PNS Sulit Netral di Pilkada Serentak
A
A
A
JAKARTA - Pegawai Negeri Sipil (PNS) dinilai sulit untuk netral saat pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 27 Juni 2018. Pasalnya sikap PNS dalam pilkada serentak bakal memengaruhi posisi atau jabatannya dalam birokrasi.
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mengungkapkan, seringkali PNS mempertaruhkan jabatannya untuk mendukung salah satu pasangan calon saat pilkada. Hal itu karena bersikap netral saat pilkada bagi PNS sering dianggap berisiko. Pasalnya jika netral akan dianggap membantu musuhnya. Maka dapat dipastikan PNS yang netral akan terkena dampak politik balas dendam setelah salah satu calon kepala daerah akhirnya terpilih.
“Jadi mereka pertaruhkan. Mengunggulkan salah satu pasangan. Karena kalau netral posisi jabatan mereka juga netral (tidak jelas nasibnya). Berdebar jantung mereka menunggu siapa yang menang,” kata Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Irham Dilmy saat dihubungi, kemarin.
Menurut Irham, masing-masing calon hanya melihat bahwa PNS tersebut tidak membantu dan dinilai satu kubu dengan lawannya. Sehingga jika calon tersebut menang pasti akan diganti. Padahal sebenarnya PNS tersebut tidak membantu siapapun. Mau netral jadinya susah. Maju kena mundur kena,” jelasnya.
Irham menilai fenomena ini dampak dari kepala daerah sebagai jabatan politik juga berwenang atas pengelolaan birokrasi. Maka dari itu persoalan birokarsi rentan terhadap intervensi politik kepala daerah.
“Kepala daerah ini kan saat ini masih menjadi pejabat pembina kepegawaian (PPK). Berhak melakukan mutasi, promosi dan lainnya berkaitan dengan kepegawaian. Jadi ASN rentan dimanfaatkan untuk membantu saat kampanye,” ujarnya.
Bahkan menurutnya adanya intervensi politik dalam urusan birokrasi sering jadi penghambat penegakan disiplin bagi PNS. Pasalnya jika kepala daerah dibantu saat pemenangan pilkada akan enggan memberikan sanksi kepada PNS yang melanggar netralitas.
“Sanksi yang menjatuhkan PPK. Sementara jika kepala daerahnya yang didukung menang biasanya akan ada surat ke kami bunyinya sudah memberikan sanksi teguran (sanksi ringan). Padahal sanksi pelanggaran netralitas itu sedang dan berat tidak ada yang ringan,” paparnya.
Lebih lanjut, Irham menilai pentingnya segera dilakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) 53/2010 tentang Disiplin PNS agar relevan dengan kondisi saat ini. Menurutnya PP tersebut harus disesuaikan dengan adanya pilkada serentak. Bahkan dia mengatakan akan lebih baik wacana revisi UU ASN diarahkan untuk memisahkan jabatan politik dengan birokrasi.
“PP tersebut kan lahir sebelum pilkada serentak. Ini perlu disesuaikan. Termasuk juga jika ingin merevisi UU ASN, hal-hal seperti ini yang harusnya diperhatikan,” paparnya.
Irham pun mengaku laporan dugaan pelanggaran netralitas PNS cukup banyak jelang pilkada 2018 ini. Dalam sehari Irham mengatakan menerima setidaknya lima laporan dalam sehari, dan 25 laporan seminggu. Laporan-laporan tersebut bermacam-macam, salah satunya perilaku PNS dalam bermedia sosial.
“Ini dugaan pelanggaran netralitas. Ini hubungannya dengan persiapan pilkada. Misalnya Sekda Kalimantan Timur mau maju gubernur tapi bergerilya ke kiri dan ke kanan. Itu melanggar meskipun belum ditetapkan. Ada juga yang memberikan like di facebook (FB) terhadap pasangan calon dilaporkan,” tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB), Asman Abnur mengatakan pasca pendaftaran paslon kepala daerah suasana politik di tanah air semakin memanas. Namun hal itu jangan sampai mempengaruhi PNS untuk terlibat dan bersikap tidak netral.
“Abdi negara jangan tergoda dengan janji dari paslon. Misalnya kenaikan jabatan, dengan catatan mau menjadi tim sukses pasasangan calon kepala daerah tersebut. Tugas kita kerja, kerja, dan kerja melayani masyarakat dengan baik,” ujarnya
Dia menegaskan bahwa dalam hal pengisian jabatan, khususya untuk jabatan pimpinan tinggi (JPT) dilakukan secara merit. Menurutnya pengangkatan jabatan tidak ditentukan oleh seberapa dekat seseorang dengan pimpinan daerah.
“Akan tetapi dilakukan dengan open recruitment atau open bidding. Dengan cara itu, tidak ada satu orang pun yang dapat menjamin seorang ASN dapat menempati posisi pejabat pimpinan tinggi,” katanya.
Selain itu, promosi jabatan juga tidak dapat dilakukan seenaknya. Dia mengatakan promosi jabatan harus mengikuti peraturan yang berlaku, melalui tahapan yang jelas dan terukur. “Kalau ingin naik jabatan, jangan mencari dengan cara-cara yang tidak normal,” ungkapnya.
