh dr Bimanesh. Tujuannya untuk pendaftaran pasien atas nama Setya Novanto di bagian administrasi rawat inap. Padahal pada sore itu bukan jadwal praktik Bimanesh.
Anggota JPU Moch Takdir Suhan menuturkan, Bimanesh juga menyampaikan kepada Indri Astuti agar luka di kepala Setya Novanto untuk diperban sebagaimana permintaan dari Setya Novanto. Selain itu Bimanesh memerintahkan Indri Astuti agar Setya Novanto pura-pura dipasang infus, yakni sekedar hanya ditempel saja. Tapi Indri tetap melakukan pemasangan infus menggunakan jarum kecil ukurun 24 yang biasa dipakai untuk anak-anak.
"Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana," tegas JPU Takdir.
Pasal ini mengatur klausal, bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.
Perbuatan pidana Bimanesh Sutarjo tertuang dalam surat dakwaan nomor: 27/TUT.01.04/24/02/2018. Surat dakwaan Bimanesh dibacakan secara bergantian oleh JPU yang diketuai Kresno Anto Wibowo dan Fitroh Rohcahyanto dengan anggota di antaranya Ni Nengah Gina Saraswati, Moch Takdir Suhan, Herry BS Ratna Putra, dan Ikhsan Fernandi Z, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (8/3/2018).
JPU Kresno Anto Wibowo menyatakan, Bimanesh Sutarjo melakukan perbuatan pidana bersama advokat sekaligus pendiri dan Managing Patners kantor hukum Yunadi & Associates Frederich Yunadi telah melakukan perbuatan dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP dengan tersangka saat itu Setya Novanto. Perbuatan pidana terjadi pada 16 November 2017.
"Terdakwa melakukan rekayasa agar Setya Novanto dirawat inap di RSMPH dalam rangka menghindari pemeriksaan penyidikan oleh penyidik KPK terhadap Setya Novanto sebagai tersangka perkara tindak pidana korupsi e-KTP," tegas JPU Kresno saat membacakan surat dakwaan atas nama Bimanesh.
Kresno menggariskan, Fredrich melobi Setya Novanto agar Setya Novanto menjadikan Fredrich sebagai penasihat hukumnya. Fredrich juga memberikan saran ke Setya Novanto agar tidak memenuhi panggilan pemeriksaan yang dilayangkan penyidik KPK untuk pemeriksaan 15 November 2017. Sehari berselang, Bimanesh yang sudah mengenal lama dengan Fredrich dihubungi Fredrich.
Fredrich meminta bantuan Bimanesh untuk dilakukan rawat inap di RSMPH terhadap Setya Novanto dengan beberapa penyakit termasuk hipertensi. Bimanesh menyanggup, padahal Bimanesh mengetahui Setya Novanto sedang menjadi tersangka e-KTP dan ditangani KPK.
Singkat cerita, untuk memuluskan hal tersebut Bimanesh melakukan intervensi ke beberapa orang. Di antaranya, menghubungi dokter Alia selaku Plt Manajer Pelayanan untuk pemesanan ruang rawat VIP. Bimanesh juga memberikan telepon ke Fredrich untuk berbicara dengan dokter Alia di mana intinya Ferdrich meminta agar disiapkan ruang VIP dan memesan tambahan ruangan serta perawat yang berpengalaman untuk merawat Setya Novanto.
Selain itu, pada 16 November 2017 sore Bimanesh menemui dokter Michael Chia Cahaya yang saat itu bertugas sebagai dokter jaga di IGD RSMPH untuk membuat surat pengantar rawat inap dengan diagnosa kecelakaan mobil. Padahal Setya Novanto belum mengalami kecelakaan.
Karena Michaela menolak, Bimanesh kemudian membuat surat pengantar rawat inap manggunakan form surat pasien baru IGD, padahal dia bukan dokter jaga IGD. Di surat pengantar rawat inap Bimanesh menuliskan diagnosis hipertensi, vertigo, dan diabetes melitus sekaligus membuat catatan harian dokter yang merupakan catatan hasil pemeriksaan awal terhadap pasien.
Padahal Bimanesh belum memeriksa Novanto dan tidak pernah mendapatkan konfirmasi dari dokter yang menangani Setya Novanto sebelumnya di RS Premier Jatinegara. Bimanesh lantas memerintahkan Indri Astuti (perawat) agar surat pengantar rawat inap dari IGD yang telah dibuat Bimanesh dibuang dan diganti baru dengan surat pengantar dari Poli yang diisi oleh dr Bimanesh. Tujuannya untuk pendaftaran pasien atas nama Setya Novanto di bagian administrasi rawat inap. Padahal pada sore itu bukan jadwal praktik Bimanesh.
Anggota JPU Moch Takdir Suhan menuturkan, Bimanesh juga menyampaikan kepada Indri Astuti agar luka di kepala Setya Novanto untuk diperban sebagaimana permintaan dari Setya Novanto. Selain itu Bimanesh memerintahkan Indri Astuti agar Setya Novanto pura-pura dipasang infus, yakni sekedar hanya ditempel saja. Tapi Indri tetap melakukan pemasangan infus menggunakan jarum kecil ukurun 24 yang biasa dipakai untuk anak-anak.
"Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana," tegas JPU Takdir.
Pasal ini mengatur klausal, bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.
(maf)