Pilkada Serentak 2018, Daya Tarung Kader Parpol Lemah
A
A
A
JAKARTA - Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun ini diwarnai banyaknya calon tunggal dan figur dadakan yang muncul pada detik-detik akhir menjelang pendaftaran calon di KPU. Fenomena ini mengindikasikan sistem pengaderan dan kepemimpinan di parpol yang masih lemah.
Potensi calon tunggal kemungkinan akan terjadi sedikitnya di 11 daerah antara lain di Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Lebak, Probolinggo, Pasuruan, dan Kabupaten Tapin. Jumlah calon tunggal ini mengalami kenaikan dibandingkan pilkada serentak periode sebelumnya yang hanya sembilan daerah.
Kemunculan calon tunggal tak bisa dihindari manakala parpol gagal menyiapkan kader-kader andalannya untuk bertarung dalam pilkada. Imbasnya, mereka menyerah dengan bergabung menjadi satu koalisi. Calon-calon tunggal ini mayoritas merupakan kepala daerah petahana.
Lemahnya parpol menyiapkan kader juga tampak jelas saat partai lebih memilih figur baru yang bukan kader murni menjadi jagoannya seperti dari berlatar belakang TNI atau Polri. Di pilkada kali ini beberapa parpol juga tampak mengimpor figur baru dari Jakarta. Fenomena ini antara lain terlihat pada pengusungan calon gubernur (cagub) Sudirman Said oleh Partai Gerindra dan Ida Fauziyah sebagai calon wakil gubernur (cawagub) oleh PKB di Jawa Tengah serta Djarot Saiful Hidayat menjadi cagub PDIP di Sumatera Utara. Sejumlah parpol juga masih percaya diri mengusung kader-kadernya meski usia mereka tak muda lagi.
Dinamisnya perkembangan politik juga membuat parpol dihadapkan pada pilihan pragmatis. Ini antara lain terlihat dari keputusan PDIP Jateng yang kali ini mengusung Ganjar Pranowo sebagai cagub Jateng berpasangan dengan Taj Yasin dari PPP. Sebagai parpol pemenang pemilu di Jateng, PDIP tampak kurang percaya diri sehingga tak mengusung sendiri kadernya baik untuk kursi cagub-cawagub.
Pilihan pragmatis ini membuat sistem perekrutan calon kepala daerah yang sudah berjalan menjadi terabaikan. Di Sumut, gubernur petahana yang juga merupakan ketua DPW NasDem Sumut Tengku Erry Nuradi juga akhirnya gagal mendapat tiket pilkada. Partai NasDem memutuskan mengusung pasangan Edy Rahmayadi dan Musa Rajeksah.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai dalam pilkada memang tidak ada larangan bagi parpol untuk mencalonkan kandidatnya dari luar daerah atau yang telah berusia senja. Hanya, menurut dia, dua indikator ini apabila dilakukan oleh sebuah institusi politik terus-menerus akan menjadi pertanyaan besar, khususnya menyangkut proses kaderisasi.
"Pencalonan politisi pendatang di pilkada yang bukan berasal dari kader parpol (pengurus) di daerah itu sangat berisiko," ujar Titi.
Menurut Titi, calon kepala daerah yang bukan berasal dari daerahnya akan melemahkan sistem kaderisasi. Hal ini juga bisa melemahkan kepengurusan partai di daerah tersebut secara perlahan. "Sebab kaderisasi yang dilakukan daerah yang mestinya menjadi modalitas dalam rekrutmen politik akhirnya jadi tidak bermakna," katanya.
Titi meminta parpol untuk mulai berpikir rasional. Orientasi parpol yang sekadar untuk menang saat mengikuti pilkada jelas berpotensi besar merugikan kader-kader organiknya sendiri. Titi juga mengkritik masuknya figur calon kepala daerah berusia senja pada pilkada kali ini. Hal ini jelas berseberangan dengan realitas di sejumlah belahan dunia, di mana kemunculan para pemimpin muda telah menjadi sebuah kebutuhan.
Pendiri dan penasihat Constitutional and Electoral Reform Center (Correct) Hadar Nafis Gumay juga menilai kewenangan yang besar dari pengurus parpol tingkat pusat dalam menentukan pasangan calon adalah satu bentuk ketidakdemokratisan dalam berorganisasi. Lebih dari itu, ketiadaan pengaruh dari pengurus di daerah juga dapat menyebabkan calon kepala daerah yang dipilih bukan mewakili keinginan masyarakat dan lebih jauh lagi dapat menurunkan angka partisipasi pada hari pemilihan.
