Pemerintah dan DPR Diminta Tak Buru-buru Sahkan Revisi KUHP

Senin, 05 Maret 2018 - 10:10 WIB
Pemerintah dan DPR Diminta Tak Buru-buru Sahkan Revisi KUHP
Pemerintah dan DPR Diminta Tak Buru-buru Sahkan Revisi KUHP
A A A
JAKARTA - Pemerintah dan DPR diminta tidak terburu-buru mengesahkan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sebab, KUHP akan mengikat segala sisi kehidupan masyarakat.

"Ini lah hukum yang akan memiliki daya paksa untuk menegakkan tertib sosial yang diinginkan oleh pemerintah," kata Perwakilan Aliansi Nasional Reformasi KUHP Erasmus Napitupulu dalam keterangan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Senin (5/3/2018).

Karena itu, Aliansi memandang bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu membuka dialog multi pihak dan multi kementerian atau lembaga untuk membahas RKUHP. Sebab, dialog dan pembahasan RKUHP selama ini dinilai terlampau didominasi oleh para ahli hukum pidana.

Padahal, kata dia, yang disentuh oleh RKUHP menyangkut segala aspek kehidupan, termasuk didalamnya mengenai kesehatan, perempuan, anak, dan segala isu serta lapisan masyarakat lainnya. "Aliansi Nasional Reformasi KHUP mengingatkan bahwa kalaupun pembahasan dipaksakan disahkan 19 April 2018 ini, maka segala infrastruktur penunjang RUU Hukum Pidana berpotensi besar tidak terlaksana," kata Managing Director Institute for Criminal Justice Reform itu.

Dia menambahkan, RKUHP membutuhkan berbagai peraturan pelaksana sebagai pelaksana dari Undang-undang itu nantinya apabila disahkan dan diberlakukan. Dia mengungkapkan, Aliansi Nasional Reformasi KUHP tidak melihat pemerintah dan DPR memiliki cetak biru pembaruan hukum pidana nasional.

Hal itu dianggap akan memperparah prioritas dari program pembaruan dan pembangunan hukum nasional. "Sekedar mengingatkan bahwa infrastruktur penunjang UU SPPA juga sama sekali belum 100% tersedia, bahkan ketika batas waktu 2 tahun sejak disahkan, belum tersedia dengan cepat," ujarnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, ketiadaan infrastruktur penunjang dalam RKUHP akan mengacaukan bangunan sistem penegakkan hukum pidana. "Belum lagi ketiadaan analisis kompabilitas antara RKUHP dengan KUHAP yang saat ini berlaku," ujarnya.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga mengingatkan bahwa sentimen romantisme untuk mengenyahkan warisan Hindia Belanda sebaiknya sesegera mungkin ditinggalkan. Sebab, Aliansi menilai lerlu ada analisis dan pendetakan baru dari analisis dan pendekatan lama yang telah tersedia sejak 1963.

"Sampai saat ini, tidak ada satu negarapun di dunia yang memiliki klaim originalitas dalam pembangunan hukumnya, karena itu upaya memenuhi romantisme karya bangsa sendiri sebaiknya mulai ditinggalkan," ungkapnya.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga mengingatkan bahwa Indeks Demokrasi Indonesia yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik mengalami penurunan pada 2016. Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan juga menyatakan bahwa aspek kebebasan sipil membawa dampak yang besar pada penurunan Indeks Demokrasi Indonesia.

Karena itu, lanjut dia, RKUHP apabila diburu – buru disahkan akan membawa kontribusi besar pada penurunan Indeks Demokrasi Indonesia ditahun – tahun berikutnya. Untuk membangun dan memperbaruhi hukum pidana nasional, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyerukan agar Presiden untuk mendorong dimulainya dialog dan konsultasi multi pihak.

"Agar proses pembaruan hukum pidana nasional dapat lebih diterima oleh masyarakat dan sejalan dengan komitmen negara Republik Indonesia dalam rangka melindungi, menghormati, dan memajukan kebebasan sipil dan politik," pungkasnya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1516 seconds (0.1#10.140)