Tahun Politik, Parpol Susun Strategi Bidik Pemilih Muda
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah partai politik dinilai sudah menyusun strategi untuk membidik anak muda pada gelaran Pilkada serentak 2018 maupun Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Para calon kepala daerah dan parpol pun mau tidak mau dipaksa untuk pandai membaca karakter dan lincah bergaul pemilih muda
Komisaris Perkumpulan Warga Muda Wildanshah meyakini, hal tersebut menjadi momentum bagus dimana posisi anak muda semakin dominan dalam percaturan politik diberbagai level. Hal ini diperkuat oleh berbagai lembaga survei yang menyatakan anak muda adalah kunci utama penentu kemenangan politik elektoral.
Menurut Wildanshah, situasi ini mendorong partai-partai politik ikut berlomba-lomba membuat program kampanye yang berusaha membidik dan merayu segmen anak muda. Namun, Wildanshah menyayangkan bahwa saat ini program-program kepemudaan dari partai politik tidak ada yang menjawab kebutuhan dan memperjuangkan kepentingan anak muda.
Wildanshah menilai partai politik hanya sekadar acara hura-hura untuk membangun kedekatan psikologis bukan mendorong anak muda lebih politis untuk memperjuangkan hak-haknya.“Partai politik hanya merayu anak muda untuk memilih kandidat mereka dengan berbagi cara. Namun tidak pernah sekalipun ada partai politik yang mencoba merumuskan kebijakan dan hak anak muda dengan serius. Sampai saat ini anak muda hanya jadi aksesoris politik oleh partai, yang sewaktu-waktu bisa dibuang ketika tidak diperlukan ” kata Wildanshah lewat keterangan tertulisnya pada Senin (15/1/2018).
Wildanshah menyarankan, mendekati bonus demografi seharusnya partai politik lebih terbuka dan percaya kepada kekuatan anak muda. Wildanshah melanjutkan, untuk mendekati dan mengonsolidasi anak muda, partai politik harus berani memperjuangkan kouta representasi politik anak muda di parlemen.
Wildanshah mengungkapkan, ada empat alasan pentingnya partai politik memperjuangkan kuota anak muda di parlemen. Pertama, urgensi untuk mendongkrak partisipasi politik anak muda dalam momentum bonus demografi.
Kedua, keberadaan anak muda di parlemen akan mempermudah proses identifikasi dan agregasi kepentingan-kepentingan anak muda yang tidak diperhatikan oleh anggota dewan yang lebih tua. Ketiga, pentingnya representasi politik anak muda dalam parlemen untuk memastikan bahwa setiap kebijakan akan sesuai juga berbasis dengan kebutuhan, karakteristik dan pengalaman anak muda.
Keempat, dengan menghadirkan representasi politik anak muda dalam proses legislasi akan memberikan kontribusi besar pada arah regulasi dan perencanaan negara dalam menghadapi bonus demografi.
“Kalau ada yang bilang kuota dan kuantitas anak muda diparlemen tidak penting, lihat penelitian dan sejarah parlemen di dunia, bahwa kuantitas jumlah wakil parlemen merupakan kekuatan politik yang paling signifikan, bahkan 20 atau 30% suara anggota sangat berdampak pada keberhasilan isu yang diperjuangkan itu,” ujarrnya.
Selain kuota anak muda di parlemen, menurut Wildanshah, untuk memperkuat keterwakilan anak muda di parlemen adalah dengan mendorong partai untuk memiliki platform politik dan kebijakan yang konkrit membela kepentingan anak muda, seperti memulai kuota rekruitmen politik khusus anak muda untuk menjabat di struktur kepengurusan partai pada tingkat cabang hingga level nasional dan mengusulkan revisi UU Pemilu untuk memberikan kouta anak muda di parlemen.
“Kalau mau konkrit, partai politik harus recruit anak muda jadi kader, dan kasih jabatan strategis bukan Cuma jadi pengembira. Demi kepentingan masa depan, politisi senior harus berani dorong usulan Revisi UU Pemilu untuk memasukan kouta anak muda di parlemen, jangan cuma cari suara saat pemilu," tutupnya.
