Pilpres 2019, Demokrat Terbuka dengan Opsi Poros Ketiga
A
A
A
JAKARTA - Wacana pembentukan poros ketiga di luar poros Joko Widodo dan Prabowo Subianto dalam konstelasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 terus menggelinding. Opsi poros ketiga dinilai sebagai sebuah keniscayaan dalam dunia politik yang dinamis.
Hal itu disampaikan Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasman) Pemenangan Pilkada dan Pemilu 2019 Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) seusai bersilaturahmi dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta, Selasa (6/3/2018). AHY menilai ke mungkinan ada poros ketiga akan selalu ada. Menurutnya, dalam politik semua sangat mungkin, tapi bergantung pada konsensus partai politik.
"Tinggal apakah ada kompromi, ada konsensus dari sejumlah partai politik yang kemudian mengatakan kita berada di poros satu, poros dua, atau membangun poros ketiga," ujarnya.
Menurut AHY, Partai Demokrat saat ini terus mencermati dinamika politik di Tanah Air. Dengan kondisi dinamika politik di Indonesia yang demikian tinggi, sebuah keputusan politik tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. "Tapi sekali lagi, cairnya, dinamisnya, politik Indonesia hari ini menyulitkan kita untuk menentukan secara konklusif terhadap sesuatu yang masih mungkin terjadi empat bulan ke depan," ungkapnya.
AHY bertemu Presiden di Istana kemarin untuk mengundang Presiden Jokowi dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat. Dalam pertemuan tersebut, AHY mengaku ada beberapa hal yang diperbincangkan. Tetapi, dia mengaku tidak ada pembicaraan terkait pencalonan presiden pada pemilu mendatang.
"Kami tak bicara secara khusus ke arah sana. Kita bicara agar demokrasi semakin sehat, matang, dan juga edukasi seluruh warga. Jangan sampai terbelenggu politik praktis jangka pendek. Kita harus memahami demokrasi bukan tujuan akhir, tapi upaya untuk melahirkan gagasan," katanya.
Ditanyakan kemungkinan Partai Demokrat merapat ke Jokowi, AHY kembali mengemukakan bahwa hal tersebut mungkin saja terjadi. Tetapi, dia mengatakan bahwa Partai Demokrat saat ini masih belum memiliki sikap terkait siapa yang akan diusung. "Tapi, pada akhirnya Partai Demokrat akan menentukan sikapnya bersama-sama dengan parpol lain karena ingat berdasarkan karena ada ambang batas, maka Demokrat tidak bisa sendirian," tuturnya.
Sementara itu, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menilai opsi poros ketiga di Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 untuk dinamisasi demokrasi di Tanah Air. Maka itu, pria yang akrab disapa Cak Imin itu tidak mempersoalkan itu. "Kepada partai-partai yang mengajak poros baru tujuannya mendinamisasi demokrasi di Tanah Air," ujar Cak Imin di Masjid Baiturrahman Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (6/3/2018).
Dia menambahkan, dinamisasi dialektika yang ada di dalam proses demokrasi tentu harus dipahami semua pihak. "Tapi, kita tetap PKB dalam posisi saling menjaga komunikasi dan saya jawab kepada mereka saling mendukung," kata mantan menteri tenaga kerja dan transmigrasi era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini.
Kendati demikian, Cak Imin tetap optimistis akan digandeng sebagai calon wakil presiden oleh Presiden Joko Wi dodo (Jokowi) untuk maju di Pilpres 2019. "Saya masih optimistis Pak Jokowi akan mengajak saya," katanya.
Cak Imin mengungkapkan, pihaknya meyakini bahwa kebersamaan koalisi dengan PDI Perjuangan dan partai politik di pemerintahan saat ini sangat nyaman. Karena itu, kembali berkoalisi di Pilpres 2019 menjadi pilihan yang paling realistis dan nyaman bagi PDIP. Meski begitu, dalam menentukan sikap politik dirinya masih menunggu perkembangan para kiai dan para ulama yang berkirim surat kepadanya supaya tidak terlalu cepat mengambil keputusan.