"Menurut saya, tidak demokratis sekali pun calon kepala daerah itu dipilih oleh kepengurusan di dalam satu sistem yang diatur dalam organisasi tersebut," ujarnya.
Kasus mengenai silang pendapat di internal parpol saat mengusung pasangan calon sudah terjadi pada hari pertama proses pendaftaran calon Pilkada 2018. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tenggara (Sultra) terpaksa menggugurkan dukungan dari PPP dan PKB terhadap pasangan calon Asrun-Hugua karena kepengurusan daerah berbeda pandangan dengan kepengurusan tingkat pusat di masing-masing partai.
Ketua KPU Arief Budiman mengakui dalam UU No 10/2016 yang mengatur pencalonan, kekuasaan DPP memang luar biasa besar karena semua calon harus mendapat persetujuan pusat. "Kalau DPP sudah membuat persetujuan dan persetujuan itu tidak dilaksanakan baik oleh provinsi (kalau calon gubernur) atau oleh kabupaten/kota (kalau calon bupati/wali kota), itu bisa diambil alih proses pencalonannya," terang dia.
Kader Jadi Prioritas
Sejumlah parpol berdalih bahwa kader tetap masih menjadi prioritas untuk diusung menjadi calon kepala daerah. PDIP menilai pilkada justru menjadi ajang untuk menunjukkan keberhasilan kaderisasi dan mengimplementasikan fungsi partai dalam melahirkan pemimpin.
"Makanya, di Pilkada 2018 ini bisa dicek, PDIP mengusung delapan calon gubernur dan sembilan calon wakil gubernur. Artinya, di 17 pilkada tingkat provinsi terdapat kader PDIP," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Selasa (9/1/2018).
Kalaupun ada tokoh di luar partai yang dicalonkan, menurut Hasto, hal itu konsekuensi dari partai terbuka.
Sepanjang memenuhi persyaratan ideologis, semua tokoh masyarakat memiliki peluang untuk diusung, termasuk misalnya dari purnawirawan TNI dan Polri. Tetapi, dalam prosesnya mereka tetap masuk dalam kaderisasi partai. "Jadi hal itu bukan karena minim kader. Ini kan proses kaderisasi yang berjalan baik. Mereka kami masukkan," jelasnya.
Hal serupa diungkapkan Wakil Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi. Dia mengatakan, saat PPP berkoalisi dengan partai lain, yang menjadi syarat utama harus terdapat kader PPP baik sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah. Dia mencontohkan pada Pilgub Jabar dan Jateng, koalisi yang dibangun PPP juga menempatkan kader sebagai calon wakil gubernur.
"Karena lazimnya koalisi di mana pun berada, pastinya masing-masing parpol menawarkan kader-kadernya untuk dipasangkan sebagai paslon," katanya. Meski begitu, untuk beberapa daerah yang PPP tidak memungkinkan bisa mengusung kadernya, tentu juga bersikap realistis.
Terkait penilaian minimnya kaderisasi partai dalam menyiapkan kepemimpinan, sebelumnya Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah menepisnya. Menurut SBY, dari 17 pilkada tingkat provinsi, partainya mengusung 14 kader, baik dalam posisi sebagai cabgub maupun cawagub. "Ada yang katakan Demokrat sukanya outsourcing, ini komposisinya, dari 17 cagub-cawagub, 14 itu kader. Itu sama dengan 82%," kata SBY.
Presiden ke-6 RI itu menandaskan, dalam menetapkan calon di pilkada baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, Demokrat memprioritaskan mengusung kader sendiri. Terkait dipilihnya Ida Fauziyah di Pilgub Jateng, Ketua Desk Pilkada DPP PKB Daniel Johan mengakui jagoan partainya memang muncul dalam waktu yang singkat. Awalnya PKB ingin berkoalisi dengan PDIP, namun justru ditinggal.
Meski Ida berasal dari Jawa Timur dan banyak berkiprah di Jakarta, hal itu bukan menjadi persoalan besar. Daniel menilai pasangan calon Sudirman Said dan Ida Fauziyah adalah pilihan terbaik karena telah dikonolidasikan dengan para kiai di Jateng. "Pilihan ini setelah ketua DPW PKB berkonsolidasi dengan para kiai se-Jawa Tengah," ungkapnya.