Komisaris Perkumpulan Warga Muda Wildanshah meyakini, hal tersebut menjadi momentum bagus dimana posisi anak muda semakin dominan dalam percaturan politik diberbagai level. Hal ini diperkuat oleh berbagai lembaga survei yang menyatakan anak muda adalah kunci utama penentu kemenangan politik elektoral.
Menurut Wildanshah, situasi ini mendorong partai-partai politik ikut berlomba-lomba membuat program kampanye yang berusaha membidik dan merayu segmen anak muda. Namun, Wildanshah menyayangkan bahwa saat ini program-program kepemudaan dari partai politik tidak ada yang menjawab kebutuhan dan memperjuangkan kepentingan anak muda.
Wildanshah menilai partai politik hanya sekadar acara hura-hura untuk membangun kedekatan psikologis bukan mendorong anak muda lebih politis untuk memperjuangkan hak-haknya.“Partai politik hanya merayu anak muda untuk memilih kandidat mereka dengan berbagi cara. Namun tidak pernah sekalipun ada partai politik yang mencoba merumuskan kebijakan dan hak anak muda dengan serius. Sampai saat ini anak muda hanya jadi aksesoris politik oleh partai, yang sewaktu-waktu bisa dibuang ketika tidak diperlukan ” kata Wildanshah lewat keterangan tertulisnya pada Senin (15/1/2018).
Wildanshah menyarankan, mendekati bonus demografi seharusnya partai politik lebih terbuka dan percaya kepada kekuatan anak muda. Wildanshah melanjutkan, untuk mendekati dan mengonsolidasi anak muda, partai politik harus berani memperjuangkan kouta representasi politik anak muda di parlemen.
Wildanshah mengungkapkan, ada empat alasan pentingnya partai politik memperjuangkan kuota anak muda di parlemen. Pertama, urgensi untuk mendongkrak partisipasi politik anak muda dalam momentum bonus demografi.
Kedua, keberadaan anak muda di parlemen akan mempermudah proses identifikasi dan agregasi kepentingan-kepentingan anak muda yang tidak diperhatikan oleh anggota dewan yang lebih tua. Ketiga, pentingnya representasi politik anak muda dalam parlemen untuk memastikan bahwa setiap kebijakan akan sesuai juga berbasis dengan kebutuhan, karakteristik dan pengalaman anak muda.
Keempat, dengan menghadirkan representasi politik anak muda dalam proses legislasi akan memberikan kontribusi besar pada arah regulasi dan perencanaan negara dalam menghadapi bonus demografi.
“Kalau ada yang bilang kuota dan kuantitas anak muda diparlemen tidak penting, lihat penelitian dan sejarah parlemen di dunia, bahwa kuantitas jumlah wakil parlemen merupakan kekuatan politik yang paling signifikan, bahkan 20 atau 30% suara anggota sangat berdampak pada keberhasilan isu yang diperjuangkan itu,” ujarrnya.
Selain kuota anak muda di parlemen, menurut Wildanshah, untuk memperkuat keterwakilan anak muda di parlemen adalah dengan mendorong partai untuk memiliki platform politik dan kebijakan yang konkrit membela kepentingan anak muda, seperti memulai kuota rekruitmen politik khusus anak muda untuk menjabat di struktur kepengurusan partai pada tingkat cabang hingga level nasional dan mengusulkan revisi UU Pemilu untuk memberikan kouta anak muda di parlemen.
“Kalau mau konkrit, partai politik harus recruit anak muda jadi kader, dan kasih jabatan strategis bukan Cuma jadi pengembira. Demi kepentingan masa depan, politisi senior harus berani dorong usulan Revisi UU Pemilu untuk memasukan kouta anak muda di parlemen, jangan cuma cari suara saat pemilu," tutupnya.
(whb)