Penambahan Kursi Pimpinan Parlemen Dinilai Bentuk Kerakusan
A
A
A
JAKARTA - Kesepakatan penambahan satu kursi pimpinan DPR, tiga pimpinan MPR dan satu kursi pimpinan DPD dalam revisi Undang-undang Nomor 7 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) terus menuai kritikan. Pasalnya, kesepakatan di Badan Legislasi (Baleg) dini hari tadi itu dianggap kerakusan yang tidak lekang oleh waktu.
"Penambahan kursi pimpinan MPR, DPR dan DPD yang disepakati DPR dalam pembahasan revisi UU MD3 kembali menegaskan kerakusan yang tidak lekang oleh waktu," kata Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus saat dihubungi wartawan, Kamis (8/2/2018).
Dia menambahkan, DPR memperlakukan fungsi legislasi sebegitu sempit. Karena, DPR dinilai hanya memikirkan kepuasan syahwat bagi-bagi kue kekuasaan.
Lucius menjelaskan bahwa fungsi legislasi DPR itu adalah fungsi mendasar yang diberikan kepada DPR dalam rangka menjalankan fungsi representasinya. Sehingga, kata dia, jika RUU disusun hanya untuk memikirkan kepentingan jangka pendek bagi-bagi kekuasaan, maka rakyat dirugikan karena DPR hanya terus akan menjadi ladang kekuasaan partai politik (Parpol) semata, bukan ladang perjuangan aspirasi rakyat.
Dia menambahkan, Pimpinan DPR, MPR dan DPD merupakan jabatan fungsional bukan hirarkis. "Mereka mestinya setara dengan anggota lain namun berbeda pada fungsi atau cara kerja atau bidang tugas saja," katanya
Karena fungsional, kata dia, maka tak masuk akal memaksakan penambahan kursi pimpinan di saat waktu masa jabatan MPR, DPR dan DPD hanya tinggal setahunan lagi. "Apa yang signifikan bisa dihasilkan para pimpinan itu di waktu yang begitu terbatas?" Ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, fungsi legislasi juga rusak karena orientasi pembuatan RUU hanya untuk jangka waktu pendek, untuk kepentingan yang sangat pragmatis yakni urusan bagi-bagi jatah antar fraksi saja. Selebihnya revisi dengan misi pragmatis itu, lanjut dia, justru akan merusak tatanan kelembagaan ke depan.
"Periode yang akan datang tentu akan kembali dengan persoalan serupa, yakni rebut-rebut kursi karena dalam revisi saat ini problem mendasar yang mengacaukan sistem pemilihan pimpinan tidak dirubah," katanya.
Dia mengatakan, kalau sistem atau mekanisme pemilihan pimpinan berdasarkan paket seperti periode ini tidak berubah, maka periode mendatang masalah serupa akan terjadi lagi.
"Jadi revisi ini merupakan sesuatu yang konyol yang dipersembahkan DPR periode ini. Ini Kongkalingkong antar partai yang akan menjadi awal kerusakan sistem parlemen ke depannya," tuturnya.
Dia berpendapat, kalau DPR mau mengubah regulasi untuk kepentingan penguatan parlemen ke depannya maka mestinya bukan soal tambahan kursi saja yang menjadi fokus. "Tetapi harusnya terkait mekanisme pemilihan yang mesti kembali pada sistem proporsional," pungkasnya.
"Penambahan kursi pimpinan MPR, DPR dan DPD yang disepakati DPR dalam pembahasan revisi UU MD3 kembali menegaskan kerakusan yang tidak lekang oleh waktu," kata Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus saat dihubungi wartawan, Kamis (8/2/2018).
Dia menambahkan, DPR memperlakukan fungsi legislasi sebegitu sempit. Karena, DPR dinilai hanya memikirkan kepuasan syahwat bagi-bagi kue kekuasaan.
Lucius menjelaskan bahwa fungsi legislasi DPR itu adalah fungsi mendasar yang diberikan kepada DPR dalam rangka menjalankan fungsi representasinya. Sehingga, kata dia, jika RUU disusun hanya untuk memikirkan kepentingan jangka pendek bagi-bagi kekuasaan, maka rakyat dirugikan karena DPR hanya terus akan menjadi ladang kekuasaan partai politik (Parpol) semata, bukan ladang perjuangan aspirasi rakyat.
Dia menambahkan, Pimpinan DPR, MPR dan DPD merupakan jabatan fungsional bukan hirarkis. "Mereka mestinya setara dengan anggota lain namun berbeda pada fungsi atau cara kerja atau bidang tugas saja," katanya
Karena fungsional, kata dia, maka tak masuk akal memaksakan penambahan kursi pimpinan di saat waktu masa jabatan MPR, DPR dan DPD hanya tinggal setahunan lagi. "Apa yang signifikan bisa dihasilkan para pimpinan itu di waktu yang begitu terbatas?" Ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, fungsi legislasi juga rusak karena orientasi pembuatan RUU hanya untuk jangka waktu pendek, untuk kepentingan yang sangat pragmatis yakni urusan bagi-bagi jatah antar fraksi saja. Selebihnya revisi dengan misi pragmatis itu, lanjut dia, justru akan merusak tatanan kelembagaan ke depan.
"Periode yang akan datang tentu akan kembali dengan persoalan serupa, yakni rebut-rebut kursi karena dalam revisi saat ini problem mendasar yang mengacaukan sistem pemilihan pimpinan tidak dirubah," katanya.
Dia mengatakan, kalau sistem atau mekanisme pemilihan pimpinan berdasarkan paket seperti periode ini tidak berubah, maka periode mendatang masalah serupa akan terjadi lagi.
"Jadi revisi ini merupakan sesuatu yang konyol yang dipersembahkan DPR periode ini. Ini Kongkalingkong antar partai yang akan menjadi awal kerusakan sistem parlemen ke depannya," tuturnya.
Dia berpendapat, kalau DPR mau mengubah regulasi untuk kepentingan penguatan parlemen ke depannya maka mestinya bukan soal tambahan kursi saja yang menjadi fokus. "Tetapi harusnya terkait mekanisme pemilihan yang mesti kembali pada sistem proporsional," pungkasnya.
(pur)