Maka dari itu PNS jangan tergoda oleh iming-iming para pasangan calon yang memintanya menjadi tim sukses dengan imbalan kenaikan jabatan atau yang lainnya. Menurutnya jika ada tawaran seperti itu harus tegas ditolak. (Dita Angga)
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mengungkapkan, seringkali PNS mempertaruhkan jabatannya untuk mendukung salah satu pasangan calon saat pilkada. Hal itu karena bersikap netral saat pilkada bagi PNS sering dianggap berisiko. Pasalnya jika netral akan dianggap membantu musuhnya. Maka dapat dipastikan PNS yang netral akan terkena dampak politik balas dendam setelah salah satu calon kepala daerah akhirnya terpilih.
“Jadi mereka pertaruhkan. Mengunggulkan salah satu pasangan. Karena kalau netral posisi jabatan mereka juga netral (tidak jelas nasibnya). Berdebar jantung mereka menunggu siapa yang menang,” kata Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Irham Dilmy saat dihubungi, kemarin.
Menurut Irham, masing-masing calon hanya melihat bahwa PNS tersebut tidak membantu dan dinilai satu kubu dengan lawannya. Sehingga jika calon tersebut menang pasti akan diganti. Padahal sebenarnya PNS tersebut tidak membantu siapapun. Mau netral jadinya susah. Maju kena mundur kena,” jelasnya.
Irham menilai fenomena ini dampak dari kepala daerah sebagai jabatan politik juga berwenang atas pengelolaan birokrasi. Maka dari itu persoalan birokarsi rentan terhadap intervensi politik kepala daerah.
“Kepala daerah ini kan saat ini masih menjadi pejabat pembina kepegawaian (PPK). Berhak melakukan mutasi, promosi dan lainnya berkaitan dengan kepegawaian. Jadi ASN rentan dimanfaatkan untuk membantu saat kampanye,” ujarnya.
Bahkan menurutnya adanya intervensi politik dalam urusan birokrasi sering jadi penghambat penegakan disiplin bagi PNS. Pasalnya jika kepala daerah dibantu saat pemenangan pilkada akan enggan memberikan sanksi kepada PNS yang melanggar netralitas.
“Sanksi yang menjatuhkan PPK. Sementara jika kepala daerahnya yang didukung menang biasanya akan ada surat ke kami bunyinya sudah memberikan sanksi teguran (sanksi ringan). Padahal sanksi pelanggaran netralitas itu sedang dan berat tidak ada yang ringan,” paparnya.
Lebih lanjut, Irham menilai pentingnya segera dilakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) 53/2010 tentang Disiplin PNS agar relevan dengan kondisi saat ini. Menurutnya PP tersebut harus disesuaikan dengan adanya pilkada serentak. Bahkan dia mengatakan akan lebih baik wacana revisi UU ASN diarahkan untuk memisahkan jabatan politik dengan birokrasi.
“PP tersebut kan lahir sebelum pilkada serentak. Ini perlu disesuaikan. Termasuk juga jika ingin merevisi UU ASN, hal-hal seperti ini yang harusnya diperhatikan,” paparnya.
Irham pun mengaku laporan dugaan pelanggaran netralitas PNS cukup banyak jelang pilkada 2018 ini. Dalam sehari Irham mengatakan menerima setidaknya lima laporan dalam sehari, dan 25 laporan seminggu. Laporan-laporan tersebut bermacam-macam, salah satunya perilaku PNS dalam bermedia sosial.
“Ini dugaan pelanggaran netralitas. Ini hubungannya dengan persiapan pilkada. Misalnya Sekda Kalimantan Timur mau maju gubernur tapi bergerilya ke kiri dan ke kanan. Itu melanggar meskipun belum ditetapkan. Ada juga yang memberikan like di facebook (FB) terhadap pasangan calon dilaporkan,” tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB), Asman Abnur mengatakan pasca pendaftaran paslon kepala daerah suasana politik di tanah air semakin memanas. Namun hal itu jangan sampai mempengaruhi PNS untuk terlibat dan bersikap tidak netral.
“Abdi negara jangan tergoda dengan janji dari paslon. Misalnya kenaikan jabatan, dengan catatan mau menjadi tim sukses pasasangan calon kepala daerah tersebut. Tugas kita kerja, kerja, dan kerja melayani masyarakat dengan baik,” ujarnya
Dia menegaskan bahwa dalam hal pengisian jabatan, khususya untuk jabatan pimpinan tinggi (JPT) dilakukan secara merit. Menurutnya pengangkatan jabatan tidak ditentukan oleh seberapa dekat seseorang dengan pimpinan daerah.
“Akan tetapi dilakukan dengan open recruitment atau open bidding. Dengan cara itu, tidak ada satu orang pun yang dapat menjamin seorang ASN dapat menempati posisi pejabat pimpinan tinggi,” katanya.
Selain itu, promosi jabatan juga tidak dapat dilakukan seenaknya. Dia mengatakan promosi jabatan harus mengikuti peraturan yang berlaku, melalui tahapan yang jelas dan terukur. “Kalau ingin naik jabatan, jangan mencari dengan cara-cara yang tidak normal,” ungkapnya.
Maka dari itu PNS jangan tergoda oleh iming-iming para pasangan calon yang memintanya menjadi tim sukses dengan imbalan kenaikan jabatan atau yang lainnya. Menurutnya jika ada tawaran seperti itu harus tegas ditolak. (Dita Angga)
(nfl)