Sedangkan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto menilai dipilihnya Ida Fauziyah sebagai calon wakil gubernur Jateng karena perempuan menjadi simbol kekuatan positif dalam pilkada. "Saya sangat optimistis, saya merasakan suasana positif, energi yang sangat positif. Kekuatan ibu-ibu, emak-emak, saya kira ini sesuatu yang sangat positif di negara kita," kata dia di kediamannya, Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Potensi calon tunggal kemungkinan akan terjadi sedikitnya di 11 daerah antara lain di Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Lebak, Probolinggo, Pasuruan, dan Kabupaten Tapin. Jumlah calon tunggal ini mengalami kenaikan dibandingkan pilkada serentak periode sebelumnya yang hanya sembilan daerah.
Kemunculan calon tunggal tak bisa dihindari manakala parpol gagal menyiapkan kader-kader andalannya untuk bertarung dalam pilkada. Imbasnya, mereka menyerah dengan bergabung menjadi satu koalisi. Calon-calon tunggal ini mayoritas merupakan kepala daerah petahana.
Lemahnya parpol menyiapkan kader juga tampak jelas saat partai lebih memilih figur baru yang bukan kader murni menjadi jagoannya seperti dari berlatar belakang TNI atau Polri. Di pilkada kali ini beberapa parpol juga tampak mengimpor figur baru dari Jakarta. Fenomena ini antara lain terlihat pada pengusungan calon gubernur (cagub) Sudirman Said oleh Partai Gerindra dan Ida Fauziyah sebagai calon wakil gubernur (cawagub) oleh PKB di Jawa Tengah serta Djarot Saiful Hidayat menjadi cagub PDIP di Sumatera Utara. Sejumlah parpol juga masih percaya diri mengusung kader-kadernya meski usia mereka tak muda lagi.
Dinamisnya perkembangan politik juga membuat parpol dihadapkan pada pilihan pragmatis. Ini antara lain terlihat dari keputusan PDIP Jateng yang kali ini mengusung Ganjar Pranowo sebagai cagub Jateng berpasangan dengan Taj Yasin dari PPP. Sebagai parpol pemenang pemilu di Jateng, PDIP tampak kurang percaya diri sehingga tak mengusung sendiri kadernya baik untuk kursi cagub-cawagub.
Pilihan pragmatis ini membuat sistem perekrutan calon kepala daerah yang sudah berjalan menjadi terabaikan. Di Sumut, gubernur petahana yang juga merupakan ketua DPW NasDem Sumut Tengku Erry Nuradi juga akhirnya gagal mendapat tiket pilkada. Partai NasDem memutuskan mengusung pasangan Edy Rahmayadi dan Musa Rajeksah.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai dalam pilkada memang tidak ada larangan bagi parpol untuk mencalonkan kandidatnya dari luar daerah atau yang telah berusia senja. Hanya, menurut dia, dua indikator ini apabila dilakukan oleh sebuah institusi politik terus-menerus akan menjadi pertanyaan besar, khususnya menyangkut proses kaderisasi.
"Pencalonan politisi pendatang di pilkada yang bukan berasal dari kader parpol (pengurus) di daerah itu sangat berisiko," ujar Titi.
Menurut Titi, calon kepala daerah yang bukan berasal dari daerahnya akan melemahkan sistem kaderisasi. Hal ini juga bisa melemahkan kepengurusan partai di daerah tersebut secara perlahan. "Sebab kaderisasi yang dilakukan daerah yang mestinya menjadi modalitas dalam rekrutmen politik akhirnya jadi tidak bermakna," katanya.
Titi meminta parpol untuk mulai berpikir rasional. Orientasi parpol yang sekadar untuk menang saat mengikuti pilkada jelas berpotensi besar merugikan kader-kader organiknya sendiri. Titi juga mengkritik masuknya figur calon kepala daerah berusia senja pada pilkada kali ini. Hal ini jelas berseberangan dengan realitas di sejumlah belahan dunia, di mana kemunculan para pemimpin muda telah menjadi sebuah kebutuhan.
Pendiri dan penasihat Constitutional and Electoral Reform Center (Correct) Hadar Nafis Gumay juga menilai kewenangan yang besar dari pengurus parpol tingkat pusat dalam menentukan pasangan calon adalah satu bentuk ketidakdemokratisan dalam berorganisasi. Lebih dari itu, ketiadaan pengaruh dari pengurus di daerah juga dapat menyebabkan calon kepala daerah yang dipilih bukan mewakili keinginan masyarakat dan lebih jauh lagi dapat menurunkan angka partisipasi pada hari pemilihan.
"Menurut saya, tidak demokratis sekali pun calon kepala daerah itu dipilih oleh kepengurusan di dalam satu sistem yang diatur dalam organisasi tersebut," ujarnya.
