Mengandung DNA Babi, 2 Produsen Obat Ini Diminta Tarik Produknya
A
A
A
JAKARTA - Indonesia Halal Watch (IHW) meminta PT Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories menarik seluruh produknya yang telah beredar di masyarakat. Pasalnya, obat yang dibuat oleh dua produsen tersebut diduga mengandung DNA babi.
IHW Ikhsan Abdullah mengatakan, besar kemungkinan kontaminasi DNA babi untuk semua produk obat-obatan yang diproduksi oleh PT Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories, mengingat pengolahan dan prosesnya menggunakan tempat dan alat-alat yang sama.
"Oleh karena itu PT Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories wajib menarik semua produknya yang telah beredar di pasar tidak terbatas pada NIE POM SD.051523771 nomor bets BN C6K994H dan NIE DBL7214704016A1 nomor bets 16185101," pinta Ikhsan dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Rabu (31/1/2018). (Baca Juga: Viral Suplemen Mengandung DNA Babi, Ini Penjelasan BPOM
Menurut dia, tindakan PT Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories yang memproduksi obat dan terdeteksi positif mengandung DNA babi, namun tidak mencantumkan peringatan mengandung babi adalah perbuatan kejahatan dan diancam pidana yang dilakukan korporasi atau produsen sesuai undang-undang dengan Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan jo. Pasal 6 huruf i Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 26 ayat 2 Undang-Undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang pada intinya bahwa Pelaku Usaha wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produk.
"PT Pharos Indonesia yang memproduksi Viostin DS dan PT Medifarma Laboratories yang memproduksi Enzyplex tablet, perbuatannya harus diberikan punishment berupa hukuman badan dan penalty sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan jo. Pasal 6 huruf I Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 26 ayat 2 Undang-Undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, untuk menimbulkan efek jera," terangnya.
Kemudian, Ikhsan menambahkan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap makanan, minuman, obat-obatan yang beredar di masyarakat wajib menggandeng aparatur Polri guna melakukan penindakan atas pelanggaran tersebut.
"Peristiwa ini memberikan kesadaran kepada kita semua agar mandatory sertifikasi halal terhadap obat dan farmasi segera dilakukan. Demikian pula mandatory sertifikasi menjadi penting demi memberikan kenyamanan bagi masyarakat konsumen," katanya.
IHW Ikhsan Abdullah mengatakan, besar kemungkinan kontaminasi DNA babi untuk semua produk obat-obatan yang diproduksi oleh PT Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories, mengingat pengolahan dan prosesnya menggunakan tempat dan alat-alat yang sama.
"Oleh karena itu PT Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories wajib menarik semua produknya yang telah beredar di pasar tidak terbatas pada NIE POM SD.051523771 nomor bets BN C6K994H dan NIE DBL7214704016A1 nomor bets 16185101," pinta Ikhsan dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Rabu (31/1/2018). (Baca Juga: Viral Suplemen Mengandung DNA Babi, Ini Penjelasan BPOM
Menurut dia, tindakan PT Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories yang memproduksi obat dan terdeteksi positif mengandung DNA babi, namun tidak mencantumkan peringatan mengandung babi adalah perbuatan kejahatan dan diancam pidana yang dilakukan korporasi atau produsen sesuai undang-undang dengan Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan jo. Pasal 6 huruf i Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 26 ayat 2 Undang-Undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang pada intinya bahwa Pelaku Usaha wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produk.
"PT Pharos Indonesia yang memproduksi Viostin DS dan PT Medifarma Laboratories yang memproduksi Enzyplex tablet, perbuatannya harus diberikan punishment berupa hukuman badan dan penalty sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan jo. Pasal 6 huruf I Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 26 ayat 2 Undang-Undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, untuk menimbulkan efek jera," terangnya.
Kemudian, Ikhsan menambahkan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap makanan, minuman, obat-obatan yang beredar di masyarakat wajib menggandeng aparatur Polri guna melakukan penindakan atas pelanggaran tersebut.
"Peristiwa ini memberikan kesadaran kepada kita semua agar mandatory sertifikasi halal terhadap obat dan farmasi segera dilakukan. Demikian pula mandatory sertifikasi menjadi penting demi memberikan kenyamanan bagi masyarakat konsumen," katanya.
(mhd)