KPK Beberkan Kasus Suap Wali Kota Kendari dan sang Ayah

Kamis, 01 Maret 2018 - 19:17 WIB
KPK Beberkan Kasus Suap Wali Kota Kendari dan sang Ayah
KPK Beberkan Kasus Suap Wali Kota Kendari dan sang Ayah
A A A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan ‎Wali Kota Kendari, Adriatma Dwi Putra dan ayah kandungnya yang merupakan calon gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) ‎sebagai tersangka penerima suap Rp2,8 miliar.

Sekadar informasi, Asrun adalah mantan Wali Kota Kendari (2007-2017). Bersama sang anak, dia diduga mengeruk uang untuk kepentingan Pilkada 2018.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengungkapkan, tim KPK menangkap 12 orang dari operasi tangkap tangan (OTT) selama kurun Selasa 27 Februari 2018 malam hingga Rabu 28 Februari 2018 dini hari.

Empat di antaranya, yakni Adriatma Dwi Putra, Asrun, orang kepercayaan Asrun sekaligus mantan kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Pemerintah Kota Kendari Fatmawati Faqih, dan Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara yang juga Direktur PT Bangun Inti Jaya dan petinggi PT Indo Jaya, Hasmun Hamzah.

Penangkapan ini terkait dengan suap pengurusan perolehan dan pelaksanaan pengadaan proyek di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Kendari tahun 2017-2018.

Satu di antaranya, proyek Pembangunan Jalan Bungkutoko-Kendari New Port pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dengan nilai pagu anggaran lebih Rp60,368 dan nilai penawaran terkoreksi lebih Rp60,179 miliar pada 2018 yang dimenangkan PT Sarana Bangun Nusantara (SBN).

Nilai suap yang diberikan Hasmun Hamzah kepada Adriatma Dwi Putra dan Asrun melalui Fatmawati Faqih sebesar Rp2,8 miliar.

Uang terpecah dalam dua bagian. Masing-masing Rp1,3 miliar yang berasal dari kas PT SBN sebelumnya dan penarikan dari rekening bank sebesar Rp1,5 miliar pada Senin 26 Februari 2018.

Uang yang digabungkan menjadi Rp2,8 miliar kemudian dibawa staf PT SBN dan diserahkan kepada pihak yang terkait dengan Adriatma.

"Peristiwa ini diduga terjadi dalam rangka untuk kebutuhan kampanye ASR (Asrun-red) ayahnya ADR (Adriatma-red) sebagai calon gubernur Provinsi Sultra pada pilkada serentak 2018. ASR sebelumnya adalah wali kota Kendari selama 10 tahun, dua periode berturut-turut dari 2007 sampai 2017. Ini adalah salah satu bentuk dinasti politik yang terjadi yang berujung terjadinya praktik korupsi," ujar Basaria saat konferensi pers di Gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta, Kamis (1/3) sore.

KPK membeberkan, pemberian uang suap bermula dari permintaan Asrun ke Hasmun melalui Fatmawati. Adriatma memfasilitasi hal tersebut karena memang PT SBN yang dikomandoi Hasmun mendapat proyek pada 2017-2018 di masa jabatan Adriatma sebagai Wali Kota.

Di sisi lain selama menjabat sebagai Wali Kota Kendari, Asrun juga sudah mengenal lama dengan Hasmun. Apalagi Hasmun sudah mendapat proyek dari Asrun atau Pemkot Kendari sejak 2012.

"Jika ASR bukan ayahnya dari ADR maka kecil kemungkinan dia (Asrun-red) bisa perintah-perintah untuk dapatkan sesuatu dari pengusaha dan melalui mantan anak buahnya dan orang kepercayaannya si FF (Fatmawati-red). Inilah peran aktif dari ASR dan FF," tutur Basaria.

Dia menjelaskan, setelah dilakukan pemeriksaan intensif di Mapolda Kendari pada Selasa hingga Rabu dan dilanjutkan pemeriksaan di Gedung KPK pada hari ini disertai gelar perkara (ekspose), kemudian kasus ini dinaikkan ke penyidikan.

Bersamaan dengan itu, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka. Adriatma, Asrun, dan Fatmawati sebagai tersangka penerima dari tersangka pemberi Hasmun.

Adriatma, Asrun, dan Fatmawati disangka melanggar Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau huruf b UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sedangkan Hasmun dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

"Terindentifikasi sandi yang digunakan dalam komunikasi adalah 'koli kalender' yang diduga mengacu pada uang Rp1 miliar," tuturnya.

Basaria menggariskan, saat dilakukan penangkapan, termasuk empat orang yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka, rupanya uang tunai Rp2,8 miliar sudah dibawa dengan mobil Toyota Avanza dan dipergunakan untuk kepentingan logistik Asrun maju sebagai cagub Sultra.

Karenanya, saat penangkapan tidak disita uang tunai. Yang disita KPK adalah buku tabungan penarikan uang Rp1,5 miliar serta mobil Avanza, STNK, dan kuncinya.

"Sudah kita ingatkan berulang kali dan terus kita ingatkan agar para calon kepala daerah tidak meraup biaya politik untuk pilkada dengan penerimaan fee proyek. Agar supaya ini dihentikan. Sudah berungkali KPK katakan bahwa dinasti politik jadi atensi dari KPK. Kecenderungan untuk memiliki atau meraup kekayaan di daerahnya selalu terjadi. Sudah terbukti dalam kasus-kasus yang ditangani KPK," tutur Basaria.‎
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4290 seconds (0.1#10.140)