Masyarakat Diminta Waspadai Radikalisme di Media Sosial
A
A
A
JAKARTA - Generasi muda diminta untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan media sosial. Selama ini dunia maya dan media sosial juga menjadi sarana berkembangnya radikalisme dan hate speech atau ujaran kebencian.
“Saat ini setiap orang menggunakan smartphone yang terhubung dengan internet. Tidak hanya satu, kadang satu orang punya dua smartphone. Banyak yang tidak menyadari bahwa propaganda radikalisme masuk melalui smartphone yang dikirimi berbagai macam konten di grup-grupnya. Oleh karena itulah harus hati-hati menggunakan smartphone,” tutur Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius MH.
Suhardi mengatakan itu aat memberikan kuliah umum dihadapan 350 Mahasiswa dan sivitas akademika Universitas Andalas Padang, Jumat 2 Februari 2018, seperti dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Senin (5/2/2018).
Dia juga mengingatkan agar media lebih berhati-hati dalam menyajikan berita agar tidak menjadi alat kampanye alat kampanye propraganda radikalisme.
"Contoh ketika Santoso tewas, media telah memberikan ruang berita yang sangat besar sehingga ketika Santoso dibawa pulang untuk dikuburkan dia seolah-olah menjadi pahlawan. Padahal dia jelas-jelas melawan negara," ujar mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri ini.
Dia mengatakan, lingkungan kampus juga tidak luput dari "virus" radikalisme. Hal tersebut didasari atas hasil identifikasi beberapa kampus yang mahasiswanya telah tersusupi oleh paham radikal dan terorisme.
Dia juga mencontohlan pemilihan rektor di sebuah kampus beberapa waktu lalu. Saat itu setelah dikroscek ternyata calon rektor terindikasi menjadi simpatisan kelompok radikal.
"Dengan kejadian itu maka kita segera ambil tindakan dengan memberikan bukti bahwa tidak bisa kita biarkan orang yang telah terindikasi radikal menjadi rektor,” kata mantan Kapolda Jawa Barat ini.
Melihat fenomena yang terjadi, Suhardi mengingatkan segenap sivitas akademika, khususnya mahasiswa untuk selektif dan cerdas dalam menggunakan dunia maya maupun media sosial.
"Jangan ditelan mentah-mentah berita yang diterima dan selalu mengkritisi jika mendapatkan ajakan ataupun berita yang menjurus ke paham radikal," tuturnya.
Pada akhir paparannya, mantan Wakapolda Metro Jaya ini mengatakan, mahasiswa merupakan agent of change atau agen perubahan dan calon pemimpin bangsa yang harus terus menambah wawasan keilmuan agar nantinya bangsa ini tidak terjerembab dalam kubangan pertikaian yang disebabkan oleh pemikiran-pemikiran yang sempit.
"Kampus merupakan institusi tempat berkembangnya berbagai pemikiran untuk membangun bangsa demi kemaslahatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya berharap ke depan agar adik-adik mahasiswa dan pihak kampus turut terlibat secara aktif dalam upaya menanggulangi paham radikal terorisme, terutama jika telah mulai terindikasi ada pergerakan di kampus," tuturnya
“Saat ini setiap orang menggunakan smartphone yang terhubung dengan internet. Tidak hanya satu, kadang satu orang punya dua smartphone. Banyak yang tidak menyadari bahwa propaganda radikalisme masuk melalui smartphone yang dikirimi berbagai macam konten di grup-grupnya. Oleh karena itulah harus hati-hati menggunakan smartphone,” tutur Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius MH.
Suhardi mengatakan itu aat memberikan kuliah umum dihadapan 350 Mahasiswa dan sivitas akademika Universitas Andalas Padang, Jumat 2 Februari 2018, seperti dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Senin (5/2/2018).
Dia juga mengingatkan agar media lebih berhati-hati dalam menyajikan berita agar tidak menjadi alat kampanye alat kampanye propraganda radikalisme.
"Contoh ketika Santoso tewas, media telah memberikan ruang berita yang sangat besar sehingga ketika Santoso dibawa pulang untuk dikuburkan dia seolah-olah menjadi pahlawan. Padahal dia jelas-jelas melawan negara," ujar mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri ini.
Dia mengatakan, lingkungan kampus juga tidak luput dari "virus" radikalisme. Hal tersebut didasari atas hasil identifikasi beberapa kampus yang mahasiswanya telah tersusupi oleh paham radikal dan terorisme.
Dia juga mencontohlan pemilihan rektor di sebuah kampus beberapa waktu lalu. Saat itu setelah dikroscek ternyata calon rektor terindikasi menjadi simpatisan kelompok radikal.
"Dengan kejadian itu maka kita segera ambil tindakan dengan memberikan bukti bahwa tidak bisa kita biarkan orang yang telah terindikasi radikal menjadi rektor,” kata mantan Kapolda Jawa Barat ini.
Melihat fenomena yang terjadi, Suhardi mengingatkan segenap sivitas akademika, khususnya mahasiswa untuk selektif dan cerdas dalam menggunakan dunia maya maupun media sosial.
"Jangan ditelan mentah-mentah berita yang diterima dan selalu mengkritisi jika mendapatkan ajakan ataupun berita yang menjurus ke paham radikal," tuturnya.
Pada akhir paparannya, mantan Wakapolda Metro Jaya ini mengatakan, mahasiswa merupakan agent of change atau agen perubahan dan calon pemimpin bangsa yang harus terus menambah wawasan keilmuan agar nantinya bangsa ini tidak terjerembab dalam kubangan pertikaian yang disebabkan oleh pemikiran-pemikiran yang sempit.
"Kampus merupakan institusi tempat berkembangnya berbagai pemikiran untuk membangun bangsa demi kemaslahatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya berharap ke depan agar adik-adik mahasiswa dan pihak kampus turut terlibat secara aktif dalam upaya menanggulangi paham radikal terorisme, terutama jika telah mulai terindikasi ada pergerakan di kampus," tuturnya
(dam)