Kasus mengenai silang pendapat di internal parpol saat mengusung pasangan calon sudah terjadi pada hari pertama proses pendaftaran calon Pilkada 2018. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tenggara (Sultra) terpaksa menggugurkan dukungan dari PPP dan PKB terhadap pasangan calon Asrun-Hugua karena kepengurusan daerah berbeda pandangan dengan kepengurusan tingkat pusat di masing-masing partai.
Ketua KPU Arief Budiman mengakui dalam UU No 10/2016 yang mengatur pencalonan, kekuasaan DPP memang luar biasa besar karena semua calon harus mendapat persetujuan pusat. "Kalau DPP sudah membuat persetujuan dan persetujuan itu tidak dilaksanakan baik oleh provinsi (kalau calon gubernur) atau oleh kabupaten/kota (kalau calon bupati/wali kota), itu bisa diambil alih proses pencalonannya," terang dia.
Kader Jadi Prioritas
Sejumlah parpol berdalih bahwa kader tetap masih menjadi prioritas untuk diusung menjadi calon kepala daerah. PDIP menilai pilkada justru menjadi ajang untuk menunjukkan keberhasilan kaderisasi dan mengimplementasikan fungsi partai dalam melahirkan pemimpin.
"Makanya, di Pilkada 2018 ini bisa dicek, PDIP mengusung delapan calon gubernur dan sembilan calon wakil gubernur. Artinya, di 17 pilkada tingkat provinsi terdapat kader PDIP," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Selasa (9/1/2018).
Kalaupun ada tokoh di luar partai yang dicalonkan, menurut Hasto, hal itu konsekuensi dari partai terbuka.
Sepanjang memenuhi persyaratan ideologis, semua tokoh masyarakat memiliki peluang untuk diusung, termasuk misalnya dari purnawirawan TNI dan Polri. Tetapi, dalam prosesnya mereka tetap masuk dalam kaderisasi partai. "Jadi hal itu bukan karena minim kader. Ini kan proses kaderisasi yang berjalan baik. Mereka kami masukkan," jelasnya.
Hal serupa diungkapkan Wakil Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi. Dia mengatakan, saat PPP berkoalisi dengan partai lain, yang menjadi syarat utama harus terdapat kader PPP baik sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah. Dia mencontohkan pada Pilgub Jabar dan Jateng, koalisi yang dibangun PPP juga menempatkan kader sebagai calon wakil gubernur.
"Karena lazimnya koalisi di mana pun berada, pastinya masing-masing parpol menawarkan kader-kadernya untuk dipasangkan sebagai paslon," katanya. Meski begitu, untuk beberapa daerah yang PPP tidak memungkinkan bisa mengusung kadernya, tentu juga bersikap realistis.
Terkait penilaian minimnya kaderisasi partai dalam menyiapkan kepemimpinan, sebelumnya Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah menepisnya. Menurut SBY, dari 17 pilkada tingkat provinsi, partainya mengusung 14 kader, baik dalam posisi sebagai cabgub maupun cawagub. "Ada yang katakan Demokrat sukanya outsourcing, ini komposisinya, dari 17 cagub-cawagub, 14 itu kader. Itu sama dengan 82%," kata SBY.
Presiden ke-6 RI itu menandaskan, dalam menetapkan calon di pilkada baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, Demokrat memprioritaskan mengusung kader sendiri. Terkait dipilihnya Ida Fauziyah di Pilgub Jateng, Ketua Desk Pilkada DPP PKB Daniel Johan mengakui jagoan partainya memang muncul dalam waktu yang singkat. Awalnya PKB ingin berkoalisi dengan PDIP, namun justru ditinggal.
Meski Ida berasal dari Jawa Timur dan banyak berkiprah di Jakarta, hal itu bukan menjadi persoalan besar. Daniel menilai pasangan calon Sudirman Said dan Ida Fauziyah adalah pilihan terbaik karena telah dikonolidasikan dengan para kiai di Jateng. "Pilihan ini setelah ketua DPW PKB berkonsolidasi dengan para kiai se-Jawa Tengah," ungkapnya.
Sedangkan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto menilai dipilihnya Ida Fauziyah sebagai calon wakil gubernur Jateng karena perempuan menjadi simbol kekuatan positif dalam pilkada. "Saya sangat optimistis, saya merasakan suasana positif, energi yang sangat positif. Kekuatan ibu-ibu, emak-emak, saya kira ini sesuatu yang sangat positif di negara kita," kata dia di kediamannya, Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
(amm)