Gamawan Fauzi Ungkap Kengeriannya terhadap Proyek E-KTP
A
A
A
JAKARTA - Mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menjadi saksi dalam sidang perkara korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) dengan terdakwa mantan Ketua DPR Setya Novanto.
Sebagai Mendagri saat itu, Gamawan mengaku pernah meminta pendampingan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait rencana pengadaan e-KTP.
Gawaman juga meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit. Bahkan, audit terkait proyek tersebut dilakukan sebanyak dua kali.
Gamawan melanjutkan, LKPP kemudian menyarankan dan memberikan rekomendasi agar paket proyek e-KTP harus dipecah dalam sembilan paket. Sedangkan panitia lelang Kemendagri tetap menginginakn paket digabung menjadi satu.
Gamawan lantas menyurati Wakil Presiden (Wapres) saat itu Boediono untuk menengahi masalah tersebut. "Perbedaan pendapat LKPP dengan panitia lelang. LKPP minta ini dipecah sembilan item. Saya buat surat ke Wapres, ini panitia tim teknis itu eselon I kementerian, tambah panitia lelang ini beda pendapat dengan LKPP," tegas Gamawan di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Alasan Gamawan menyurati Wapres lantaran merasa tidak etis jika penyelesaian perbedaan pendapat soal e-KTP dilakukannya sendiri.
"Tidak etis kalau saya menyelesaikan ini makanya buat surat ke Wapres. Tolong Pak Wapres fasilitasi perbedaan pendapat ini," tuturnya.
Akhirnya rapat di kantor Wapres jadi digelar. Hanya saja, Gamawan mengaku tidak ikut. Dia mengutus pejabat Kemendagri lainnya. Setelah rapat selesai, Gamawan menerima hasil notulensi rapat di kantor Wapres dari stafnya.
"Saya tidak hadir. Dalam (catatan-red) notulis, silakan jalan terus. Notula yang saya baca diserahkan staf," tegasnya.
Mantan Gubernur Sumatera Barat ini membeberkan, sejak awal dirinya sudah menolak proyek e-KTP dikerjakan Kemendagri. Gamawan mengaku ngeri dengan proyek yang sangat besar dengan anggaran mencapai lebih Rp5,9 triliun.
Menurut Gamawan, proyek besar akan diikuti dengan pertanggungjawaban yang besar. Oleh karena itu, dia menyampaikan penolakannya ke Wapres.
"Saya waktu itu menolak ke Wapres, kalau bisa jangan Mendagri, karena saya ngeri Yang Mulia, dananya ini terlalu besar, saya sampaikan ke Wapres. Tapi karena itu fungsi kementerian saya, ya jalani juga proyeknya," bebernya.
Dia melanjutkan, proyek e-KTP ini adalah lanjutan dari proyek uji petik sebelumnya pada 2008 hingga 2009. Proyek e-KTP nasional ini dikatakan Gamawan diproyeksikan untuk mendukung data pendukung saat pemilu mendatang berlangsung.
Dalam proses awal juga, Gamawan menegaskan Komisi II DPR mengundangnya melakukan rapat dengar pendapat (RDP). Komisi II juga meminta Kemendagri melanjutkan proyek e-KTP.
"11 September 2009 saya dipanggil Komisi II DPR untuk RDP, hasilnya salah satu meminta supaya segera ajukan anggaran di 2010 untuk dilaksanakan 2011 karena akan digunakan di pemilu mendatang," tuturnya.
Dia mengatakan, tidak tahu menahu adanya soal mark up yang berujung korupsi. Menurut dia, proyek e-KTP ditangani oleh panitia lelang di bawah Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil
"Saya tidak pernah tahu ada mark up. Saya enggak ngerti proses e-KTP ini korupsinya di mana. Saya enggak pernah tahu. Silakan dibuka kembali bagaimana saya meminta dikawal (oleh BPKP, KPK, dan LKPP-red)," tuturnya.
Sebagai Mendagri saat itu, Gamawan mengaku pernah meminta pendampingan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait rencana pengadaan e-KTP.
Gawaman juga meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit. Bahkan, audit terkait proyek tersebut dilakukan sebanyak dua kali.
Gamawan melanjutkan, LKPP kemudian menyarankan dan memberikan rekomendasi agar paket proyek e-KTP harus dipecah dalam sembilan paket. Sedangkan panitia lelang Kemendagri tetap menginginakn paket digabung menjadi satu.
Gamawan lantas menyurati Wakil Presiden (Wapres) saat itu Boediono untuk menengahi masalah tersebut. "Perbedaan pendapat LKPP dengan panitia lelang. LKPP minta ini dipecah sembilan item. Saya buat surat ke Wapres, ini panitia tim teknis itu eselon I kementerian, tambah panitia lelang ini beda pendapat dengan LKPP," tegas Gamawan di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Alasan Gamawan menyurati Wapres lantaran merasa tidak etis jika penyelesaian perbedaan pendapat soal e-KTP dilakukannya sendiri.
"Tidak etis kalau saya menyelesaikan ini makanya buat surat ke Wapres. Tolong Pak Wapres fasilitasi perbedaan pendapat ini," tuturnya.
Akhirnya rapat di kantor Wapres jadi digelar. Hanya saja, Gamawan mengaku tidak ikut. Dia mengutus pejabat Kemendagri lainnya. Setelah rapat selesai, Gamawan menerima hasil notulensi rapat di kantor Wapres dari stafnya.
"Saya tidak hadir. Dalam (catatan-red) notulis, silakan jalan terus. Notula yang saya baca diserahkan staf," tegasnya.
Mantan Gubernur Sumatera Barat ini membeberkan, sejak awal dirinya sudah menolak proyek e-KTP dikerjakan Kemendagri. Gamawan mengaku ngeri dengan proyek yang sangat besar dengan anggaran mencapai lebih Rp5,9 triliun.
Menurut Gamawan, proyek besar akan diikuti dengan pertanggungjawaban yang besar. Oleh karena itu, dia menyampaikan penolakannya ke Wapres.
"Saya waktu itu menolak ke Wapres, kalau bisa jangan Mendagri, karena saya ngeri Yang Mulia, dananya ini terlalu besar, saya sampaikan ke Wapres. Tapi karena itu fungsi kementerian saya, ya jalani juga proyeknya," bebernya.
Dia melanjutkan, proyek e-KTP ini adalah lanjutan dari proyek uji petik sebelumnya pada 2008 hingga 2009. Proyek e-KTP nasional ini dikatakan Gamawan diproyeksikan untuk mendukung data pendukung saat pemilu mendatang berlangsung.
Dalam proses awal juga, Gamawan menegaskan Komisi II DPR mengundangnya melakukan rapat dengar pendapat (RDP). Komisi II juga meminta Kemendagri melanjutkan proyek e-KTP.
"11 September 2009 saya dipanggil Komisi II DPR untuk RDP, hasilnya salah satu meminta supaya segera ajukan anggaran di 2010 untuk dilaksanakan 2011 karena akan digunakan di pemilu mendatang," tuturnya.
Dia mengatakan, tidak tahu menahu adanya soal mark up yang berujung korupsi. Menurut dia, proyek e-KTP ditangani oleh panitia lelang di bawah Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil
"Saya tidak pernah tahu ada mark up. Saya enggak ngerti proses e-KTP ini korupsinya di mana. Saya enggak pernah tahu. Silakan dibuka kembali bagaimana saya meminta dikawal (oleh BPKP, KPK, dan LKPP-red)," tuturnya.
(dam)