"Mereka semua para kiai mengajak musyawarah khusus dalam waktu dekat untuk melakukan pembicaraan ke mana arah dukungan PKB. Tetapi, saya secara pribadi dan teman-teman kebanyakan merasa lebih nyaman dengan koalisi yang sudah ada," ungkapnya.
Mantan wakil ketua DPR ini mengungkapkan, dalam menentukan sikap di pilpres ada tiga hal yang juga masih menjadi pertimbangan PKB. Khususnya terkait dengan saran dan masukan dari para kiai. "Pertama, para kiai, mereka informasinya masih menunggu informasi langit atau istikharah. Kedua, para kiai juga melakukan diskusi dan analisis di antara mereka. Yang ketiga, mereka juga akan mengonsultasikan dengan kiai-kiai NU di berbagai tempat," terang Cak Imin.
Sementara itu, Ketua DPP PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno mengungkapkan, hal wajar dan juga sah-sah saja ketika partai koalisi menawarkan kader terbaiknya untuk dipinang menjadi cawapres pendamping Jokowi sebab semua partai tentu menyiapkan kader terbaiknya untuk diusung di pilpres. "Namun, di dalam koalisi juga tentunya ada pertimbangan-pertimbangan yang komprehensif, termasuk nantinya bagaimana pertimbangan dari Presiden Jokowi mengenai sosok ideal yang akan mendampinginya sebagai cawapres," kata Hendrawan.
Soal peluang, kata dia, tentu semua partai mitra koalisi berpeluang kadernya dipinang Preiden Jokowi sebagai cawapres. Namun, kata dia, bisa jadi Presiden dengan pertimbangan tertentu kemudian memutuskan bahwa sosok cawapresnya bukan dari kalangan parpol. Kalau itu yang diputuskan, tentu semua partai koalisi juga harus menerimanya.
"Misalkan terjadi seperti zaman di mana Pak SBY yang awalnya disodorkan beberapa nama dari partai koalisi, tetapi pada akhirnya justru memilih Pak Boediono. Nah, yang seperti itu dalam politik sangat mungkin terjadi," ungkapnya.
Hal itu disampaikan Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasman) Pemenangan Pilkada dan Pemilu 2019 Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) seusai bersilaturahmi dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta, Selasa (6/3/2018). AHY menilai ke mungkinan ada poros ketiga akan selalu ada. Menurutnya, dalam politik semua sangat mungkin, tapi bergantung pada konsensus partai politik.
"Tinggal apakah ada kompromi, ada konsensus dari sejumlah partai politik yang kemudian mengatakan kita berada di poros satu, poros dua, atau membangun poros ketiga," ujarnya.
Menurut AHY, Partai Demokrat saat ini terus mencermati dinamika politik di Tanah Air. Dengan kondisi dinamika politik di Indonesia yang demikian tinggi, sebuah keputusan politik tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. "Tapi sekali lagi, cairnya, dinamisnya, politik Indonesia hari ini menyulitkan kita untuk menentukan secara konklusif terhadap sesuatu yang masih mungkin terjadi empat bulan ke depan," ungkapnya.
AHY bertemu Presiden di Istana kemarin untuk mengundang Presiden Jokowi dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat. Dalam pertemuan tersebut, AHY mengaku ada beberapa hal yang diperbincangkan. Tetapi, dia mengaku tidak ada pembicaraan terkait pencalonan presiden pada pemilu mendatang.
"Kami tak bicara secara khusus ke arah sana. Kita bicara agar demokrasi semakin sehat, matang, dan juga edukasi seluruh warga. Jangan sampai terbelenggu politik praktis jangka pendek. Kita harus memahami demokrasi bukan tujuan akhir, tapi upaya untuk melahirkan gagasan," katanya.
Ditanyakan kemungkinan Partai Demokrat merapat ke Jokowi, AHY kembali mengemukakan bahwa hal tersebut mungkin saja terjadi. Tetapi, dia mengatakan bahwa Partai Demokrat saat ini masih belum memiliki sikap terkait siapa yang akan diusung. "Tapi, pada akhirnya Partai Demokrat akan menentukan sikapnya bersama-sama dengan parpol lain karena ingat berdasarkan karena ada ambang batas, maka Demokrat tidak bisa sendirian," tuturnya.
Sementara itu, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menilai opsi poros ketiga di Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 untuk dinamisasi demokrasi di Tanah Air. Maka itu, pria yang akrab disapa Cak Imin itu tidak mempersoalkan itu. "Kepada partai-partai yang mengajak poros baru tujuannya mendinamisasi demokrasi di Tanah Air," ujar Cak Imin di Masjid Baiturrahman Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (6/3/2018).
Dia menambahkan, dinamisasi dialektika yang ada di dalam proses demokrasi tentu harus dipahami semua pihak. "Tapi, kita tetap PKB dalam posisi saling menjaga komunikasi dan saya jawab kepada mereka saling mendukung," kata mantan menteri tenaga kerja dan transmigrasi era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini.
Kendati demikian, Cak Imin tetap optimistis akan digandeng sebagai calon wakil presiden oleh Presiden Joko Wi dodo (Jokowi) untuk maju di Pilpres 2019. "Saya masih optimistis Pak Jokowi akan mengajak saya," katanya.
Cak Imin mengungkapkan, pihaknya meyakini bahwa kebersamaan koalisi dengan PDI Perjuangan dan partai politik di pemerintahan saat ini sangat nyaman. Karena itu, kembali berkoalisi di Pilpres 2019 menjadi pilihan yang paling realistis dan nyaman bagi PDIP. Meski begitu, dalam menentukan sikap politik dirinya masih menunggu perkembangan para kiai dan para ulama yang berkirim surat kepadanya supaya tidak terlalu cepat mengambil keputusan.
"Mereka semua para kiai mengajak musyawarah khusus dalam waktu dekat untuk melakukan pembicaraan ke mana arah dukungan PKB. Tetapi, saya secara pribadi dan teman-teman kebanyakan merasa lebih nyaman dengan koalisi yang sudah ada," ungkapnya.
Mantan wakil ketua DPR ini mengungkapkan, dalam menentukan sikap di pilpres ada tiga hal yang juga masih menjadi pertimbangan PKB. Khususnya terkait dengan saran dan masukan dari para kiai. "Pertama, para kiai, mereka informasinya masih menunggu informasi langit atau istikharah. Kedua, para kiai juga melakukan diskusi dan analisis di antara mereka. Yang ketiga, mereka juga akan mengonsultasikan dengan kiai-kiai NU di berbagai tempat," terang Cak Imin.
Sementara itu, Ketua DPP PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno mengungkapkan, hal wajar dan juga sah-sah saja ketika partai koalisi menawarkan kader terbaiknya untuk dipinang menjadi cawapres pendamping Jokowi sebab semua partai tentu menyiapkan kader terbaiknya untuk diusung di pilpres. "Namun, di dalam koalisi juga tentunya ada pertimbangan-pertimbangan yang komprehensif, termasuk nantinya bagaimana pertimbangan dari Presiden Jokowi mengenai sosok ideal yang akan mendampinginya sebagai cawapres," kata Hendrawan.
Soal peluang, kata dia, tentu semua partai mitra koalisi berpeluang kadernya dipinang Preiden Jokowi sebagai cawapres. Namun, kata dia, bisa jadi Presiden dengan pertimbangan tertentu kemudian memutuskan bahwa sosok cawapresnya bukan dari kalangan parpol. Kalau itu yang diputuskan, tentu semua partai koalisi juga harus menerimanya.
"Misalkan terjadi seperti zaman di mana Pak SBY yang awalnya disodorkan beberapa nama dari partai koalisi, tetapi pada akhirnya justru memilih Pak Boediono. Nah, yang seperti itu dalam politik sangat mungkin terjadi," ungkapnya.
(amm)